"Siapa Rocky Gerung?"
Orang akan mengerutkan kening, dan balik bertanya, kalau ditanyakan tentang Rocky.
Misal jika dibandingkan dengan popularitas Ahmad Dhani, Ahok, Luthfi Hasan, atau artis lokal semacam Diana Sastra dari Cirebon, nama Rocky Gerung tidak ada apa-apanya. Bisa dikatakan, tidak ada orang kenal Rocky.
Tapi itu dulu ya, sebelum dia tampil di acara bincang politik sebuah stasiun televisi.
Berkat keahliannya berretorika dan memainkan logika, popularitas Rocky bagaikan menunggangi Apollo 11 yang membawa namanya meroket ke Bulan.
Tiba-tiba Rocky menjadi selebriti.Â
Bukan selebriti sembarangan. Setelah selebgram dan selebtube, yang menjadi tonggak neoselebriti di era medsos, Rocky adalah standar baru di dunia selebriti Indonesia dengan status Selebriti Intelektual.
Seorang akademisi, profesor di sebuah perguruan tinggi elit, orang pintar yang meraih popularitas tertinggi di negara ini dengan keenceran otaknya.
Padahal bidang ilmu yang didalami Rocky tergolong minim peminat.
Saya ingat saat duduk di akhir kelas 3 di sekolah menengah atas, teman-teman sering bercanda dengan pertanyaan "UMPTN mau ambil jurusan apa?". Jawabannya: "Filsafat informatika" atau "Filsafat elektro" atau "Filsafat komputer", sambil tertawa.
Maksudnya, memilih filsafat supaya mudah masuk perguruan tinggi negeri karena yang mendaftar hanya 5 orang dari 30 kursi yang tersedia, alias sepi peminat. Kenyataannya, ilmu keteknikan yang menjanjikan pekerjaan dan masa depan lebih baiklah yang menjadi pilihan teman-teman saat itu.
Candaan tentang ilmu filsafat seperti itu terjadi dulu sekali.
Saat ini mulut dingin (satu rumpun dengan tangan dingin) seorang Rocky Gerung telah menempatkan ilmu filsafat dalam posisi yang tinggi.
Kontes-kontes menyanyi yang beberapa waktu silam mendominasi layar kaca, tenggelam oleh pemaparan pendapat Rocky terhadap berbagai permasalahan.
Walaupun suaranya tidak semerdu Rossa, nyanyian Rocky dinanti di layar kaca.
Grup-grup penggemar Rocky bermunculan bak jamur di musim hujan.
Tayangan youtube Rocky dilihat jutaan orang, melampaui lagu-lagu boyband.
Di media sosial kata-kata dan logika Rocky diteruskan oleh jari setiap penggemarnya.
Olah pikir dan olah kata Rocky telah menempatkan filsafat menjadi mercusuar.
Apakah Rocky juga berpengaruh nyata terhadap peningkatan minat untuk masuk jurusan filsafat? Tentang ini perlu kajian ilmiah mendalam, yang pasti kunjungan dan kuliah umum Rocky di setiap kampus selalu dipenuh-sesaki mahasiswa/wi.
Berkat Rocky popularitas filsafat di negara yang masyarakatnya malas berpikir, menanjak signifikan.
Rocky sebagai imitasi Foucault
"Rasanya saya pernah melihat orang ini" batin saya.
Bukan wajahnya, tapi sosoknya seperti pernah saya lihat.
Beberapa hari kemudian baru saya ingat seorang filusuf Perancis era pertengahan abad 20, Michel Foucault, dari rekaman debat legendarisnya dengan Chomsky.
Gesture, gerak badan, posisi duduk, cara memainkan tangan, sampai sebagian gaya bicara Rocky Gerung benar-benar merupakan copy-paste Michel Foucault.
Bahkan lebih dari gesture semata, Rocky juga sangat mahir mengemukakan teori-teori filsafat Foucault.
Di era awal kemunculan Rocky di tengah publik, Rocky melemparkan teori legendarisnya bahwa pembuat berita bohong (hoax) terbaik adalah penguasa.
Jika dikaji, teori Rocky tersebut merupakan bahasa kekinian dari teori relasi kekuasaan dan kebenaran yang dirumuskan oleh Foucault di tahun 60-an.
Menurut Foucault kebenaran publik selalu didikte oleh kekuasaan, atau penguasa. Itu terjadi karena penguasa memiliki kelengkapan alat, akses dan infrastruktur, untuk membuat berita, menyusun sejarah dan menuliskan kebenarannya, lalu menyebarkan ke publik.
Itulah pandangan yang dicomot Rocky.
Sayangnya teori yang diungkapkan Rocky tersebut sudah usang.
Dungu sekali (meminjam kata-kata Rocky) menyamakan keadaan saat ini dengan setengah abad lalu.
50 tahun silam belum ada internet, android dan media sosial, apalagi facebook, twitter, whatsapp, telegram dan sepupu-sepupunya.
Hari ini ketika setiap orang memiliki akses ke sumber informasi dan data yang melimpah, setiap orang bisa menciptakan informasinya sendiri.
Bukan hanya penguasa yang bisa membuat kebohongan nyaris sempurna, setiap orang punya peluang melakukannya, itu dibuktikan dengan kasus Ratna Sarumpaet.
Bahkan, siapa pun yang terhubung ke dunia maya dari berbagai latar belakang pendidikan dan pemikiran, mampu membuat dan menyebarkan kebohongannya ke tengah publik.
Bagi saya tidak mengherankan ketika teori Rocky kadaluarsa, karena teori Rocky merujuk, atau malah hasil copy paste, dari teori Foucault yang meninggal hampir setengah abad silam.
Dalam kesempatan lain, Foucault mengutip kalimat ikonis Nietzsche bahwa "Tuhan telah mati". Â Foucault memaknai "kematian Tuhan" itu sebagai rontoknya, atau hancurnya, belenggu yang membatasi manusia. Bagi Foucault hasilnya adalah manusia menjadi makhluk dengan kebebasan tak terbatas dalam menjalani kehidupannya.
Sementara itu beberapa pernyataan Rocky menunjukkan kesepahamannya dengan Foucault mengenai pandangan kebebasan manusia yang tak terbatas tersebut. Pernah berkata Rocky Gerung bahwa 'Demokrasi adalah kebebasan yang dilembagakan", dalam kesempatan lain dia juga berkata bahwa "Demokrasi membutuhkan liberalisme". Menurut Rocky kebebasan dalam hidup demokrasi adalah keniscayaan yang pasti, dan negara kita demokrasi bukan?
Lalu yang paling terkenal adalah "Kitab suci sebagai fiksi", Rocky menggiring pemahaman bahwa dengan posisi sebagai fiksi, pembaca kitab suci memiliki kebebasan menafsirkan isi sesuai imajinasinya. Padahal kitab suci agama mana pun, terlebih Al-Quran, ada kaidah-kaidah penafsiran dan tidak membolehkan kebebasan imajinasi pembaca dalam menafsirkannya, kecuali dengan keilmuan dan otoritas khusus, karena adanya keterkaitan kitab suci dengan Nabi (sebagai pembawa pesan suci) dan Tuhan.
Di benua asalnya, pemikiran Foucault banyak menerima kritik karena terlalu negatif, tidak obyektif, dan dinilai amoral oleh sebagian pihak.
Pengaruh pemikiran Foucault di Eropa sendiri tidak terlalu besar, namun ditanamnya pemikiran Foucault di tengah masyarakat yang intelektualitas sosialnya sedang tumbuh seperti Indonesia menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Apalagi jika diikuti secara membabi-buta oleh mahasiswa.
Meskipun fisik Rocky Gerung sama seperti orang Indonesia pada umumnya, Rocky Gerung adalah produk barat, murni imitasi lahir-batin dari Michel Foucault yang liberal 24 karat.
Kebebasan yang diusung Rocky mengundang bahaya di masa depan, karena kita orang timur. Jangan sampai masyarakat Indonesia menjadi laboratorium bagi percobaan-percobaan ilmu filsafat yang di tempat asalnya sendiri tidak lebih dari bahan debat.
Bogor, 29 Januari 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H