[caption id="" align="aligncenter" width="504" caption="dok pribadi"][/caption]
Saya seperti berada di dalam kapsul waktu dan ditarik menuju Indonesia masa depan ketika menghadiri diskusi dengan 3 pemimpin daerah yang sedang naik daun: Kang Emil, Ahok, dan Ganjar Pranowo. Bagaimana tidak? Ruang Sasono Budoyo TMII pun menjadi terasa sangat sempit oleh diskusi yang membedah aksi mereka saat memimpin daerahnya.
Pada ketiga pemimpin tersebut, dengan karakter mereka masing-masing dan karakteristik daerah yang mereka pimpin, Indonesia gemilang bukanlah mimpi kosong. Di luar Kang Emil yang memang berprofesi arsitek, pada diri mereka saya melihat para arsitek peradaban Indonesia masa depan.
Ridwan Kamil dan Visi Kota Bandung
[caption id="attachment_378756" align="aligncenter" width="396" caption="dok pribadi"]
Berbicara sekitar 10 menit, dengan bahasa yang lugas, padat, dan sesekali disela humor ringan tanpa kehilangan kedalaman materi, Kang Emil berhasil menyihir mereka yang hadir di Sasono Budoyo. Dibuka oleh tampilan visual di layar, selanjutnya waktu seolah terhenti sekaligus bergerak sangat cepat ketika Kang Emil menghadirkan Bandung masa depan secara utuh. Bandung masa depan adalah Bandung penuh inovasi yang ditunjang oleh desentralisasi dan keterlibatan masyarakat.
Bagi Kang Emil yang tumbuh di Bandung sejak kanak-kanak hingga menyelesaikan kuliah di ITB, Bandung adalah pusat kreativitas Indonesia. Dari Kota Bandung lahir seniman-seniman dan produk hasil inovasi kreatif. Maka misi pertama Kang Emil adalah merangsang inovasi kreatif Kota Bandung, dimulai dari puncak piramid kepemimpinan.
Bagi Kang Emil, Inovasi adalah ciri seorang pemimpin. Karenanya Kang Emil memberikan insentif bagi setiap pegawai di dinas kota agar memiliki inovasi yang bisa diterapkan untuk memajukan Bandung.
“Bahagianya tu di sini,” kata Kang Emil merujuk sebuah lagu, sambil menunjuk dadanya. Membangun dan memajukan Bandung bagi Kang Emil bukan sekedar membangun infrastruktur kota, tapi membangun kebahagiaan warga Bandung. Karena kemajuan sebuah kota atau negara tidak hanya diukur dari kesejahteraan dan kemegahannya, tapi dari indeks kebahagiaan setiap warganya.
Tapi jangan keliru, meskipun mengutamakan kebahagiaan warga Kota Bandung, pembangunan infrastruktur dan sarana kota justru digenjot sedemikian rupa. Terinspirasi oleh Kota New York, Kang Emil bertekad mengurai kemacetan Bandung melalui pilihan sarana transportasi. Nantinya, warga Jakarta yang berwisata ke Bandung bisa memilih berbagai alternatif transportasi menuju dan di dalam Kota Bandung. Ada kereta monorail, skywalk, hingga kereta gantung menuju Dago.
Ditambah perbaikan prasarana seperti taman yang dikelola oleh komunitas, CCTV dan ruang kerja yang dirancang semegah ruang pilot pesawat Star Trek, dan berbagai fasilitas lain, Kang Emil berjuang untuk mengembalikan wajah Bandung sebagai kota taman sebagaimana yang dahulu dirancang Belanda. Janji Kang Emil, tahun 2016 wajah baru Kota Bandung sudah rampung. Dan saya hanya bisa tercengang menyaksikan gambar Bandung masa depan.
Ahok dan Peperangan Besar Melawan Kepentingan
Jika Kang Emil terinspirasi New York, maka Ahok terinspirasi Chicago. Menarik benang sejarah, wajah Jakarta mirip Chicago tahun 1920-an yang dikuasai gangster semacam Al Capone. Tata kota yang sudah sangat rusak karena suap, kepentingan golongan dari para konglomerat hingga kaum melarat bertumpuk di Jakarta.
Ahok membuka diskusi dengan candaan bahwa pekerjaan sebagai gubernur yang dilakukannya tidak menggunakan otak seperti Kang Emil, melainkan otot. Sebagai ibu kota negara dengan APBD sebesar 80 triliun rupiah, Jakarta memiliki segalanya. Tinggal eksekusi rencana yang sudah dirancang dan komitmen menjalankannya yang harus dibenahi.
Karena itulah Ahok fokus membenahi birokrasi, agar cetak biru kota Jakarta mampu dieksekusi dengan cepat dan efisien secara pendanaan. Untuk itu Ahok mengambil resiko berhadapan dengan status quo yang terancam kepentingan ekonomi dan kekuasaannya. Ahok sadar sepenuhnya, gaya kepemimpinannya menciptakan banyak musuh. Tapi komitmen Ahok untuk melakukan perubahan, bahkan seandainya tidak terpilih menjadi gubernur lagi, atau bahkan terancam nyawanya, resiko apa pun akan dihadapi Ahok demi perubahan.
Korupsi dan suap yang merajalela, penggelembungan anggaran hingga pekerjaan kecil yang tidak pernah tuntas diselesaikan menjadi pekerjaan utama Ahok selain perlahan-lahan membenahi tata ruang Jakarta. Untuk memberi ruang publik yang memadai, Ahok memberikan dana lebih dari 200 juta untuk membeli rumah tua, merobohkannya dan membangun taman untuk prasarana publik.
Mendengarkan aksi Ahok seperti mendengarkan curhat sekaligus cerita miris dan ironis. Lengkap dari permasalahan besar seperti banjir, gunungan sampah dan kemacetan, hingga mesin pompa rusak yang 2 tahun tidak diperbaiki dan dana perawatan taman rumah dinas gubernur yang mencapai 650 juta rupiah per tahun.
Ahok sama sekali tidak berbicara visi, karena karakteristik Jakarta jauh berbeda dengan Bandung. Ketika moderator diskusi menanyakan visi masa depan Jakarta, dengan diplomatis Ahok menunjuk Kang Emil untuk menjawabnya. Karena perusahaan Kang Emil adalah konsultan tata kota Jakarta, yang dijawab dengan senyum dan anggukan Kang Emil.
Di balik kekerasan kata-katanya dan garangnya aksi Ahok, seorang penanya membuka sisi lembut Ahok ketika menggendong ibu angkatnya yang beragama Islam. Sebuah potret keragaman yang menyentuh. Jakarta yang sedemikian beragamnya dan sarat dengan kepentingan membutuhkan seorang pemimpin yang keras sekaligus lembut dan mampu menghargai keragaman.
Dan saya berpikir, barangkali memang garis takdir-lah yang mengantar Ahok menduduki kursi DKI-1.
[caption id="attachment_378758" align="aligncenter" width="487" caption="dok pribadi"]
Sebagai catatan kaki, duet maut diskusi Ahok-Emil siang itu juga menghasilkan sebuah kesepakatan spontan antara 2 orang pemimpin. Ketika Kang Emil bercerita tentang musibah yang dialami rombongan bis bobotoh Persib sepanjang perjalanan Merak-Cikampek, Pemda Kota Bandung harus mengganti kerusakan ratusan juta rupiah.
“Harusnya gue dong yang mengganti,” celetuk Ahok. Kang Emil mengiyakan dengan penuh semangat, sambil mengulurkan tangan yang segera disambut Ahok. Walaupun masih menyisakan pekerjaan rumah untuk mendamaikan Jakmania dengan Viking, bibit utama perdamaian dan kesepakatan produktif tercapai dalam waktu sesaat.
Ganjar Pranowo dan Komunikasi Seorang Pemimpin
Senyum jernih di wajah Gubernur Jawa Tengah sore itu seperti menerangi ruangan Sasono Budoyo. Hadir sebagai single fighter, Mas Ganjar mengawali diskusi dengan cerita infrastruktur jalan di Jawa Tengah. Konon jalan di Jawa Tengah adalah yang terburuk dibanding provinsi lain di Jawa.
Karena itulah, pekerjaan pertama Mas Ganjar adalah membenahi infrastruktur jalan di provinsi yang dipimpinnya. Mas Ganjar percaya jika infrastruktur jalan di Jawa Tengah ditingkatkan secara langsung juga akan menggerakkan roda ekonomi berlipat kali lebih cepat. Sebab banyak yang bisa dijual dari Jawa Tengah, dari produk budaya, seni, batik, hingga pariwisata, kesemuanya membutuhkan infrastruktur jalan yang mumpuni.
[caption id="attachment_378759" align="aligncenter" width="300" caption="dok pribadi"]
Cerita legenda tentang “ngamuknya” Mas Ganjar di Jembatan Timbang tidak lepas dari komitmennya untuk membenahi jalanan Jawa Tengah. Di saat yang sama, ketika mengurangi kolusi di Jembatan Timbang, Mas Ganjar juga berkomitmen meningkatkan kesejahteraan pegawai di sana dengan menaikkan upah jaga dari 50 ribu rupiah menjadi lima kali lipatnya.
Namun demikian, meski titik awalnya adalah perbaikan jalan bukan berarti pembangunan di sektor lain luput dari perhatiannya. Sebagai seorang pemimpin, Mas Ganjar mengandalkan kekuatan komunikasi untuk memastikan setiap program peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah seluas Jawa Tengah terlaksana sebaik-baiknya.
Cara Mas Ganjar berbicara, gesture, lirikan, dan tatapan matanya saat menyapa benar-benar mencerminkan wajah seorang komunikator ulung yang matang ditempa dunia politik. Sebagai produk kepemimpinan modern Mas Ganjar juga sangat paham memanfaatkan teknologi untuk mengalirkan komunikasi dan informasi kepada bawahannya. Mas Ganjar tidak segan untuk SMS, menelepon, atau nge-twit kepada pemerintah kabupaten untuk mengontrol pembangunan daerah.
Tidak cukup sampai di situ, kemampuan komunikasi Mas Ganjar sedemikian mumpuni hingga mampu membaca pembawa pesan hanya dalam sesaat. Itu dibuktikan ketika Mas Ganjar “menembak” dengan jitu tempat kerja seorang penanya dari Pemkab Aceh karena melihat tensi bicara dan pembelaan terhadap pemerintah kabupaten. Dan saya hanya bisa ternganga kagum, menyaksikan kekuatan komunikasi yang mencapai tingkat sedemikian tinggi hingga mampu memecahkan berbagai masalah pelik.
Berjumpa dengan 3 pemimpin daerah tersebut membuat saya terkenang sebuah lagu karya Scorpion: The Wind Of Change.Indonesia saat ini persis terwakili lagu tersebut karena sedang berada di pusaran Wind Of Change. Generasi-generasi pemimpin baru yang diwakili Ahok, Kang Emil dan Mas Ganjar adalah pusat mata anginnya. Sebagai generasi muda, untuk melihat Indonesia masa depan yang kita impikan, kita perlu bersabar, bekerja dan mendukung para pemimpin yang amanah menjalankan tugasnya. Karena kita dan mereka adalah arsitek peradaban Indonesia masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H