Lembaga Survey kembali disorot ketika menunjukkan angka Quick Count (QC) yang memenangkan salah satu pasangan pada pemilu 2019.
"Lembaga survey tidak netral"
"Lembaga survey menggiring opini publik"
"Lembaga survey pembohong"
"Lembaga survey dibayar untuk memenangkan salah satu paslon"
Itulah beberapa diantara puluhan atau ratusan kalimat miring, negatif, dan tuduhan senada yang telah dialamatkan kepada lembaga survey.
Jadi makhluk apa sebenarnya lembaga survey itu? Sampai mereka berani mengumumkan nilai-nilai QC yang menunjukkan kemenangan salah satu kandidat ketika pemilu baru saja  selesai beberapa saat.
Apakah bisnis QC merupakan bisnis musiman yang hanya ada saat musim pemilu? Lalu di luar musim pemilu, pekerjaan mereka hanya menghabiskan uang yang mereka dapatkan dari lelang pengumuman pemenang pemilu tadi.
Nyatanya, lembaga-lembaga survey memiliki karyawan profesional yang bekerja setiap waktu. Proyek dan pekerjaan yang menghampiri mereka tidak pernah sepi.
Pernah mendengar rating sinetron atau rating acara televisi? Itulah salah satu contoh pekerjaan mereka. Merekalah yang melakukan studi untuk mengetahui jumlah penonton sebuah acara televisi, sehingga menentukan nilai serapan sebuah acara terhadap iklan dan tarif iklannya.
Ilustrasi lain mengenai pekerjaan lembaga survey saya sajikan dalam narasi berikut ini.
Bayangkan anda adalah direktur sebuah pabrik makanan ringan dan berencana meluncurkan produk baru ke pasar. Sebut saja Keripik Jengkol Rasa Barbeque.
Kalau produk itu anda lempar ke pasaran tanpa kepastian laku atau tidaknya, resikonya sangat tinggi. Tidak hanya kerugian bahan baku, waktu, tenaga, biaya distribusi dan biaya promosi yang harus anda tanggung akan sangat besar kalau produk tersebut ternyata tidak disukai pasar.
Lalu bagaimana cara mengetahui respon pasar terhadap produk Jeripik Jengkol Barbeque itu? Hubungi lembaga survey. Mereka akan bekerja, mengambil sampel, melakukan perhitungan matematis untuk mengetahui apakah produk tersebut layak dijual atau tidak.  Lalu menunjukkan dengan angka statistik  tingkat kesukaan masyarakat terhadap calon produk anda.
Keputusan akhir ada di tangan anda sebagai pemegang wewenang di pabrik. Tapi kalau menurut studi lembaga survey Keripik Jengkol Barbeque itu tidak akan diserap pasar, sebaiknya produk itu tidak diproduksi massal daripada anda rugi besar.
Sebutlah lembaga survey sebagai juru ramal. Tapi tidak sama dengan dukun yang bermodalkan penerawangan batin, bola kaca, dupa, atau mantera, lembaga QC menggunakan metode ilmiah dan perhitungan matematika-statistika untuk melakukan ramalannya.Â
Lalu, seperti kasus Jengkol Barbeque anda, hasil QC tidak memberi legitimasi atau menjadi acuan untuk perhitungan resmi suara pemilu. Keliru kalau anda menganggap hasil QC bisa jadi dasar untuk perhitungan resmi yang sah dan berkekuatan hukum. Bukan itu fungsi QC.Â
QC adalah bentuk partisipasi masyarakat untuk menyajikan informasi mengenai hasil pemilu secara cepat dan akurat jauh sebelum hasil resmi diumumkan. Selama ini, semenjak pemilu 2004 lembaga QC resmi tidak pernah meleset menebak pemenang pilpres, nilai kemenangannya pun hanya berselisih sedikit dengan nilai QC.
Apakah ramalan QC tidak mungkin salah?
Tentu saja sebagai hasil pekerjaan manusia dan perhitungan matematis, QC bisa salah. Karena itulah terdapat nilai yang disebut margin error. Nilai margin error itulah yang menentukan seberapa besar kesalahan yang mungkin terjadi pada nilai QC. Misal, jika nilai perhitungan QC 45% memiliki margin error 2% maka kemungkinan nilai real count adalah antara 43% - 47%. Â Mungkin juga angka di luar rentang itu, tapi bisa dibilang itu mustahil.
Semakin kecil nilai margin error, semakin dekat nilai QC terhadap Real Count. Dalam kasus pemilu, jika rentang selisih hasil QC antara calon yang berlaga sangat jauh, lembaga survey akan sangat percaya diri mengumumkan hasilnya.
Lembaga survey sangat kesulitan ketika ada dua pasangan calon presiden-wapres dengan selisih hasil suara sangat dekat. Misal 49,3% berbanding 50,2% , sisanya tidak sah. Dengan margin error 1% pun lembaga survey akan sport jantung saat mengumumkan hasil QC mereka. Sulit menentukan siapa pemenangnya karena peluang kedua calon sebetulnya sama besar.
Dari uraian itu kita bisa mengetahui bahwa sejatinya lembaga survey merupakan lembaga riset. Komoditas mereka adalah kepercayaan. Hasil QC tidak semata diukur dari nilai yang mereka tunjukan, melainkan bagaimana mereka mengambil data dan metode apa yang mereka gunakan untuk melakukan studinya. Kesalahan menebak atau menentukan pemenang pilpres bukan ukuran utama, selama cara pengambilan data dan metode perhitungannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Sebagai lembaga riset yang menjadikan kepercayaan sebagai bisnisnya, lembaga survey pasti tidak ingin memiliki reputasi tercela karena menampilkan hasil survey pesanan. Bisnis utama mereka akan hancur total karena ditinggalkan klien yang kehilangan kepercayaan.
Pemilu bagi lembaga survey adalah  perlombaan untuk menaikkan pamor lembaganya. Pemilu adalah pertaruhan reputasi. Saat pemilu inilah seluruh mata tertuju pada lembaga survei sehingga mereka berlomba-lomba untuk menebak hasil pemilu dengan akurasi tertinggi.
Semakin mendekati real count hasil tebakan mereka, maka semakin tinggi pula pamor mereka. Sebaliknya makin meleset tebakan mereka, tentu reputasi mereka semakin menurun. Ramalan yang pasti, calon-calon klien yang akan memanfaatkan jasa mereka dapat lebih mudah digaet jika tebakan mereka jitu.
Hasil QC terbukti secara ilmiah. Soal anda lebih percaya rumor dibandingkan hasil QC, itu urusan anda.
Bogor, 5 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H