Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fasisme dan Ancaman Demokrasi Abad 21

13 Oktober 2020   23:25 Diperbarui: 29 September 2021   00:26 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak dari kita (termasuk penulis di dalamnya) menggunakan istilah "fasis" sebagai jenis penyalahgunaan kekuasaan.  Atau terkadang kita mencampuradukan fasisme dengan nasionalisme. Tapi apa sebenarnya fasisme itu? dan apa perbedaannya dengan nasionalisme?

Bangsa adalah komunitas dari jutaan orang asing yang tidak benar-benar mengenal satu sama lain.  Misalnya, Saya tidak tahu kebanyakan orang lain di negara tercinta kita, Indonesia Raya Merdeka. 

Paling mentok saya hanya mengenal secara intim 500 orang Indonesia, jadi saya tidak mengenal 270 juta orang lainnya yang berbagi kewarganegaraan Indonesia dengan saya. Mereka mungkin adalah saudara laki-laki dan perempuan anda yang tidak saya kenal dan teman-teman Indonesia lainnya yang juga tidak akan pernah bertemu anda dan saya. 

Semua hanya dalam imajinasi saja, bahwa kita sangat dekat dan membagi sesuatu yang intim karena kita merupakan saudara satu negara. Dan berkat sikap nasionalisme ini, kita semua bisa peduli satu sama lain dan bekerja sama secara efektif. Ini sangat bagus.

Beberapa orang, seperti John Lennon, membayangkan (baca : “imagine”) bahwa tanpa nasionalisme, dunia akan menjadi surga yang damai. Tapi jauh lebih mungkin, tanpa nasionalisme, kita akan hidup dalam kekacauan perang suku. 

Jika kita hari ini melihat negara-negara paling makmur dan damai di dunia, seperti Swedia, Swiss dan Jepang, kita akan melihat bahwa mereka memiliki rasa nasionalisme yang sangat kuat. Sebaliknya, negara yang kurang memiliki rasa nasionalisme yang kuat seperti Kongo, Somalia, dan Afghanistan, cenderung kacau dan miskin.

Jadi apa itu fasisme, dan apa bedanya dengan nasionalisme? Nasionalisme memberi tahu saya bahwa bangsa saya unik, dan bahwa saya memiliki kewajiban khusus terhadap bangsa saya. Fasisme, sebaliknya, memberi tahu saya bahwa bangsa saya adalah yang tertinggi, dan bahwa saya memiliki kewajiban eksklusif terhadapnya. 

Saya tidak perlu peduli dengan siapa pun atau apa pun selain bangsa saya. Biasanya memang orang punya banyak identitas dan loyalitas kepada kelompok yang berbeda. 

Misalnya, saya bisa menjadi patriot yang baik, setia kepada negara saya, dan pada saat yang sama, setia pada keluarga, lingkungan dan profesi saya serta umat manusia secara keseluruhan, juga kebenaran dan keindahan. Tentu saja, jika saya memiliki identitas dan loyalitas yang berbeda, terkadang menimbulkan konflik dan komplikasi. Tapi, yah, siapa yang pernah memberitahu anda kalau hidup itu mudah? Hidup itu rumit. Hadapi!

Fasisme terjadi ketika orang mencoba mengabaikan kerumitannya dan membuat hidup terlalu mudah untuk diri mereka sendiri. Fasisme menyangkal semua identitas kecuali identitas nasional dan bersikeras bahwa saya memiliki kewajiban hanya terhadap bangsa saya. Saat bangsa saya menuntut agar saya mengorbankan keluarga saya, maka saya akan mengorbankan keluarga saya. 

Saat negara menuntut saya membunuh jutaan orang, maka saya akan membunuh jutaan orang. Dan saat bangsa saya menuntut agar saya mengkhianati kebenaran dan keindahan, maka saya harus mengkhianati kebenaran dan keindahan. 

Misalnya, bagaimana seorang fasis menilai seni? Bagaimana seorang fasis memutuskan apakah sebuah film adalah film yang bagus atau film yang buruk? Ini sangat, sangat, sangat sederhana. Sebenarnya hanya ada satu ukuran:

jika film itu melayani kepentingan bangsa, itu film yang bagus;

jika film tersebut tidak melayani kepentingan bangsa, itu film yang buruk.

Demikian pula, bagaimana seorang fasis memutuskan apa yang akan diajarkan kepada anak-anak di sekolah? Sekali lagi, sangat sederhana. Hanya ada satu ukuran:

Saya mengajari anak-anak apa pun yang melayani kepentingan bangsa. Kebenaran tidak penting sama sekali. Sekarang, kengerian Perang Dunia Kedua dan Holocaust mengingatkan kita tentang konsekuensi mengerikan dari cara berpikir ini.

Tapi biasanya, ketika kita berbicara tentang penyakit fasisme, kita melakukannya dengan cara yang tidak efektif, karena kita cenderung menggambarkan fasisme sebagai monster yang mengerikan, tanpa benar-benar menjelaskan apa yang begitu menggoda tentangnya.

Seperti film-film Hollywood yang kebanyakan menggambarkan orang jahat -- Voldemort atau Sauron atau Darth Vader -- sebagai jelek, jahat dan kejam. Mereka kejam bahkan kepada pendukung mereka sendiri. Ketika saya melihat film-film ini, saya tidak pernah mengerti, mengapa ada orang yang tergoda untuk mengikuti orang menjijikkan seperti Voldemort?

Masalah kejahatan dalam kehidupan nyata adalah bahwa kejahatan tidak selalu terlihat jelek, bahkan bisa terlihat sangat indah. Ini adalah sesuatu yang sangat dipahami oleh orang Kristen, itulah sebabnya dalam Kristen, berlawanan dengan Hollywood, setan biasanya digambarkan sebagai sosok yang cantik dan lembut. Inilah mengapa sangat sulit untuk menahan godaan Setan, seperti halnya mengapa juga sulit untuk menahan godaan fasisme. Fasisme membuat orang melihat negara mereka sendiri sebagai milik terindah dan terpenting di dunia.

Dan kemudian orang berpikir, "Yah, mereka mengajari kami bahwa fasisme itu jelek. Tetapi ketika saya bercermin, saya melihat sesuatu yang sangat indah, jadi saya tidak bisa digolongkan seorang fasis, kan?"

Salah. Itulah masalah fasisme. Saat kita melihat ke cermin fasis, kita melihat diri kita jauh lebih cantik dari yang sebenarnya. Pada tahun 1930-an, ketika orang Jerman melihat ke cermin fasis, mereka melihat Jerman sebagai hal terindah di dunia.

Jika hari ini, orang Indonesia melihat ke cermin fasis, mereka akan melihat Indonesia sebagai hal terindah di dunia. Mereka akan memberikan komentar menghina di internet atas nama nasionalisme tanpa memikirkan perasaan warga dunia lainnya atau bahkan saudara setanah airnya sendiri, ”yang penting demi negara”.

Lalu jika orang Papua melihat ke cermin fasis, mereka akan melihat Papua sebagai hal terindah di dunia, lalu menuntut kemerdekaan, meski diakui bukan itu masalah utama tuntutan referendum.

Tidak berarti bahwa kita sekarang menghadapi pemutaran ulang tahun 1930-an. Fasisme dan kediktatoran mungkin akan kembali, tapi mereka akan kembali dalam bentuk baru, bentuk yang jauh lebih relevan dengan realitas teknologi baru abad ke-21. 

Dahulu kala, tanah adalah aset terpenting di dunia. Karena itu, politik adalah perjuangan untuk menguasai tanah. Dan kediktatoran berarti bahwa semua tanah dimiliki oleh satu penguasa atau oleh oligarki kecil.

Di zaman modern, mesin menjadi lebih penting daripada tanah. Politik menjadi perjuangan untuk menguasai mesin. Dan kediktatoran berarti terlalu banyak mesin yang terkonsentrasi di tangan pemerintah atau elit kecil. 

Sekarang data menggantikan tanah dan mesin sebagai aset terpenting. Politik menjadi perjuangan untuk mengontrol arus data. Dan kediktatoran sekarang berarti terlalu banyak data terkonsentrasi di tangan pemerintah atau elit kecil.

Bahaya terbesar yang sekarang dihadapi demokrasi adalah revolusi dalam teknologi informasi yang akan membuat kediktatoran lebih efisien daripada demokrasi. Di abad ke-20, demokrasi dan kapitalisme mengalahkan fasisme dan komunisme karena demokrasi lebih baik dalam mengolah data dan mengambil keputusan. 

Hanya saja dengan adanya teknologi abad ke-20, tidak efisien untuk mencoba dan memusatkan terlalu banyak data dan tenaga di satu tempat. Tapi bukanlah hukum alam bahwa pemrosesan data terpusat selalu kurang efisien daripada pemrosesan data yang terdistribusi.

Dengan munculnya kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin, sangat efisien untuk memproses sejumlah besar informasi di satu tempat, untuk mengambil semua keputusan di satu tempat, dan kemudian pemrosesan data terpusat akan lebih efisien daripada pemrosesan data terdistribusi. 

Teknologi awan seperti Google Cloud, Icloud, dsb., terbukti jauh… jauuuuh lebih efisien daripada metode penyimpanan dan pendistribusian data yang tidak terpusat. Kemudian cacat utama dari rezim otoriter di abad ke-21 - upaya untuk memusatkan semua informasi di satu tempat - akan menjadi keuntungan terbesar mereka, para diktator.

Bahaya teknologi lain yang mengancam masa depan demokrasi adalah penggabungan teknologi informasi dengan bioteknologi, yang mungkin menghasilkan pembuatan algoritme yang mengenal kita lebih baik daripada diri kita sendiri. 

Setelah memiliki algoritme seperti itu, sistem eksternal, seperti pemerintah, tidak hanya mampu memprediksi keputusan saya, tapi juga dapat memanipulasi perasaan dan emosi saya. Seorang diktator mungkin tidak dapat memberi saya perawatan kesehatan yang baik, tapi dia akan bisa membuatku mencintainya dan membenci oposisi.

Demokrasi akan sulit bertahan dalam perkembangan seperti itu, karena pada akhirnya demokrasi tidak didasarkan pada rasionalitas manusia, tetapi berdasarkan perasaan manusia. 

Selama pemilihan dan referendum, anda tidak sedang ditanya, "Bagaimana menurut anda?" anda sebenarnya ditanya, "Bagaimana perasaan anda?" Dan jika seseorang dapat memanipulasi emosi anda secara efektif, demokrasi akan menjadi pertunjukan boneka emosional.

Jadi apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah kembalinya fasisme dan kebangkitan kediktatoran baru? Pertanyaan nomor satu yang kita hadapi adalah: Siapa yang mengontrol data?

 Jika anda seorang insinyur, lalu temukan cara untuk mencegah terlalu banyak data dari terkonsentrasi di terlalu sedikit tangan; dan temukan cara untuk memastikan pemrosesan data yang terdistribusi, setidaknya sama efisiennya dengan pemrosesan data terpusat, maka Ini akan menjadi pengaman terbaik untuk demokrasi.

Sedangkan untuk kita yang bukan insinyur, pertanyaan nomor satu yang kita hadapi adalah “bagaimana tidak membiarkan diri kita dimanipulasi oleh mereka yang mengontrol data?"

Musuh demokrasi, mereka punya metode. Mereka meretas perasaan kita. Bukan email kita, bukan rekening bank kita. Mereka meretas perasaan takut, benci, dan kesombongan kita. Lalu menggunakan perasaan ini untuk mempolarisasi dan menghancurkan demokrasi dari dalam. Ini sebenarnya adalah sebuah metode yang dipelopori Silicon Valley untuk menjual produk kepada kita.

Tapi sekarang, musuh demokrasi menggunakan metode ini untuk menjual ketakutan, kebencian, dan kesombongan. Mereka tidak dapat menciptakan perasaan ini dari ketiadaan. Jadi mereka mengetahui kelemahan kita yang sudah ada sebelumnya. Kemudian menggunakannya untuk melawan kita. Untuk itu menjadi tanggung jawab kita semua untuk mengetahui kelemahan kita dan pastikan bahwa kelemahan tersebut tidak menjadi senjata di tangan mereka, para musuh demokrasi.

Mengenal kelemahan kita sendiri juga akan membantu kita menghindari jebakan cermin fasis. Seperti yang telah kita pahami sebelumnya, fasisme mengeksploitasi kesombongan kita. 

Ia membuat kita melihat diri kita jauh lebih cantik dari yang sebenarnya. Ini rayuannya. Tetapi jika kita benar-benar mengenal diri sendiri, kita tidak akan jatuh pada sanjungan seperti itu.  Hadapilah sikap fasis dengan cara klasik yang simpel tapi elegan. Diam, dan anggaplah orang fasis tersebut belum memahami benar bahaya fasisme.

Jika seseorang meletakkan cermin di depan mata yang menyembunyikan semua bagian burukmu dan membuatmu melihat diri sendiri jauh lebih indah dan jauh lebih penting daripada dirimu yang  sebenarnya, pecahkan saja cermin itu. Jangan biarkan sikap fasis bangsa lain merusak nasionalisme kita.


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun