Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merawat Kerukunan Beragama di Era Media Sosial Dimulai dari Jari

14 September 2016   23:27 Diperbarui: 2 November 2018   20:40 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah itu, biasakan untuk mengambil beberapa sumber informasi dari berbagai sumber. Membiasakan menerima secara terbuka informasi dari sumber yang tidak kita sukai akan membuka sudut pandang baru yang mungkin akan menuntun kita pada informasi yang lebih mendekati kebenaran. Pengetahuan bahasa asing, terutama Bahasa Inggris, menjadi alat yang penting untuk memperoleh informasi dari berbagai sumber.

Ketiga, menghindari untuk mempercayai media berita “abal-abal” yang menjamur seiring tumbuhnya pengguna media sosial.  Belakangan ini berhembus jargon “jangan percayai media mainstream”, karena kejenuhan publik menyaksikan tangan pemilik modal yang mengendalikan media massa.  

Kenyataannya, mempercayai sumber berita dari sembarang media sebetulnya lebih berresiko. Berita yang disampaikan oleh website atau media mainstream memang belum tentu 100% mewakili peristiwa yang sebenarnya, tetapi ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban atau disomasi ketika berita yang mereka sampaikan bersifat fitnah atau menyebarkan kebencian massa. Media massa mainstream memiliki kantor, ada alamat jelas, memiliki struktur organisasi yang terbuka, lengkap dengan redaktur dan wartawan yang bertanggungjawab atas berita yang disampaikan.

 Tidak demikian halnya dengan website yang hanya mengutip berita dan menambahkan cerita sekehendak penulisnya. Bagaimana dan kemana meminta pertanggungjawaban pembuat berita yang alamat kantor dan redaksinya tidak terlacak?

Sensor berikutnya adalah, tahan diri dan berusahalah tidak menyebarkan, ataupun menjadikan berita kebencian di media sosial atau internet terbawa dalam kehidupan dan pergaulan di dunia nyata. Membaca interaksi media sosial dengan berita provokasi bagi saya pribadi terasa memprihatinkan. Kabar tentang kezaliman, peperangan, konflik di negeri yang bahkan tidak pernah diinjak, dibalut kisah-kisah agamis menjadi semacam alasan bagi sebagian orang untuk membenci, mencaci, memaki, dan melaknat kaum lain. 

Peringatan Allah dalam Al ~ Qur'an surat Al -Maidah ayat 8.

"............Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah! karena adil itu lebih dekat kepada taqwa......”, seolah hanya angin lalu.

Di sisi lain, kita juga perlu memahami bahwa ada pihak-pihak yang memiliki itikad tidak baik memanfaatkan keterbukaan informasi untuk memuluskan misi jahat. Peneliti media kontemporer menyebutkan bahwa beberapa kelompok teroris memanfaatkan media sosial untuk merekrut anggota. Konon ISIS menghargai setiap kepala yang berhasil direkrut senilai US$ 10,000, atau setara Rp 130 juta, sebuah nilai yang tidak kecil. Dalam beberapa kasus, salah satu jalur rekrutmen adalah berita provokatif yang mengajak pembaca bergerak “melakukan sesuatu” untuk membela agama. Padahal, membela agama dengan perbuatan zalim tidak pernah dibenarkan siapa pun. Lebih jauh dari itu, ada sebagian negara yang menjadikan informasi sebagai alat untuk memecahbelah, menimbulkan keresahan,  dengan tujuan menguasai negara lain. Information is the greatest weapon. 

Karena itulah tumbuhnya kesadaran bahwa berita yang kita baca atau kita saksikan tidak bisa menjadi alasan untuk berbuat zalim terhadap sesama, akan memberi tambahan rem yang menahan kita untuk tidak mengetik kata-kata laknat yang ditujukan pada orang, atau kaum yang bahkan tidak pernah kita temui. Terlebih untuk ikut terjun dalam perbuatan yang menzalimi kaum lain, akan berpikir lebih matang 100 kali lagi.

Mengenali Berita Hoax

Banyak orang tidak menyadari bahwa sebagian besar berita di internet sesungguhnya adalah sampah. Ketika setiap orang bebas menuliskan apa saja, setiap orang bebas menyebarkan apa saja, internet menjadi kampung gossip.  Bahkan bagi sebagian pihak gossip adalah tambang uang. Setiap klik (membuka sebuah halaman website tertentu) bisa dikonversi menjadi nilai rupiah. Akibatnya, sebagian kalangan berlomba-lomba menyajikan berita yang “menarik” untuk dilihat massa. Kepedulian masyarakat kita terhadap agama menjadikan peristiwa agama salah satu topik favorit yang memanen “klik”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun