Mohon tunggu...
Putu Dea Nita Dewi
Putu Dea Nita Dewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pendidikan Ganesha

Saya merupakan Mahasiswi dari program studi Akuntansi Universitas Pendidikan Ganesha. Saya memilki ketertarikan yang besar pada kegiatan menyurat Aksara Bali dan menyurat Lontar yang sudah saya tekuni sejak duduk di bangku sekolah dasar. Saya juga sangat suka menulis dan hobi bersepeda.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menapaki Makna dan Jejak Tradisi di Balik Hari Raya Nyepi: Sebuah Perayaan Introspeksi Diri dan Penyucian di Bumi Dewata

12 Maret 2024   10:14 Diperbarui: 12 Maret 2024   10:34 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah Upacara Tawur Agung Kesanga di tingkat desa selesai, maka akan dilanjutkan kembali dengan Upacara Tawur di areal tempat tinggal. Adapun banten dan sesajen yang diperlukan untuk sarana upacara tawur ini yaitu dengan menghaturkan banten pejati di pelinggih atau padmasana (tempat suci pemujaan umat Hindu yang terletak di areal rumah tinggal) lalu menghaturkan segehan agung cacahan atau sesajen dengan jumlah 11 tanding (bagian) di lantai (natah) pelinggih atau padmasana, lalu menghaturkan sesajen atau segehan panca warna (5 warna) sebanyak 9 tanding (9 bagian) dengan dilengkapi tuak, arak, canang sari dan tirta (air suci) lalu dihaturkan di halaman tempat tinggal dan selanjutnya menghaturkan segehan atau sesajen nasi cacah 108 tanding (108 bagian) dengan daging jeroan babi mentah dan dilengkapi tuak, arak, tirta, serta canang sari yang dihaturkan di luar pintu masuk tempat tinggal.

Sumber foto : dokumentasi pribadi
Sumber foto : dokumentasi pribadi
Kemudian juga mendirikan sanggah cucuk (sarana upakara yang terbuat dari ulatan bambu berbentuk persegi dan disangga oleh bambu yang dibelah empat) dan diletakkan di sebelah kanan pintu masuk serta  disini  juga diletakkan sarana upacara seperti daksina, tipat kelanan, dan peras. Upacara ini dilakukan saat peralihan waktu sore menuju malam hari (sandya kala), dimana Upacara Tawur ini adalah sebagai simbol memberikan suguhan kepada para Bhuta Kala (kekuatan negatif) agar nantinya tidak mengganggu pelaksanaan Hari Raya Nyepi serta juga memohon pada Tuhan Yang Maha Esa untuk kedamaian alam dan lingkungan.

3. Pengerupukan

Sumber foto : dokumentasi pribadi
Sumber foto : dokumentasi pribadi
Setelah kegiatan upacara Tawur Agung Kesanga selesai, pada hari yang sama  akan dilanjutkan dengan kegiatan ngerupuk atau pengerupukan yang dilaksanakan saat peralihan waktu sore menuju malam hari (sandya kala). 

Pada prosesi pengerupukan ini masyarakat Hindu di Bali akan mengelilingi area tempat tinggal atau lingkungan sekitarnya dengan menghidupkan sumber api yang nantinya digunakan untuk mengasapi area lingkungan rumah dan biasanya menggunakan daun kelapa kering yang dibakar, serta menebar nasi tawur dan tirta ( air suci) caru di lingkungan sekitar  dan juga diiringi dengan memukul  benda-benda yang ada seperti kaleng atau kentungan sehingga mengeluarkan bunyi gaduh dan selanjutnya masyarakat Hindu akan melempar atau menaburi rumah dengan biji beras kuning. 

Hal tersebut tidak lain bertujuan untuk  mengusir para Bhuta Kala (sesuatu yang negatif) dari pekarangan dan bilik-bilik rumah agar kembali ke tempat asalnya dan tidak menggangu kehidupan manusia. Prosesi Pengerupukan ini menjadi hal simbolis yang telah diyakini umat Hindu Bali dalam menetralisir pengaruh buruk yang lekat dengan sifat Bhuta Kala (kekuatan negatif).

Sumber foto : dokumentasi pribadi
Sumber foto : dokumentasi pribadi
Sementara di tingkat desa, prosesi pengerupukan akan disertai dengan arak-arakan ogoh-ogoh mengelilingi desa pada waktu sore menjelang malam hari (sandya kala) yang juga diiringi bunyi-buyian keras seperti gong baleganjur dan kulkul serta obor yang merupakan bagian dari kepercayaan untuk mengusir kekuatan jahat. 

Ogoh-ogoh ini merujuk pada patung dalam kebudayaan Bali yang mempresentasikan kepribadian para Bhuta Kala (kekuatan negatif). Sosok ogoh-ogoh yang berukuran besar, rambut berantakan dan menakutkan ini melambangkan elemen dan sifat-sifat buruk seperti kerakusan dan amarah yang harus dihancurkan agar dapat mencapai keharmonisan dalam kehidupan. 

Jadi, setelah ogoh-ogoh diarak mengelilingi desa maka ogoh-ogoh tersebut akan dibakar, sebagai sebuah simbolisasi bahwa Bhuta Kala telah dikembalikan ke tempatnya masing-masing agar tidak menggangu kehidupan manusia. Pawai ogoh-ogoh ini juga menjadi daya tarik wisata di Bali, karena tidak sedikit wisatawan yang sengaja datang ke Bali untuk melihat langsung pawai ogoh-ogoh.

Sumber foto : YouTube.com/bali trip channel
Sumber foto : YouTube.com/bali trip channel
Selain  tradisi ogoh-ogoh, juga terdapat tradisi unik yang dilakukan pada saat pengerupukan yaitu perang api atau mebuu-buu yang dilaksanakan di Desa Unggahan, Kecamatan Seririt, Buleleng, Bali. Tradisi dilaksanakan pada sore hari di pusat desa setelah kegiatan mencaru selesai. 

Sarana yang digunakan dalam tradisi mebuu-buu ini  adalah daun janur yang sudah kering kemudian diikat sebesar paha orang dewasa dan di bakar. Lalu, orang yang membawa daun janur kering tersebut akan mulai melakukan perang terhadap warga lainnya dengan mencari lawan yang memiliki ukuran ikatan daun janur kering yang sama dan tradisi mebuu-buu akan berakhir saat api sudah mati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun