Tahun 2154 Bumi di ambang sekarat. Kehabisan sumber daya alam Bumi, manusia harus menjelajah planet lain untuk mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan. Demi menemukan Unobtanium, generator energi bagi pesawat lintas bintang, organisasi RDA di Bumi mengirim tim ke Pandora. Sebuah satelit planet di Alpha Centauri, berjarak 4,25 tahun cahaya. Di Pandora cadangan besar Unobtanium ditemukan tepat di bawah pohon raksasa suci bangsa Na'vi, penghuni asli Pandora dengan teknologi primitif. Ketika RDA memaksakan menambang Unobtanium dengan mengorbankan pohon suci, konflik dengan bangsa Na'vi tidak terelakkan.
Kisah film spektakuler Avatar tersebut sesungguhnya bukan fiksi masa depan atau luar angkasa. Avatar relevan di masa kini dan planet ini.
Di Indonesia masyarakat yang kehidupannya bergantung dari alam seperti Bangsa Na'vi, tersebar di berbagai penjuru nusantara. Masyarakat hutan, yang hidup berdampingan di sisi hutan dan menjadikan hutan sebagai tumpuan hidup, sudah ada jauh sebelum lahirnya Republik Indonesia. Sayangnya, di masa silam undang-undang yang berlaku di negara kita tidak mengakomodir kehidupan mereka.
"Sejak SD, saya sudah diajak ayah memanen hasil hutan ." tutur Jaka, seorang penduduk di salah satu pemukiman hutan. Jaka mengenang ia dan ayahnya seringkali berangkat ke hutan sore hari dan pulang membawa hasil hutan saat gelap.
Meskipun tidak pernah menanyakan, Jaka sering heran kenapa ayahnya selalu mengambil jalan memutar yang terbilang jauh. Belakangan akhirnya Jaka mengerti, ayahnya tengah menghindari mantri hutan, demikian masyarakat menyebut polisi kehutanan. Jika tertangkap polisi hutan karena mengambil hasil hutan hukumannya tidak main-main, kurungan penjara menanti.
Jaka dan ayahnya, dan masyarakat sekitar hutan pada dasarnya hanya melanjutkan apa yang dilakukan orang-orang tua mereka, hidup dari hutan. Mereka tidak mengerti kenapa peraturan negara menghalangi kehidupan mereka. Jaka dan ayahnya, yang mengambil hasil hutan sekedar untuk menyambung hidup harus menanggung resiko hukum. Sementara perusahaan-perusahaan besar, berbekal izin dan dilindungi peraturan negara mengeksploitasi hutan dan gunung.
Sepuluh tahun silam, angin perubahan berhembus bagi masyarakat seperti Jaka. Tepatnya pada hari Kamis, 16 Mei 2013, Mahkamah Konstitusi Repbulik Indonesia (MKRI) atau disebut MK, menerbitkan Putusan Nomor 35/PUU-X/2012MK No. 35, yang memenangkan perwakilan masyarakat atas gugatan uji materi UU Kehutanan.Â
Putusan yang kemudian dikenal sebagai MK-35 tersebut, menghapus kata "Negara" dalam Pasal 1 Angka 6 UU Kehutanan No 41 tahun 1999. Menjadikannya berbunyi: "Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat". Terlihat sederhana. Tetapi putusan MK-35 merupakan tonggak bersejarah bagi masyarakat adat, karena hak kepemilikan masyarakat (adat) atas hutan, yang selama ini dimasukkan dalam hutan negara sudah pulih.
Momen tersebut dapat disebut sebagai menjadi titik awal reformasi kehutanan Indonesia. Putusan MK-35 menggoyahkan kekuasaan absolut negara atas hutan. MK menegaskan bahwa di wilayah tertentu, posisi masyarakat atas hutan tidak berada di bawah negara. Masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan negara atas hutan. Hak masyarakat untuk hidup, mengeksploitasi hasil hutan, mengelola, sekaligus menjaga kelestarian hutan, harus diakui dan dilindungi oleh negara.
Sebelum itu kontrol negara terhadap lahan yang disebut "kawasan hutan" sangat superior. Pemerintah dapat saja menetapkan atau mengubah suatu kawasan hutan, berdasarkan pertimbangan kepentingan ekonomi. Dengan alasan demi kemajuan, pemerintah dapat memberi izin-izin eksploitasi hutan kepada perusahaan-perusahaan melalui Hak Pengelolaan Hutan atau pertambangan. Merubah status suatu kawasan hutan, menjadi tambang, perkebunan, atau HTI, yang dikelola oleh pemodal swasta atau pun oleh BUMN. Sebagaimana RDA meng-invasi Pandora, perusahaan-perusahaan ini menggunakan mesin, alat berat, tenaga kerja, dan alat angkut raksasa Tak pelak, konflik dengan penduduk yang kehidupanannya tergantung dari hutan kerap terjadi. Â Kisahnya bahkan lebih rumit dari Avatar, karena masyarakat yang melawan invasi perusahaan tersebut dapat berakhir di penjara.