[caption id="attachment_405539" align="aligncenter" width="567" caption="tamanmini.com"][/caption]
Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berkeliling Indonesia? Jawaban pertanyaan tersebut beragam, bisa 17 hari, 8 bulan, 4 tahun, atau 5 tahun, tergantung bagaimana orang melakukannya.
Tapi jika pertanyaannya: “berapa lama waktu untuk mendokumentasikan dan mempelajari adat serta budaya Indonesia?” Maka terpaksa kita mengutip sebuah lirik lagu: “ butuh waktu seumur hidupku”. Bagaimana tidak? Terbentang dari Sabang-Merauke, Indonesia menjadi negara dengan berragam etnis, bahasa, adat, pakaian, bangunan, senjata tradisional, karya seni, dan lain sebagainya. Pendek kata beraneka rupa budaya hidup di Indonesia, dan saya tidak yakin berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengenal semuanya.
Sutan Takdir Alisjahbana (STA) mendefinisikan budaya dari perpaduan dua kata yaitu “Budi”: akal pikiran, dan “Daya”: usaha atau kerja manusia melakukan sesuatu. Jadi Budaya menurut STA adalah, olah pikir manusia hasil perenungan diri dan interaksi dengan lingkungannya untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi kehidupan. Budaya bisa berbentuk fisik yang bisa diindera oleh alat-alat indera manusia, bisa berupa tatanan sosial atau kebiasaan yang terlihat penerapannya, atau berupa komunikasi non verbal, pola fikir, serta bentuk tersirat yang hanya dimengerti dengan rasa dan pemahaman mendalam.
Bertolak dari pengertian budaya STA maka sesungguhnya untuk mempelajari budaya-budaya di Indonesia seumur hidup pun tidak akan cukup waktu. Melakukannya seorang diri adalah mustahil. Pastinya juga butuh biaya yang sangat besar.
Kabar baiknya, untuk mengenal aneka budaya Indonesia ada cara yang lebih singkat dan hemat. Dengan berkunjung ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang terletak di timur Jakarta, kita bisa melihat miniatur kemajemukan budaya Indonesia. Dibangun atas prakarsa Ibu Tien Soeharto, dimulai tahun 1972 dan diresmikan 20 April 1975, TMII berdiri di atas area seluas 150 hektar. Selama 40 tahun TMII tidak hanya menjadi etalase dari kekayaan budaya Indonesia, tetapi berperan sebagai perekat budaya bangsa. Bagaimana TMII menjadi perekat budaya Indonesia? Kita ikuti perjalanan singkat menelusuri TMII.
[caption id="attachment_405540" align="aligncenter" width="450" caption="tugu api pancasila (wikimapia.org)"]
Masuk melalui gerbang utama, tidak jauh darinya kita akan disambut Tugu Api Pancasila. Tugu tersebut berbentuk lima buah keris berjajar menjadi satu. Tiap keris bergaris tengah 17m, ruang kosong antar keris 8m, dan tinggi 45m, merujuk pada tanggal kemerdekaan Indonesia, dan menjadi simbol Pancasila sebagai ideologi panyatu spirit kebangsaan. Sebagai halaman depan dan landmark TMII, kawasan Tugu Api Pancasila cukup luas untuk berbagai kegiatan seperti pameran dan pasar rakyat.
Dari Tugu Api Pancasila, kita bisa melanjutkan ke Museum Indonesia. Museum Indonesia adalah bangunan bergaya arsitektur Bali yang terdiri dari 3 lantai. Jika diibaratkan buku, Museum Indonesia adalah halaman pendahuluan yang menggambarkan isi buku secara umum. Di lantai pertama Museum Indonesia menyimpan koleksi berupa pakaian adat, pakaian pernikahan tradisional, aneka ragam tari, wayang, alat musik dan karya seni. Sementara miniatur bangunan peribadatan, rumah tradisional dan tata letaknya, alat-alat pertanian tradisional dan upacara adat bisa kita temui di lantai kedua. Lantai ketiga memamerkan karya seni, kerajinan tradisional dan kontemporer, diorama, kain tradisional seperti Songket, Tenunan dan Batik, benda kerajinan dari logam, serta ukiran dari Jepara, Bali, Toraja dan Asmat, dengan sebuah ukiran api kalpataru raksasa di tengah ruangan.
Dari Museum Indonesia selanjutnya kita bisa memasuki pusat TMII, berupa sebuah danau yang di tengah-tengahnya terdapat pulau-pulau buatan. Pulau-pulau ini dibentuk sedemikian rupa sehingga menggambarkan Kepulauan Indonesia. Keindahan “Indonesia mini” tersebut akan terlihat sempurna jika kita memandangnya dari kereta gantung yang menjadi salah satu pelayanan transportasi wisata TMII.
[caption id="attachment_405541" align="aligncenter" width="400" caption="kepulauan Indonesia di TMII (wikimapia.org)"]
Mengelilingi danau tadi, rumah-rumah adat dari berbagai daerah di Indonesia berdiri dengan anggun dan memancarkan pesonanya masing-masing. Tempat rumah-rumah adat yang disebut anjungan tersebut dapat diperoleh informasi mengenai aneka ragam budaya di daerah yang bersangkutan. Beberapa anjungan juga menyediakan kios-kios yang menjual souvenir, kerajinan tangan dan aksesoris.
Tidak hanya informasi budaya dan produk budaya fisik, di setiap anjungan terdapat panggung yang digunakan untuk menampilkan pertunjukan tari tradisional, upacara adat dan pertunjukan musik khas daerah. Bahkan sebagian anjungan mengadakan kursus tari tradisional daerah. Setiap anjungan rutin mengadakan acara-acara budaya, tercatat TMII mengadakan lebih dari 500 acara budaya setiap tahunnya. Artinya jika direratakan setiap harinya ada hampir dua acara budaya diadakan di TMII, walau pun sebagian besar acara tersebut dilaksanakan pada hari minggu ketika TMII sedang dipadati pengunjung.
[caption id="attachment_405542" align="aligncenter" width="450" caption="rumah adat toraja di TMII (wikimedia.org)"]
[caption id="attachment_405546" align="aligncenter" width="480" caption="rumah gadang di anjungan sumatera barat (tamanmini.com)"]
Keragaman Indonesia tidak hanya ditunjukan oleh budaya daerah, bermacam-macam agama di Nusantara juga tergambar di TMII. Di TMII terdapat Masjid Pangeran Diponegoro, Gereja Katholik Santa Catharina, Gereja Protestan Haleluya, Pura Penataran, Wihara Arya Dwipa Arama, Sasana Adirasa Pangeran Samber Nyawa dan Kuil Konghucu Kong Miao. Rumah-rumah ibadah tersebut berdiri berdampingan dalam satu kompleks, menjadi refleksi kerukunan hidup beragama di bumi Nusantara. Suatu keharmonisan hidup yang wajib untuk dipertahankan dan diwariskan kepada setiap anak bangsa.
Bagi pecinta kuliner mengecap produk budaya kuliner adalah sesuatu yang niscaya, maka TMII menyediakan masakan khas daerah. Penyedia masakan daerah yang cukup terkenal adalah Restoran Caping Gunung yang berada di depan Anjungan Nusa Tenggara Barat, selain juga menyediakan masakan Internasional, dan Pondok Pecel Madiun yang menyediakan pecel dan 20 menu lain seperti Rujak Cingur, Ayam Penyet, Tengkleng, Gule dan Rawon. Di samping itu, sebagian anjungan tidak ketinggalan menyediakan kafetaria dengan makanan khas daerahnya. Melengkapi potret kekayaan budaya adalah kehadiran beberapa museum, semisal Museum Komodo dan Dunia Reptil, Museum Asmat, Museum Budaya Tionghoa. Sedangkan potret kekayaan alam Indonesia diwakili oleh taman flora-fauna seperti Taman Melati, Taman Kaktus, Dunia Burung, Dunia Air tawar dan Serangga, dan terdapat juga Theater IMAX Keong Mas.
Anjungan-anjungan di TMII pada dasarnya adalah perwakilan provinsi, demikian halnya museum-museum, taman-taman dan masakan-masakan khas Indonesia di TMII hanyalah sebagian kecil kekayaan Indonesia. Kenyataannya, satu provinsi di Indonesia bisa memiliki beberapa budaya yang berbeda. Sehingga ragam dan kekayaan budaya Indonesia sesungguhnya lebih dari yang bisa kita temui di TMII.
Tetapi sekedar untuk mengenal budaya Indonesia secara sekilas pun ternyata butuh waktu yang tidak singkat. Dengan 33 anjungan, plus satu eks anjungan Timor Timur yang menjadi museum, memerlukan waktu berhari-hari untuk singgah di setiap anjungan TMII, museum, dan taman guna mengenal setiap budaya di Indonesia. Namun demikian, ada rasa haru dengan sensasi batin yang tidak tergambarkan kata-kata ketika berkeliling TMII untuk mengenal Indonesia secara utuh. Menapakkan langkah di setiap anjungan seperti sedang membuka lembar-lembar halaman ensiklopedia raksasa. Sebuah ensiklopedia yang memberi gambaran bagaimana beraneka ragam budaya berpadu menjadi Indonesia.
Tantangan saat ini adalah agar yang terlukis di TMII bisa meluas kembali hingga ke masyarakat, setelah kerukunan dan kesatuan bangsa sempat tercederai oleh konflik-konflik karena gesekan perbedaan budaya, agama, suku, ras, cara hidup, dan terutama diperuncing karena kepentingan politik sesaat. Wujud TMII dibutuhkan sebagai sarana dialog, saling memahami, dan terutama upaya empati di tempat interaksi beberapa budaya. Untuk itu perlu usaha, terobosan, dan inovasi dari pemerintah, masyarakat peduli budaya, serta yayasan pengelola TMII. Agar TMII bisa menjadi semacam pilot project dan contoh utama dimana perbedaan budaya-budaya tidak menjadi pemisah, melainkan menjadi perekat paling kokoh dari satu Indonesia.
Jika itu bisa dilakukan, maka Taman Budaya Bhinneka Tunggal Ika menjadi lebih dari sekedar pantas disematkan untuk Taman Mini Indonesia Indah. Tempat yang menjadi refleksi Indonesia, perekat budaya bangsa sekaligus pusaka bangsa. Selamat Ulang Tahun ke-40, Taman Mini Indonesia Indah.
Bogor, 26 Maret 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H