"Bapak baru aja kirim wesel, Pan." Suara bapak dari ujung telepon terdengar melegakan. Meskipun demikian, pemberitahuan itu tidak seketika memecahkan permasalahan mahasiswa yang kehabisan bekal. Butuh waktu sekitar 3 hari wesel pos untuk sampai. Itu pun tidak dapat dicairkan, sebelum ada surat keterangan dari direktorat kemahasiswaan.
Saat menuntut ilmu di Bogor, masalah klasik yang harus dihadapi di bulan-bulan pertama adalah kesulitan keuangan. Bapak belum bisa transfer uang melalui rekening bank. Kartu Mahasiswa, sekaligus berfungsi sebagai tabungan, baru jadi 5 bulan. Saat itu membuka tabungan tidaklah mudah. Selain harus sesuai domisili KTP, nominal awal biaya pembukaan tabungan dan dana yang mengendap di luar jangkauan mahasiswa yang kiriman bulanannya pas-pasan.
Terkenang masa itu, tidak terbayangkan jika sekarang saling berkirim uang bisa dilakukan dalam hitungan detik. 20 tahun silam bapak harus menempuh perjalanan 4 km untuk mengirim uang. Sekarang cukup duduk manis di kamar kecil pun kita bisa mengirim uang, dari Sabang ke Merauke.
Produk keuangan yang hari ini saya kenal juga tidak sebatas wesel pos atau tabungan. Bemacam-macam produk keuangan, dengan ragam manfaat, ditawarkan. Saking banyaknya produk keuangan dari berbagai lembaga keuangan, kebanyakan orang tidak melek literasi keuangan bukan karena tidak mau tahu. Melainkan karena bingung.
"Padahal mengenal dan manfaatkan produk keuangan, sama pentingnya dengan bagaimana mendapatkan uang." Demikian pendapat kawan saya.
"Dari sisi manfaat personal, untuk mudahnya aku pribadi membagi produk keuangan menjadi tiga. Pertama produk keuangan yang berfungsi membantu dan mengelola transaksi, kedua produk perlindungan, dan ketiga produk investasi. Produk keuangan yang demikian banyaknya itu, merupakan variasi atau kombinasi dari fungsi-fungsi tadi." Kawan saya menjelaskan.
Jika disurvey produk keuangan apakah yang paling populer? Di era teknologi Artificial Intelegent sekarang, uang elektronik mungkin berada di ranking pertama. Dari tahun ke tahun, transaksi uang elektronik terus mengalami peningkatan.
Data Bank Indonesia menunjukan, pada tahun 2019 terjadi 5,2 milyar transaksi uang elektronik dengan nilai mencapai lebih dari Rp. 145 triliun. Angka itu meningkat pesat dari tahun 2018 yang mencatatkan transaksi 2,9 milyar dengan nilai lebih dari Rp. 47 trilyun. Nilai itu melipat beberapa ratus kali dari 5 tahun sebelumnya, tahun 2013, yang hanya mencatatkan sekitar 138 juta transaksi uang elektronik dengan nilai transaksi sebesar Rp. 2,9 milyar.
Data-data tersebut menunjukkan terjadinya peralihan budaya keuangan. Terutama di daerah metropolitan. Tidak mengherankan jika penyelenggara jasa uang elektronik semakin meningkat dari tahun ke tahun. Tidak tanggung-tanggung, hari ini BI mencatat ada 51 penyedia jasa uang elektronik di Indonesia.
Popularitas uang elektronik meningkat sejalan dengan peneningkatan layanan keuangan yang terintegrasi dengan telepon seluler. Aplikasi uang elektronik di telepon seluler telah memudahkan mobilitas dan pembayaran kebutuhan sehari-hari masyarakat. Tagihan listrik, pulsa telepon, bayar ojek, sampai pinjam uang bisa dilakukan kini bisa dilakukan melalui telepon seluler.
Faktor lain yang meninkatkan popularitas uang elektronik adalah kecepatan. Uang elektronik beberapa kali lebih cepat jika dibandingkan uang tunai. Sebagai contoh, sebuah studi menunjukkan penggunaan uang elektronik di Gerbang Tol Otomatis membutuhkan waktu 2-3 detik, dibandingkan gerbang tol tunai menghabiskan waktu 3-4 detik. Sehingga GTO di Jabodetabek telah menjadi standar masuk jalan toll guna membantu mengurangi kemacetan akibat antrian kendaraan di pintu toll.