Setelah Upacara Tawur Agung Kesanga di tingkat desa selesai, maka akan dilanjutkan kembali dengan Upacara Tawur di areal tempat tinggal. Adapun banten dan sesajen yang diperlukan untuk sarana upacara tawur ini yaitu dengan menghaturkan banten pejati di pelinggih atau padmasana (tempat suci pemujaan umat Hindu yang terletak di areal rumah tinggal) lalu menghaturkan segehan agung cacahan atau sesajen dengan jumlah 11 tanding (bagian) di lantai (natah) pelinggih atau padmasana, lalu menghaturkan sesajen atau segehan panca warna (5 warna) sebanyak 9 tanding (9 bagian) dengan dilengkapi tuak, arak, canang sari dan tirta (air suci) lalu dihaturkan di halaman tempat tinggal dan selanjutnya menghaturkan segehan atau sesajen nasi cacah 108 tanding (108 bagian) dengan daging jeroan babi mentah dan dilengkapi tuak, arak, tirta, serta canang sari yang dihaturkan di luar pintu masuk tempat tinggal.
3. Pengerupukan
Pada prosesi pengerupukan ini masyarakat Hindu di Bali akan mengelilingi area tempat tinggal atau lingkungan sekitarnya dengan menghidupkan sumber api yang nantinya digunakan untuk mengasapi area lingkungan rumah dan biasanya menggunakan daun kelapa kering yang dibakar, serta menebar nasi tawur dan tirta ( air suci) caru di lingkungan sekitar  dan juga diiringi dengan memukul  benda-benda yang ada seperti kaleng atau kentungan sehingga mengeluarkan bunyi gaduh dan selanjutnya masyarakat Hindu akan melempar atau menaburi rumah dengan biji beras kuning.Â
Hal tersebut tidak lain bertujuan untuk  mengusir para Bhuta Kala (sesuatu yang negatif) dari pekarangan dan bilik-bilik rumah agar kembali ke tempat asalnya dan tidak menggangu kehidupan manusia. Prosesi Pengerupukan ini menjadi hal simbolis yang telah diyakini umat Hindu Bali dalam menetralisir pengaruh buruk yang lekat dengan sifat Bhuta Kala (kekuatan negatif).
Ogoh-ogoh ini merujuk pada patung dalam kebudayaan Bali yang mempresentasikan kepribadian para Bhuta Kala (kekuatan negatif). Sosok ogoh-ogoh yang berukuran besar, rambut berantakan dan menakutkan ini melambangkan elemen dan sifat-sifat buruk seperti kerakusan dan amarah yang harus dihancurkan agar dapat mencapai keharmonisan dalam kehidupan.Â
Jadi, setelah ogoh-ogoh diarak mengelilingi desa maka ogoh-ogoh tersebut akan dibakar, sebagai sebuah simbolisasi bahwa Bhuta Kala telah dikembalikan ke tempatnya masing-masing agar tidak menggangu kehidupan manusia. Pawai ogoh-ogoh ini juga menjadi daya tarik wisata di Bali, karena tidak sedikit wisatawan yang sengaja datang ke Bali untuk melihat langsung pawai ogoh-ogoh.
Sarana yang digunakan dalam tradisi mebuu-buu ini  adalah daun janur yang sudah kering kemudian diikat sebesar paha orang dewasa dan di bakar. Lalu, orang yang membawa daun janur kering tersebut akan mulai melakukan perang terhadap warga lainnya dengan mencari lawan yang memiliki ukuran ikatan daun janur kering yang sama dan tradisi mebuu-buu akan berakhir saat api sudah mati.Â