[caption="Minimnya Antrian Di Pusat Mobilitas Manusia Berkat Cashless (dok pribadi)"]
Berbagai Fondasi Menuju Cashless Society
“There will be a time – I don’t know when, I can’t give you a date – when physical money is just going to cease to exist.” ( Robert Reich - Ekonom Amerika Serikat )
Namun demikian mewujudkan cashless society bukan hal yang mudah, dan bukan juga tanpa kekurangan. Statistik mencatat penggunaan uang tunai pada transaksi ritel Indonesia mencapai 99,4%. Jangan bandingkan dengan Negara seperti Belgia yang 93% transaksinya sudah non tunai, dibanding negara ASEAN yang transaksi non tunai perdagangan ritelnya rata-rata sudah mencapai 30% Indonesia masih jauh tertinggal. Hal ini terutama disebabkan kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Masyarakat kita cenderung melakukan transaksi tunai karena terbiasa dengan uang tunai yang lebih nyata, bisa dilihat, dipegang dan dirasakan. Sehingga langkah BI melakukan edukasi untuk memperbaiki pandangan masyarakat mengenai non tunai melalui GNNT, sesungguhnya adalah langkah awal dari sebuah perjalanan marathon. Karena itu beberapa hal berikut juga perlu menjadi pertimbangan sebagai upaya percepatan menuju cashless society.
Upaya meningkatkan kelengkapan infrastruktur telekomunikasi dan pembayaran non tunai di daerah. Tidak seperti uang tunai, penggunaan non tunai membutuhkan infrastruktur telekomunikasi dan teknologi dalam setiap transaksinya. Dengan wilayah Indonesia yang sedemikian luas, hanya ketika kondisi infrastruktur telekomunikasi sudah menjangkau setiap daerah di Indonesia cashless society dapat segera terwujud.
Sedikit menyoroti infrastruktur uang elektronik. Dengan ramalan semakin meningkatnya penggunaan uang elektronik di masa depan, BI perlu memacu bank untuk meningkatkan jumlah titik pengisian uang elektronik. Dari pengamatan penulis di tempat tinggal penulis; Bogor, ATM yang bisa digunakan untuk mengisi uang elektronik cukup langka. Sementara di daerah asal penulis; Brebes, hanya ada satu titik pengisian. Padahal uang elektronik Kompasiana Community Card (KCC) yang saya gunakan diterbitkan oleh salah satu bank terbesar yang menjangkau seluruh Indonesia dengan pelayanan sangat baik. Bisa kita bayangkan titik pengisian uang elektronik terbitan bank lain. Minimnya titik pengisian uang elektronik ini tentunya menjadi salah satu faktor yang menghambat laju penggunaan cashless melalui uang elektronik.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah minimalisasi kerepotan, terutama di tingkat pelaku usaha. Karena untuk pembayaran uang elektronik misalnya, sistemnya masih terdispersi per bank. Bisa kita bayangkan jika sebuah perdagangan ritel bekerja sama dengan 5 bank, maka terdapat 10 card reader ( masing-masing 5 untuk EDC kartu debet dan chip reader uang elektronik ). Tentunya sangat merepotkan dan memakan tempat di meja kasir, belum termasuk repotnya mengelola sistem pengkabelan. Karena itu perlu dipikirkan kerjasama antar penerbit kartu, untuk solusi agar satu card reader bisa digunakan untuk beberapa bank atau penerbit kartu. Memang mencari solusi tersebut tidak akan mudah, tetapi jika ada teknologi baru yang lebih baik, lebih aman dan mampu menjembatani kebutuhan masa depan, perlu dipertimbangkan untuk segera diterapkan.
Merupakan hal yang baik juga ketika BI mendorong agar satu kartu non tunai dapat digunakan untuk berbagai transaksi. Kartu Octopus yang digunakan di Hongkong dapat menjadi teladan bagaimana pemerintah Hongkong mampu memaksimalkan penggunaan non tunai di kotanya dengan kartu non tunai multi fungsi.
Pendidikan kaum muda di kampus dan sekolah juga tidak boleh dilupakan. Langkah BI melakukan kampanye GNNT ke universitas dan mencanangkan kampus cashless sangat tepat, karena di masa depan kaum muda inilah yang akan menjadi kalangan yang produktif dan memegang aliran uang terbesar. Tercatat sekitar 70 juta jiwa warga negara Indonesia tergolong kaum muda. Pengenalan dan pembiasaan menggunakan non tunai di kampus akan menjamin masa depan cashless society.
Faktor lain yang sangat strategis adalah peningkatan kesiapan dan kemampuan SDM di daerah. Penulis memiliki pengalaman unik berbelanja non tunai di sebuah pusat belanja dengan brand nasional di daerah asal penulis. Ketika menyerahkan uang elektronik dari KCC, kasir berkata:
“Mas, batas minimal belanjanya Rp. 25.000,-”
“Ini kartu Flazz mbak, tidak ada belanja minimal karena pembayarannya dipotong dari kartu. Kalau Debet yang ini” jawab saya sambil mengeluarkan kartu lain.