Oleh: Lidia Christina Agatha
Pendidikan adalah upaya sadar dan terencana untuk membimbing manusia dalam menyesuaikan diri di setiap fase kehidupan. Pendidikan tidak semata-mata hadir untuk melahirkan manusia yang pintar akal, namun juga berkarakter baik.Â
Pendidikan merupakan salah satu indikator kualitas penduduk dalam suatu negara. Â Melalui sudut pandang politik, pendidikan dilihat sebagai usaha untuk mempersiapkan calon-calon pemimpin bangsa di masa depan. Regenerasi para pemangku kekuasaan yang arif dapat terwujud jika pendidikan berhasil menanamkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai pancasila sebagai landasan kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan berhak dirasakan oleh warga negara tanpa kecuali. Sebagaimana yang tertulis dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945. Sayangnya, tidak sedikit anak indonesia yang harus putus sekolah. Dikutip dari laman medcom.id, PPN/Bappenas menyatakan 4,3 juta siswa indonesia putus sekolah di tahun 2019. Indikasi utama dari putus sekolah ini adalah kemampuan ekonomi keluarga. Perekonomian yang kurang baik mendorong anak-anak untuk bekerja dan menghasilkan uang. Padahal menempuh pendidikan adalah salah satu cara untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi di kemudian hari.
Pada 12 Mei 2017, Wahidin Halim dan Andika Hazrumy resmi menjadi penguasa tertinggi di Banten. Sektor pendidikan tidak luput dari perhatian mereka. Terbukti dari langkah  pertamanya yaitu realisasi janji pendidikan gratis yang tercantum dalam Peraturan Gubernur Provinsi Banten Nomor 31 Tahun 2018. Program ini menandai pijakan baru dalam perjalanan pendidikan di Banten dan seakan menjadi pengharapan yang baru pula untuk pendidik dan pelajar. Wahidin mengakui, program ini adalah cita-citanya bersama Andika. Pendidikan gratis bukan sesuatu yang bisa ditawar lagi. Selain itu, ia mengungkapkan bahwa pendidikan gratis adalah bentuk kehadiran negara dan tidak disangkut pautkan dengan urusan politik.
Namun implementasi janji politik ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Menurut undang-undang, dana pendidikan gratis diberikan selama 12 bulan setiap tahunnya, yang disalurkan secara periodik setiap tiga bulan.Â
Namun menurut pengamat politik, Ikhsan Ahmad, Bosda tidak ada ditahun 2017, 2018 dan 2020. Tahun 2019, Bosda direalisasikan sekitar 4 juta rupiah persiswa dengan dugaan dana turun karena desakan sekolah-sekolah. Menurut salah satu guru sekolah menengah atas di Banten, anggaran pendidikan gratis biasanya turun di awal tahun namun tidak pernah tepat waktu.
Dalam pasal satu ayat tujuh, disebutkan bahwa pendidikan gratis didanai oleh Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang bersumber dari APBD dengan program PMU Â yang dananya bersumber dari APBN. Dengan kata lain, pembiayaan pendidikan gratis hanya bergantung dari pemerintah pusat. Istilah gratis disini menjadi pemindahan beban pembiayaan beban pendidikan yang sebelumnya ditanggung orang tua menjadi tanggungan pemerintah. Dan seperti namanya yaitu bantuan, sifat pendanaan ini hanya membantu dan tidak mencakup semua.
Dana yang telat atau bahkan tidak turun diperburuk dengan kenyataan dana pemerintah dianggap tidak cukup untuk mewujudkan kegiatan belajar dan mengajar yang optimal dan layak, terutama untuk pengembangan mutu, pengembangan kurikulum dan pengembangan diri. Padahal, dalam pergub pendidikan gratis ini, pendidikan gratis harus menjadi sarana penting untuk perluasan kesempatan dan peningkatan mutu pendidikan. Salah satu keluhan yang timbul adalah pembangunan yang terhambat karena dana dari pemerintah sudah terbagi-bagi atau biasa disebut rapel.Â
Saat ini, dukungan dana Bosnas dari Pemerintah Pusat untuk SMA, sekitar 1,5 Juta dan SMK, sekitar 1,6 juta per siswa dinilai jauh dari cukup mengingat adanya kebutuhan listrik, internet, gaji guru dan staff non ASN serta operasional sekolah. Apabila mengharapkan sokongan dana APBD semata, rasanya sama saja dengan mengabaikan kebutuhan dana untuk mengentaskan berbagai permasalahan lain seperti di sektor kesehatan, disabilitas, pembangunan dan lain-lain.
Salah satu yang tidak luput dari perhatian adalah ketetapan pemungutan dana dari masyarakat. Peran serta masyarakat diatur dalam pasal 32. Di satu sisi, sekolah khawatir dianggap pungli karena meminta dana, namun disisi lain bingung karena pembiayaan pendidikan gratis yang bergantung dari pemerintah pusat tidaklah cukup. Belum lagi BOS dari pemerintah daerah sering terlambat. Padahal, kita menyadari bahwa pendidikan yang berkualitas juga didukung dana yang mumpuni.Â
Di masa pandemi, dunia pendidikan kita harus beradaptasi dengan pembelajaran jarak jauh. Salah satu andil pemerintah pusat yang patut diacungi jempol adalah pemberian kuota internet secara gratis. Wacana kuota gratis juga pernah disebutkan oleh gubernur banten.Â
Berdasarkan tanya jawab yang penulis lakukan dengan salah satu guru SMA di bulan Oktober, Ia menuliskan bahwa pengajar atau guru tiap bulan mendapatkan bantuan kuota setiap bulan sedangkan staff tata usaha hanya sekali. Namun dua siswa dari SMA yang sama mengaku tidak mengetahui adanya bantuan kuota internet dari pemerintah provinsi. Ketidaktahuan tersebut mendukung pernyataan bahwa anggaran Bosda sebesar 5,5 juta persiswa termasuk kebutuhan internet belum atau mungkin tidak terwujud.
Terlepas dari polemik pelaksanaan pendidikan gratis, penulis mengapresiasi bila kenyataannya program ini adalah niat tulus pemerintah untuk memajukan pendidikan di Banten. Penulis sendiri  menerima manfaat dari pendidikan gratis saat kelas 11 dan 12, namun akan memilukan bila pelajar di kota atau kabupaten lain belum dapat menikmati program ini.Â
Pemerintah dapat melibatkan para tokoh dengan kredibilitas di bidang-bidang terkait, seperti pendidikan dan ekonomi dalam membuat keputusan untuk program pendidikan gratis ini. Pemerintah juga harus mendengar keluhan sekolah terkait kendala dalam program dan melakukan evaluasi supaya tidak menimbulkan kesalahan berulang.Â
Selain itu, pemerintah tidak boleh tinggal diam bila ada sekolah yang belum layak, belum terjamah teknologi, atau bahkan masih melakukan tindak korupsi. Jangan sampai karena urusan politik semata, pemerintah memaksakan diri dengan slogan pendidikan gratis tanpa realisasi yang tepat sasaran. Karena jika itu yang terjadi, kemajuan pendidikan di Banten tidak dapat terwujud.
*Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H