Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fasisme dan Ancaman Demokrasi Abad 21

13 Oktober 2020   23:25 Diperbarui: 29 September 2021   00:26 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demokrasi akan sulit bertahan dalam perkembangan seperti itu, karena pada akhirnya demokrasi tidak didasarkan pada rasionalitas manusia, tetapi berdasarkan perasaan manusia. 

Selama pemilihan dan referendum, anda tidak sedang ditanya, "Bagaimana menurut anda?" anda sebenarnya ditanya, "Bagaimana perasaan anda?" Dan jika seseorang dapat memanipulasi emosi anda secara efektif, demokrasi akan menjadi pertunjukan boneka emosional.

Jadi apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah kembalinya fasisme dan kebangkitan kediktatoran baru? Pertanyaan nomor satu yang kita hadapi adalah: Siapa yang mengontrol data?

 Jika anda seorang insinyur, lalu temukan cara untuk mencegah terlalu banyak data dari terkonsentrasi di terlalu sedikit tangan; dan temukan cara untuk memastikan pemrosesan data yang terdistribusi, setidaknya sama efisiennya dengan pemrosesan data terpusat, maka Ini akan menjadi pengaman terbaik untuk demokrasi.

Sedangkan untuk kita yang bukan insinyur, pertanyaan nomor satu yang kita hadapi adalah “bagaimana tidak membiarkan diri kita dimanipulasi oleh mereka yang mengontrol data?"

Musuh demokrasi, mereka punya metode. Mereka meretas perasaan kita. Bukan email kita, bukan rekening bank kita. Mereka meretas perasaan takut, benci, dan kesombongan kita. Lalu menggunakan perasaan ini untuk mempolarisasi dan menghancurkan demokrasi dari dalam. Ini sebenarnya adalah sebuah metode yang dipelopori Silicon Valley untuk menjual produk kepada kita.

Tapi sekarang, musuh demokrasi menggunakan metode ini untuk menjual ketakutan, kebencian, dan kesombongan. Mereka tidak dapat menciptakan perasaan ini dari ketiadaan. Jadi mereka mengetahui kelemahan kita yang sudah ada sebelumnya. Kemudian menggunakannya untuk melawan kita. Untuk itu menjadi tanggung jawab kita semua untuk mengetahui kelemahan kita dan pastikan bahwa kelemahan tersebut tidak menjadi senjata di tangan mereka, para musuh demokrasi.

Mengenal kelemahan kita sendiri juga akan membantu kita menghindari jebakan cermin fasis. Seperti yang telah kita pahami sebelumnya, fasisme mengeksploitasi kesombongan kita. 

Ia membuat kita melihat diri kita jauh lebih cantik dari yang sebenarnya. Ini rayuannya. Tetapi jika kita benar-benar mengenal diri sendiri, kita tidak akan jatuh pada sanjungan seperti itu.  Hadapilah sikap fasis dengan cara klasik yang simpel tapi elegan. Diam, dan anggaplah orang fasis tersebut belum memahami benar bahaya fasisme.

Jika seseorang meletakkan cermin di depan mata yang menyembunyikan semua bagian burukmu dan membuatmu melihat diri sendiri jauh lebih indah dan jauh lebih penting daripada dirimu yang  sebenarnya, pecahkan saja cermin itu. Jangan biarkan sikap fasis bangsa lain merusak nasionalisme kita.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun