“Cari tahu dengan jarimu”.
Siapa sangka jingle pendek iklan Yellow Pages yang dua windu lalu menghiasi televisi, hari ini terwujud sempurna. Dahulu “cari tahu dengan jarimu” dilakukan dengan menelusuri deretan nomor pada setumpuk kertas yang cukup tebal untuk dibikin bantal atau ganjal truk. Saat ini bukan hanya nomor telepon, tapi informasi apa pun, berita apa pun, dari mana pun berasal, dalam hitungan detik berada di ujung jari. Berkat meluasnya penggunaan telepon cerdas dan jaringan telekomunikasi nir kabel.
Revolusi informasi ter-kemudian adalah media sosial. Saat halaman daring berita menempatkan masyarakat sebagai obyek pasif, media sosial me-revolusi pola komunikasi masyarakat secara radikal. Setiap orang yang terhubung dalam jaringan menjadi subyek aktif, saling menyapa, bertukar informasi dan berdiskusi, di mana pun dan kapan pun, tanpa terbatas ruang dan temu muka. Hanya dengan ujung jari.
Berkat lancarnya aliran pengetahuan, berita, serta data yang mudah dibagikan tersebut, wawasan dan cara pandang masyarakat menjadi lebih luas, terbuka, dan beragam.
Namun informasi tetaplah pedang bermata dua, di satu sisi sumber pengetahuan, di sisi lain memicu bahaya. Sehingga walau pun tertera dalam kitab suci umat Islam, Firman Allah dalam Qur’an surat Al-Hujurat ayat ke-6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” menjadi semakin relevan bagi setiap orang apa pun agamanya. Terlebih di era hujan informasi menjadi bagian keseharian kita.
Sayangnya, masyarakat kita belum mampu secara arif menempatkan diri menghadapi derasnya arus informasi. Berita negatif dan menyesatkan yang menghiasi media sosial kerap merembes dalam kehidupan nyata. Terlebih ketika persoalan agama yang menjadi bahan cerita, masyarakat kita begitu mudah terprovokasi, berdebat, menghina, hingga melaknat pihak lain. Seakan “cerita” yang menjadi viral di media sosial adalah rujukan paling benar. Padahal belum tentu cerita tersebut benar, dan belum pasti pihak lain bersalah. Ada bahaya yang mengancam ketika media sosial menjadi ladang subur penyebaran informasi menyesatkan, radikalisme, dan meresahkan kehidupan beragama.
Tulisan ini lahir dari sebuah kegelisahan menyaksikan fenomena di media sosial. Sebagai sarana urun pandangan dan kesadaran, bahwa lebih dari penting untuk merawat kerukunan beragama yang terbangun di bumi pertiwi. Pun bukan hanya sebuah tanggung jawab, melainkan juga kebutuhan. Kebutuhan kita, kebutuhan saudara seagama, kebutuhan umat beragama, kebutuhan bangsa, dan kebutuhan generasi penerus kita.
Belajar dari kasus di Timur Tengah, isu agama sangat sensitif dan mudah terekskalasi menjadi konflik dengan skala yang lebih besar dan merusak. Sehingga ketika setiap informasi berada di ujung jari kita, setiap pribadi perlu mendirikan lembaga sensornya masing-masing. Karena bisa jadi melalui ujung jari kita, tersebar informasi yang tidak bertanggungjawab dan merusak kedamaian negeri tercinta ini.
Lembaga Sensor Pada Setiap Orang
Pasti ada sesuatu yang bisa kita lakukan saat menerima informasi yang keliru, karena menjaga kerukunan beragama di era media sosial dimulai dari pribadi setiap orang. Segencar apa pun bombardir berita negatif di media sosial, ketika setiap orang memiliki sensor ketat, semua berita akan tersaring tanpa menghasilkan konflik berarti.
Sensor lapis paling pertama harus kita miliki adalah: Mindset bahwa setiap berita, dari mana pun berasal memiliki kemungkinan benar dan salah yang sama besar. Sehingga kita tidak serta merta berpendapat sebuah kabar benar hanya karena berita itu berasal dari sumber yang dekat dengan kita secara fisik maupun emosional.
Setelah itu, biasakan untuk mengambil beberapa sumber informasi dari berbagai sumber. Membiasakan menerima secara terbuka informasi dari sumber yang tidak kita sukai akan membuka sudut pandang baru yang mungkin akan menuntun kita pada informasi yang lebih mendekati kebenaran. Pengetahuan bahasa asing, terutama Bahasa Inggris, menjadi alat yang penting untuk memperoleh informasi dari berbagai sumber.
Ketiga, menghindari untuk mempercayai media berita “abal-abal” yang menjamur seiring tumbuhnya pengguna media sosial. Belakangan ini berhembus jargon “jangan percayai media mainstream”, karena kejenuhan publik menyaksikan tangan pemilik modal yang mengendalikan media massa.
Kenyataannya, mempercayai sumber berita dari sembarang media sebetulnya lebih berresiko. Berita yang disampaikan oleh website atau media mainstream memang belum tentu 100% mewakili peristiwa yang sebenarnya, tetapi ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban atau disomasi ketika berita yang mereka sampaikan bersifat fitnah atau menyebarkan kebencian massa. Media massa mainstream memiliki kantor, ada alamat jelas, memiliki struktur organisasi yang terbuka, lengkap dengan redaktur dan wartawan yang bertanggungjawab atas berita yang disampaikan.
Tidak demikian halnya dengan website yang hanya mengutip berita dan menambahkan cerita sekehendak penulisnya. Bagaimana dan kemana meminta pertanggungjawaban pembuat berita yang alamat kantor dan redaksinya tidak terlacak?
Sensor berikutnya adalah, tahan diri dan berusahalah tidak menyebarkan, ataupun menjadikan berita kebencian di media sosial atau internet terbawa dalam kehidupan dan pergaulan di dunia nyata. Membaca interaksi media sosial dengan berita provokasi bagi saya pribadi terasa memprihatinkan. Kabar tentang kezaliman, peperangan, konflik di negeri yang bahkan tidak pernah diinjak, dibalut kisah-kisah agamis menjadi semacam alasan bagi sebagian orang untuk membenci, mencaci, memaki, dan melaknat kaum lain.
Peringatan Allah dalam Al ~ Qur'an surat Al -Maidah ayat 8.
"............Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah! karena adil itu lebih dekat kepada taqwa......”, seolah hanya angin lalu.
Di sisi lain, kita juga perlu memahami bahwa ada pihak-pihak yang memiliki itikad tidak baik memanfaatkan keterbukaan informasi untuk memuluskan misi jahat. Peneliti media kontemporer menyebutkan bahwa beberapa kelompok teroris memanfaatkan media sosial untuk merekrut anggota. Konon ISIS menghargai setiap kepala yang berhasil direkrut senilai US$ 10,000, atau setara Rp 130 juta, sebuah nilai yang tidak kecil. Dalam beberapa kasus, salah satu jalur rekrutmen adalah berita provokatif yang mengajak pembaca bergerak “melakukan sesuatu” untuk membela agama. Padahal, membela agama dengan perbuatan zalim tidak pernah dibenarkan siapa pun. Lebih jauh dari itu, ada sebagian negara yang menjadikan informasi sebagai alat untuk memecahbelah, menimbulkan keresahan, dengan tujuan menguasai negara lain. Information is the greatest weapon.
Karena itulah tumbuhnya kesadaran bahwa berita yang kita baca atau kita saksikan tidak bisa menjadi alasan untuk berbuat zalim terhadap sesama, akan memberi tambahan rem yang menahan kita untuk tidak mengetik kata-kata laknat yang ditujukan pada orang, atau kaum yang bahkan tidak pernah kita temui. Terlebih untuk ikut terjun dalam perbuatan yang menzalimi kaum lain, akan berpikir lebih matang 100 kali lagi.
Mengenali Berita Hoax
Banyak orang tidak menyadari bahwa sebagian besar berita di internet sesungguhnya adalah sampah. Ketika setiap orang bebas menuliskan apa saja, setiap orang bebas menyebarkan apa saja, internet menjadi kampung gossip. Bahkan bagi sebagian pihak gossip adalah tambang uang. Setiap klik (membuka sebuah halaman website tertentu) bisa dikonversi menjadi nilai rupiah. Akibatnya, sebagian kalangan berlomba-lomba menyajikan berita yang “menarik” untuk dilihat massa. Kepedulian masyarakat kita terhadap agama menjadikan peristiwa agama salah satu topik favorit yang memanen “klik”.
Sayangnya, paradigma “bad news is good news” benar-benar menjadi hukum utama bagi pebisnis berita ini. Sehingga, setiap peristiwa diolah menjadi berita yang menyulut emosi agar halaman website-nya dikunjungi banyak orang tanpa mempedulikan akibat negatifnya. Untuk itu penting bagi kita mengenali berita yang “digoreng” sedemikian rupa, mengaburkan fakta dan tanpa disadari menimbulkan kerusakan masyarakat. Beberapa ciri berikut ini menunjukkan sebuah berita sebetulnya tidak perlu diperaya.
Pertama, judul yang bombastis dan terasa dilebih-lebihkan. Judul yang “eye catching” berpotensi menarik banyak pengunjung, sehingga setiap tulisan dibuat semenarik mungkin, atau membuat penasaran..
Kedua, isi tulisan atau tayangan berita seringkali memancing emosi pembaca. Akibatnya, semakin banyak tulisan yang memancing emosi, semakin sering pembaca mengunjungi suatu website, semakin gemuk pundi-pundi rekening pemilik website. Tanpa disadari, masyarakat diperalat untuk kepentingan bisnis dengan menjual kebencian. Lagi-lagi, topik yang paling banyak menarik minat pembaca selalu menjadi favorit, salah satunya adalah topik agama.
Ketiga, pengelola website tidak segan melengkapi berita dengan foto rekayasa yang dramatis yang lebih mengaduk emosi. Untuk mengetahui rekayasa dan asal foto asli sesungguhnya tidak terlalu sulit dengan fasilitas google search image. Tetapi seringkali emosi membuat pembaca kehilangan kejelian dan akal sehat.
Keempat, adanya inkonsistensi dalam penyampaian berita. Dari waktu ke waktu dalam website tersebut, berita yang muncul tidak koheren. Selain hanya mengikuti tren berita yang sedang naik daun, jika dibandingkan dengan berita di media lain berita yang disajikan cenderung mengeksploitasi emosi massa dibandingkan menyajikan fakta.
Pada dasarnya, masyarakat kita adalah masyarakat yang sangat toleran dalam beragama sejak zaman dahulu. Tetapi di era media sosial ini, toleransi beragama semakin mendapat tantangan yang tidak ringan. Berkat media sosial, berita kebencian dan misi-misi tertentu dari berbagai pihak hadir langsung di depan mata setiap orang, bisa secara cepat dibagikan oleh setiap orang.
Karenanya untuk memelihara toleransi beragama di kehidupan nyata, membangun kesadaran bertoleransi di media sosial menjadi tidak kalah penting. Percik konflik, gesekan antar golongan, bentrok di beberapa wilayah, baik karena alasan ekonomi, sosial, atau pun agama, memang terjadi. Tetapi pemberitaan berlebihan di ruang media sosial semestinya disaring oleh pribadi kita, sebab seringkali berita yang beredar di media sosial sekedar untuk menarik minat pembaca disajikan tanpa fakta yang benar dengan opini dan bahasa provokatif. Supaya konflik yang terjadi tidak semakin melebar dan dijadikan alat oleh pihak tertentu untuk memperoleh keuntungan.
Untuk itu saya hanya punya satu ajakan. Mari kita rawat kedamaian dan kerukunan beragama dinegeri kita, dimulai dari ujung jari.
Bogor, 14 September 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H