“The Jungle Book” menceritakan tentang Mowgli, seorang anak yang dipelihara Serigala sejak bayi. Sebelum bersentuhan dengan manusia ia mengira dirinya seekor serigala, bertingkah laku seperti Serigala, merangkak, melolong, tetapi dalam beberapa hal memiliki kemampuan melebihi seekor serigala. Tentu saja karena ia seorang manusia.
Hingga suatu ketika ia bertemu “hewan tidak berbulu” yang mirip dirinya. Dari mereka ia menemukan identitas dirinya, belajar menjadi manusia, tanpa kehilangan kemampuannya berburu, melacak jejak dan mengendalikan hewan liar.
Melalui kisah Mowgli, Rudyard Kipling sang pengarang, ingin menunjukkan kepada kita bahwa manusia memiliki kemampuan meniru yang sangat ulung. Bahkan Survival Instink manusia terbentuk dalam peniruan, manusia terus ber-evolusi karena kemampuan menirunya.
Homoseksual dan Korupsi sesungguhnya dua monster yang sama berbahayanya ketika dipertontonkan secara vulgar di muka umum. Sebab keduanya tumbuh dalam instink meniru manusia, hanya saja melalui proses yang berbeda.
Homoseksual
Hasrat seks adalah insting yang dimiliki setiap makhluk hidup, bahkan seandainya tumbuhan seperti hewan, saya yakin tumbuhan pun memiliki hasrat seks.
Amatilah perilaku hewan. Perilaku bermesraan, mencumbu dengan sesama jenisnya, memang ditemukan pada sebagian hewan, khususnya primata. Tetapi, jika tidak dapat dikatakan tidak ada, perilaku homoseksual berupa hubungan seksual nyaris tidak ditemukan pada hewan. Ada hewan seperti belut yang hermaprodit, tapi seiring perubahan kelaminnya, orientasi seksual belut juga mengalami perubahan.
Jika sama-sama memiliki insting seks seperti manusia, kenapa pada manusia banyak ditemui perilaku homoseks? Jawabannya sederhana, manusia meniru dari sesamanya.
Perilaku homoseksual umumnya tumbuh pada saat seseorang dalam masa remaja. Umumnya remaja yang tidak cukup mendapat kasih sayang atau kurang kepercayaan diri. Sebagian mendapatkan trauma, berupa pelecehan dan kekerasan seksual dari orang terdekatnya.
Di masa pencarian jatidiri itulah remaja tersebut berkenalan dengan lingkungan yang mampu memberinya hal yang tidak bisa diperolehnya dari orang-orang terdekatnya. Manjadi sangat dekat dengan teman dan lingkungan homoseks, walau pun saya yakin pada awalnya mereka jijik, dari sanalah mereka meniru dan merasa menemukan jati diri.
Korupsi
Berbeda dengan homoseksual, korupsi terbentuk justru di era awal dewasa atau era kedewasaan penuh. Bahkan, di era-era pra mandiri, sebagian orang yang menjadi koruptor justru orang idealis yang memimpikan dunia utopia. Mereka seperti tidak butuh uang, dan berjuang sepenuhnya untuk rakyat.
Tapi begitu berhadapan dengan kenyataan, mereka berhadapan dengan realita hidup yang mahal biayanya. Biaya untuk menolong orang lain, biaya untuk duduk di kursi yang diimpikan, biaya untuk berkuasa, biaya untuk liburan ke luar negeri, sampai biaya untuk bersenang-senang dengan istri ke-4 yang beda usia 25 tahun. Karena tidak mampu mengumpulkan sendiri biaya itu, maka uang rakyat yang seharusnya diberikan kepada rakyat, di mana ia sebagai perantara, mengalir ke kantong pribadi.
Dari mana kemampuan menilep uang itu diperoleh? Tentu saja dari meniru sekelilingnya, belajar dari para senior koruptor yang dahulu pernah dihujat dan dicacimaki. Walau pun pada awalnya saya yakin koruptor merasa sangat bersalah melakukannya, tapi perasaan bersalah itu perlahan pudar karena hidup itu perlu biaya bung!
Homoseks dan Korupsi, Tumbuh dari Meniru
Jadi jika ada yang menyebutkan korupsi tidak menular atau Homoseksual tidak menular, itu sesat pikir yang paling sesat. Bersentuhan, bersalaman, transfusi darah, dan menghirup udara yang sama memang tidak menularkan Korupsi dan Homoseksual. Tetapi bergaul terlalu lama dan hidup dalam sistem yang sama dengan mereka dipastikan akan menularkan kedua penyakit itu. Karena manusia hidup dengan meniru.
Homoseksual tidak bisa dideteksi hanya dengan melihat seseorang. Karena itu, orientasi seksual sesungguhnya urusan pribadi masing-masing. Tapi kalau ada yang merasa tidak mampu berubah, dan tetap ingin menjadi homoseksual ada beberapa hal yang harus dipahami.
Pertama, tidak perlu menunjukkan kemesraan dengan sesama jenis di muka umum, karena itu membuat orang lain risih dan jijik.
Kedua, tidak perlu ingin diakui, apalagi meminta ingin diakui pernikahannya dengan sesama jenis. Karena hakikat pernikahan adalah berlanjutnya kehidupan spesies manusia dengan cara yang baik dan diakui agama, masyarakat, dan negara, bukan sekedar status tanpa nilai.
Ketiga, pahami sepaham-pahamnya homoseksual adalah perilaku yang menjijikan bagi masyarakat yang sehat. Homoseksual bukan perilaku yang diterima masyarakat Indonesia dan menular, jadi jangan coba ingin menularkan pada orang lain dengan merubah tatanan sosial yang sudah ratusan tahun, bahkan ribuan tahun terpelihara.
Sementara pesan untuk koruptor hanya satu, dimiskinkan semiskin-miskinnya, lalu dihukum mati atau dipenjara 8.500 tahun!
Hidup itu pilihan. Tuhan memperingatkan manusia berulangkali dengan berbagai jalan, melalui suara hati nurani, melalui agama, melalui kitab suci, melalui kejadian di sekitar kita, dan melalui sejarah umat terdahulu, tinggal kita mau mendengarkannya atau menganggapnya angin lalu.
Brebes, 30 Januari 2016
