Lalu semakin terbatasnya pilihan, profesi tersebut menjadi kebiasaan. Uang yang diperoleh memang tidak banyak, jika hanya menghitung dari jumlah yang diberikan orang. Tapi jika dihitung dari kuantitas pemberian, akan berlipat ganda. Misal uang Rp. 2000 dikalikan 150 orang yang memberi jumlahnya bisa mencapai 300 ribu. Itu sehari. Jika setiap hari mengemis maka dalam sebulan bisa mendapatkan hasil 9 juta. Jumlah itu di atas rata-rata UMR. Tidak heran, ada yang kemudian menjadikan profesi pengemis sebagai pilihan kehidupannya
Dari sini timbul dilema, apakah memberikan sedekah atau sumbangan di jalan tidak tepat karena para pengemis di jalan itu sebetulnya orang kaya semuanya?
Mungkin memang ada beberapa pengemis yang kaya, bahkan lebih daripada orang yang memberikan mereka uang. Tapi menurut pendapat saya pribadi menggeneralisir bahwa semua pengemis merupakan orang kaya juga bukan hal yang tepat. Bisa jadi memang ada juga orang yang benar-benar tidak mampu dan terpaksa mencari nafkah dengan meminta-minta di jalan.
Soal bersedekah di jalan, dilihat dari kedua sudut pandang, saya tidak bisa memberikan kesimpulan yang melarang, maupun menganjurkan orang untuk memberikan sedekah di jalan. Apalagi jika niat sebagian orang bersedekah adalah sekedar untuk memberikan uang receh sisa kembalian.Â
Tidak ada nilai moral atau pun agama yang membatasi kapan dan di mana kita memberikan uang sedekah. Jangan cemburu dan membenci peminta-minta juga kalau melihat mereka justru "lebih kaya" daripada kita yang memberikan sedekah kepada mereka. Karena kita sendiri tidak tahu, keadaan mereka yang sebenar-benarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H