Mohon tunggu...
D Ambrose
D Ambrose Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kasih dari Kacamata Seekor Anjing

11 Mei 2019   06:53 Diperbarui: 11 Mei 2019   07:18 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Selamat Pagi... 5.47, ini waktu untuk pertama kalinya, kan kutuangkan semua pikiranku pada secarik kertas, karena aku tahu, kertas kan selalu setia menjadi tempat sandaran. Berbicara mengenai setia, satu kata ini begitu membekas dalam hidupku. Tentu semua tahu kan, bahwa anjing sering dijuluki sebagai makhluk paling setia di bumi? Ya,benar. 

Aku sendiri pun belajar arti kesetiaan dari seekor Anjing. Di masa anak-anak (SD) aku memiliki seekor anjing. Aku merawatnya dari dia masih bayi. Aku masih ingat sekali, semakin dia beranjak besar, dia selalu menanti-nantikan aku pulang, selalu mau berada di sampingku. 

Hal lain yang tak kalah kuingat, ketika dia sedang makan atau sedang bermain dengan saudaraku, ketika kupanggil, pasti dia datang. Dulu di masa anak-anakku, buatku hal itu berasa lucu. Bahkan aku memanggil dia sering hanya untuk iseng belaka.

Seiring berjalannya waktu, aku pun menjadi remaja SMA. Semakin banyak teman bermainku, aku jadi semakin malas bermain dengan dia. Ditambah lagi dia yang jarang mandi, menjadikanku semakin malas untuk dengan dia. Seringkali dia datang di sampingku, dan kuacuhkan dia begitu saja.

Tapi, satu hal yang unik, dia tidak pernah marah, atau menggonggong kepadaku, berbeda dengan perlakuannya terhadap anggota keluargaku. Dan kala liburan itu, waktu itu kami sedang berpindah rumah. Mungkin agak konyol terdengar, tapi memang aku sempat berpesan, agar tetap di rumah yang baru itu, dan menjaganya. 

Kemudian karena adanya suatu permasalahan di rumah yang baru, sore hari itu kami memulangkannya ke rumah yang lama, karena kami hendak kembali ke rumah yang lama. Dan, sayang, itu terakhir kali kujumpa dengannya. 

Keesokannya kucari-cari dia dari pagi hingga sore, dan kutemukan sepenggal kisahnya kabur dari rumah lamaku, berusaha mencari-cari aku yang ada di rumah baruku, yang mana berujung pada ketiadaan.

Perasaan bersalah, sakit, sedih, marah, semua bercampur dalam diri. Mungkin seperti kebanyakan orang ketika merasakan kepergian sosok terdekatnya, "andai, aku bisa lebih lama dengan dirinya. Andai aku bisa bermain dengannya." Pikiran-pikiran seperti itu berkecamuk  sepanjang hari, sembari meratapi kepergiannya. 

Di situ, sore itu, Dengan pikiran yang lebih abstrak dan lebih dalam, aku mendapatkan sesuatu. Aku menemukan arti sosok teman, dan arti dari sebuah kesetiaan.

Sekarang semua sudah terjadi dan tentu waktu tak bisa terulang. Tak bisa lagi kuambil kehadirannya. Tapi setidaknya, aku mengambil seuatu yang bermakna dari itu semua. Aku mencoba melihat dari sisinya, dan kudapati bahwa ternyata, "setia itu kasih, ia memikirkan orang yang dikasihinya, dan tak lagi memandang ego dari dalam dirinya. 

Sebesar apa keinginan yang dia ada, mungkin untuk bersama, atau untuk sekedar melihatnya tersenyum,itu sudah cukup puas. Apapun perlakuan yang dia terima, ya tetap dia memberi yang terbaik dari dia, 'waktu', untuk selalu ada. Itulah teman itulah setia, itu yang aku pahami dari pandangannya." Meski terkesan dramatis maupun mellow, tapi kurasa benar adanya.

Pandangan atau cara berpikir itu yang terus menerus coba kuterapkan dalam diriku. Bahwa 'tugas' ku selama ku waktu masih ada, adalah untuk terus bersama orang-orang yang kusayangi. Kadang, sekedar tuk memastikan bahwa mereka baik-baik saja. 

Mungkin bagi mereka, kesehatan, kondisi, bahkan kehadiranku tidak ada nilainya, atau mungkin bernilai seorang pemain cadangan (sehingga saat ada yang lain, yang lebih utama, bisa dengan mudah ditarik keluar dari kehidupan mereka dan digantikan). 

Dalam artikel singkat ini, ingin aku menyadari bahwa dalam berbagai kondisi itu tentunya tidak boleh menyurutkan bahkan memadamkan wujud ungkapan 'kasih' kita terhadap orang lain. 

Melainkan, kita harus terus berjuang untuk memberi yang kita bisa, tanpa ada harap balasan sama sekali. Selalu semangat mengasihi sesama, karena dengan mengasihi, hidup ini kian berarti, dan yang pernah mati takkan pernah kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun