Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Penguatan Pelaku Segitiga Pendidikan, Kunci Sukses Kurikulum Merdeka

2 April 2023   23:58 Diperbarui: 3 April 2023   00:31 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasus penganiayaan terhadap guru oleh murid di sekolah kerap menghiasi pemberitaan media. Pada 2018 silam misalnya, seorang guru honorer tewas di Madura akibat pemukulan yang dilakukan salah seorang muridnya di dalam kelas. Penyebabnya sepele, murid tidak terima ditegur karena kenakalannya. Ada juga orang tua siswa mendatangi sekolah dan menganiaya guru karena tidak terima anaknya dihukum.

Di sisi lain, ada juga guru yang dicokok penegak hukum karena melakukan tindak kriminal terhadap murid. Kepercayaan orang tua menyerahkan pendidikan anaknya kepada institusi pendidikan, dikhianati oleh oknum guru yang tidak bertanggungjawab.

Berbagai kasus kekerasan, bahkan kriminal, di lingkungan sekolah yang diberitakan media bisa jadi hanya puncak gunung es di dunia pendidikan Indonesia. Siswa yang sama sekali tidak memiliki rasa hormat kepada guru dan lembaga pendidikan, guru yang tidak menjunjung tinggi kehormatannya sebagai guru, dan orang tua murid yang tidak memahami fungsi dan tanggung jawab lembaga pendidikan. Ada sesuatu yang salah di sekolah dan pendidikan Indonesia.

Peran negara, dalam fungsi dan tujuannya untuk "Mencerdaskan kehidupan bangsa", sebagaimana diamanahkan pembukaan UUD 45, adalah memfasilitasi dan memberikan bantuan kepada setiap warganya anaknya mendapat pendidikan yang baik. Sementara pendidikan, pada dasarnya adalah tetap tanggung jawab setiap orang tua. Sekolah tidak mampu mengawasi seorang anak hingga 24 jam.

Sayangnya, kurikulum di Indonesia kurang memberikan peran bagi orang tua untuk terlibat atau memberi sumbangsih dalam pendidikan formal. Semenjak kemerdekaan, Indonesia sudah melakukan sekurangnya 11 kali perubahan kurikulum. Setiap perubahan kurikulum tersebut pemerintah merestrukturisasi, menambah atau menghapus mata pelajaran, perubahan sistem ujian, sistem administrasi guru dan sekolah, hingga penggantian buku-buku pegangan guru serta murid. 

Perubahan kurikulum di tingkat atas belum mampu menyentuh skala mikro, seperti relasi mendalam siswa dengan sekolah, relasi orang tua dengan sekolah, atau peran lingkungan terhadap pendidikan di sekolah. Pendidikan formal pada skala mikro selama ini bergantung pada para guru dan sekolah dalam menerapkan kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Sementara orang tua murid sekedar menjadi penonton bagi proses pendidikan anak-anak yang dititipkannya di sekolah.

Seorang dosen menceritakan pengalaman ketika anaknya masuk salah satu sekolah menengah negeri. Di tengah tahun ajaran osen tersebut mencoba memberikan masukan kepada guru dan sekolah tempat anaknya belajar. Harapannya sang anak dapat memperoleh pendidikan yang sesuai dengan cita-cita dan rencana kariernya di masa depan, tanpa terlalu membebani dengan berbagai materi pelajaran untuk remaja seusianya.

Sayangnya, sekolah tidak dapat menerima usulannya karena terikat pada kurikulum yang ditetapkan negara. Akhirnya dengan berat hati, setelah beberapa bulan belajar, dosen tersebut memindahkan anaknya ke salah satu sekolah internasional yang memberi fleksibilitas untuk menyesuaikan dengan cita-cita sang anak. Meskipun diakui sang dosen, biaya sekolahnya

Pengalaman dosen tersebut memberi dua indikasi kekurangan pendidikan Indonesia akibat kurikulum yang bersifat rigid dan top down. Pertama, tidak memberikan fleksibilitas bagi seorang anak untuk menempuh pendidikan yang sesuai dengan bakat dan cita-citanya sejak dini. 

Padahal pembentukan cita-cita dan proses pendidikan yang sesuai bakat dan dilakukan sejak dini menentukan kesuksesan seseorang dalam karir dan masa depannya. Seorang seperti Lionel Messi misalnya, dapat sukses berkarir dan menjadi seorang pemain terbaik di dunia karena sudah mendapat latihan dan pendidikan sejak berusia 9 tahun untuk menjadi pesepakbola profesional.

Kedua, tidak memberi peluang bagi pihak di luar pemerintah dan sekolah, untuk memberi sumbangsih dan peran bagi kemajuan pendidikan anak. Sebagai siswa, selain memiliki kemampuan akademis dengan pendidikan yang baik, keberadaan anak sebagai individu juga tidak kalah penting. Adanya masukan untuk sekolah, yang bersifat positif bagi peningkatan kualitas pendidikan seharusnya dapat diadopsi dan diaplikasikan. Bukan ditolak karena tidak sejalan dengan kurikulum yang ditetapkan negara.

Pada tahun ajar 2022-2023, ketika Kemendikbudristek menerapkan Kurikulum Merdeka, peluang bagi orang tua untuk aktif memberi sumbangsih bagi pendidikan di sekolah anaknya cukup terbuka. Dalam kurikulum merdeka, sekolah tidak lagi menjadi sistem rigid berpagar tinggi, yang tidak dapat menerima masukan atau metode pendidikan dari luar sekolah.

Dalam pesannya, menteri pendidikan Nadiem Makarim menjamin kebebasan bagi sekolah untuk merancang dan menerapkan kurikulum operasionalnya sendiri, sesuai dengan kemampuan sekolah, kondisi siswa dan lingkungan tempat sekolah tersebut berada.

Keputusan penting ini menjadi tonggak yang memberi peluang bagi orang tua dan lingkungan sekolah untuk turut berperan aktif sekaligus mengawasi proses belajar di suatu sekolah. Orang tua dapat didorong untuk lebih aktif berkomunikasi dengan sekolah. Turut serta dalam proses pendidikan anak, tidak hanya di rumah melainkan juga di sekolah. 

Konflik kekerasan orang tua terhadap guru akibat kesalahpahaman dan perbedaan metode pendidikan dapat dihindari sedini mungkin. Demikian juga, dengan keterlibatan orang tua di sekolah diharapkan dapat mencegah hingga seminimal mungkin peluang terjadinya tindak kriminal guru terhadap muridnya.

Lingkungan juga dapat memegang peranan lebih dalam pendidikan di suatu sekolah. Di daerah pesisir misalnya, sekolah dapat meminta pejabat pelabuhan, pelaut, peneliti, kepala desa atau bahkan nelayan, untuk dapat terlibat dalam pendidikan dengan memberi pelajaran mengenai lingkungan atau profesinya.

Adanya tiga unsur yang berperan dalam proses pendidikan yaitu: keluarga, sekolah, dan lingkungan, baik disengaja atau terjadi secara alami memberi pengaruh kepada siswa sekolah, sebetulnya sudah disadari oleh sekolah dan guru. Tetapi, untuk melibatkan ketiga unsur tersebut dalam proses operaionsl kurikulum pendidikan formal tidak lah mudah. Terlebih selama puluhan tahun kurikulum pendidikan Indonesia didikte oleh pemerintah pusat. 

Sekolah dan pelaksana pendidikan di tataran mikro, yaitu: guru, kepala sekolah dan tenaga administrasi, selama ini terbiasa untuk hanya melaksanakan apa yang sudah dirancang dan diperintahkan oleh SOP pelaksanaan pendidikan dan birokrat.

Karenanya, butuh proses dan adaptasi yang tidak sebentar, agar suatu sekolah dapat memberikan peran bagi setiap unsur dalam segitiga untuk terlibat dalam kurikulum oprasionalnya.

Langkah yang dapat diambil untuk mempercepat di antaranya: sekolah memetakan kondisi orang tua siswa. Pada dasarnya semua orang tua murid harus dilibatkan dalam desain kurikulum operasional sekolah. Tetapi tidak semua orang tua siswa merupakan orang yang memahami pendidikan dan dapat memberikan usulan konstruktif bagi kurikulum. Karena itu, beberapa orang yang dinilai memiliki kapabilitas, diprioritaskan untuk diajak diskusi dan diberikan waktu untuk memberikan usulan, harapan, atau pun rancangan metode yang baik. Nantinya masukan ini dimasukkan oleh pihak sekolah ke dalam rancangan kurikulum.

Pemetaan lingkungan juga menjadi hal yang harus dilakukan sebelum merancang kurikulum sekolah. Lingkungan tempat tinggal, apakah dekat laut, daerah gunung, atau perkotaan, kondisi ekonomi masyarakat, profesi mayoritas peserta didik, merupakan data-data yang harus dikumpulkan sebagai dasar bagi desain kurikulum.

Selain itu, bantuan dari sekolah lain yang sudah lebih dahulu berhasil menerapkan kurikulum merdeka merupakan hal yang patut dipertimbagkan. Untuk itu, dinas-dinas pendidikan di daerah dan UPT pendidikan harus semakin memperkuat peran dalam berbagi informasi dan pengalaman, pelatihan dan pembinaan bagi setiap sekolah yang mulai menerapkan kurikulum merdeka.

Pada kurikulum pendidikan merdeka, sekolah dan guru tidak lagi menjadi pusat pembelajaran. Subyek utama yang berperan besar dalam proses pendidikan telah bergeser kepada siswa dan kegiatan belajarnya.  Belajar dengan simulasi, permainan, atau mengerjakan proyek, dan aktivitas yang mendorong keaktifan pelajar secara penuh, telah menjadi standar baku bagi kurikulum modern. Sementara sekolah berperan sebagai fasilitator dan pembimbing, yang memantau perkembangan serta mengarahkan siswa.

Akhir kata, semua pihak yang mengingingkan indonesia maju semestinya ikut berperan serta, meskipun dengan peran terkecil, dalam peningkatan kualitas pendidikan Indonesia. Supaya amanah "Mencerdaskan kehidupan bangsa", sebagaimana diamanahkan pembukaan UUD 45, dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.

Bogor, 2 April 2023

Bahan Bacaan

https://www.republika.co.id/berita/mbrvt6/ganti-kurikulum-ganti-apanya

https://www.kent.edu/community/what-experiential-learning-and-why-it-important

https://youtu.be/tEEqPM1ZevQ

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun