Putusan MK No.25/PUU-XIV/2016 telah mengakui adanya pergeseran paradigma penerapan hukum terhadap tindakan pemerintah yang menimbulkan kerugian negara dari penerapan sanksi pidana beralih kepada pengembalian kerugian pasca berlakunya UU No.30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang merupakan ketentuan khusus (lex specialis) dan lahir kemudian (lex posterior) dari UU Tipikor 1999-2001.Â
Putusan MK tersebut dalam pertimbangannya menyatakan dengan adanya politik hukum pemerintah, bahwa perlu diidentifikasi terlebih dahulu kerugian negara itu nyata, pasti, dan sesuai dengan politik hukum dibidang perundang-undangan perbendaharaan negara. Maka esensi perbuatan melawan hukum dan kerugian negara harus dipilah mana yang masuk dalam penyelesaian administrasi atau pidana.Â
Dalam hukum administrasi negara terdapat asas in cauda venenum (diekornya ada sanksi pidana). Sementara dalam hukum pidana ada asas ultimum remedium (hukum pidana sebagai upaya terakhir). Batasan antara sanksi administrasi dan pemidanaan berdasarkan teori absorsi adalah sanksi pidana tidak serta-merta bisa digunakan langsung, melainkan harus mendahulukan proses penyelesaian administrasi.Â
Secara konseptual, tindakan pemerintah dapat dikatakan melawan hukum dan merugikan keuangan negara jika ada kesengajaan berupa paksaan, tipuan, dan penyuapan sebagai sifat melawan hukum dalam hukum pidana.Â
Jika tidak, sesuai dengan postulat actus non facit reus, nisi mens sit rea yang berarti suatu perbuatan tidak dapat dikatakan kriminal, jika tidak ada kehendak jahat didalamnya. Begitupun dengan kerugian negara harus dibedakan antara kerugian tindakan profesional dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi jabatan dengan kerugian akibat melawan hukum.Â
UU Administrasi Pemerintahan telah memberikan perlindungan hukum terhadap pejabat pemerintah jika ada penyalahgunaan kewenangan yang diduga menimbulkan kerugian negara diputuskan berdasarkan hasil pengawasan aparatur intern pemerintah. Sedangkan, penyalahgunaan kewenangan dapat diuji melalui Peradilan Tata Usaha Negara.Â
Peradilan Tata Usaha Negaralah yang nantinya melihat irisan perkara itu apa benar ada dalam ranah administrasi atau pidana. Jika Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan ada unsur melawan hukum, maka Hakim Peradilan Tata Usaha Negara memutus itu bukan kompetensinya dan mengembalikannya kepada jaksa untuk melanjutkan proses penyelesaian perkara tersebut secara pidana.Â
Meskipun penyelesaian tersebut sedikit bermasalah secara teori karena menurut unavea principle, ketika suatu perkara kejahatan keuangan itu terdapat persoalan administrasi, perdata, dan juga bersinggungan dengan pidana, jika sudah diselesaikan secara administrasi, maka menutup pintu pidana maupun perdata terhadap penyelesaian perkara tersebut. Jika menimbulkan kerugian, maka kerugian yang timbul itu bisa diselesaikan secara administrasi atau perdata.Â
Penerapan hukuman terhadap kebijakan pemerintah itu harus dilakukan dengan penuh kecermatan, kehati-hatian, dan tidak terburu-buru untuk menyimpulkan suatu kesalahan dan kerugian negara adalah tindak pidana. Harus dianalisa dan diverifikasi dulu menurut penilaian profesional. Ingat, menghukum seseorang yang tidak sesuai dengan derajat kesalahannya merupakan suatu bentuk ketidakadilan dan tidak dibenarkan oleh konstitusi.Â
Contoh kasus yang terjadi di indonesia yaitu kejahatan keuangan di dana covid-19
Undang-Undang Nomor 2/2020 tentang Penetapan Perppu No.1/2020 terkait Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam menanggulangi Covid-19 kembali digugat ke Mahkamah Konstitusi. Imunitas kebijakan KSSK di sektor keuangan yang tidak dapat dituntut secara pidana, perdata, dan bukan objek gugatan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) memang patut diuji konstitusionalitasnya. Sebab, ketika imunitas dilembagakan, kita sedang mengundang kehancuran ke dalam suatu negara.Â
Pertama, ketentuan pasal 27 ayat (1) tentang biaya yang dikeluarkan pemerintah atau KSSK merupakan biaya ekonomi untuk penyelamatan dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara memang dapat diterima secara teori bahwa tidak semua kerugian perekonomian identik dengan kerugian negara.Â
Namun, Putusan MK No.35/PUU-XI/2013 dan Putusan MK No.62/PUU-XI/2013 telah mengelompokkan pengelolaan keuangan negara dalam sub bidang fisikal, moneter, dan kekayaan negara yang dipisahkan merupakan rezim keuangan negara. Apabila terjadi kerugian selama penanganan Covid-19, maka secara serta-merta adalah kerugian negara.Â
Kedua, ketentuan pasal 27 ayat (2) menyatakan KSSK tidak bisa dituntut secara pidana dan perdata atas dasar itikad baik dan sesuai UU harus dimaknai sebagai alasan penghapusan pidana, bukan imunitas. Hukum pidana tidak mengenal imunitas dan hanya mengenal alasan penghapusan pidana yang secara garis besar terdiri dari alasan pemaaf dan alasan pembenar.Â
Terkait itikad baik, memang UU tidak mengatur secara jelas dan diserahkan penilaiannya kepada hakim apabila diajukan ke pengadilan. Berdasarkan Yurisprudensi MA No.81/K/Kr/1973, makna itikad baik dalam kebijakan pemerintah yaitu tidak menguntungkan diri sendiri, umum terlayani, dan negara tidak dirugikan.Â
Ketiga, ketentuan pasal 27 ayat (3) yang menyatakan segala tindakan berdasarkan UU ini bukan objek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) bertentangan dengan asas there is not authority without responbility (tiada kewenangan tanpa pertanggung-jawaban).Â
Secara filsafati, penyalahgunaan kewenangan atau perbuatan melawan hukum itu melekat dalam pelaksanaan jabatan pemerintah. Itu sebabnya, pemerintah bertanggung jawab atas UU yang dilaksanakan dan kerugian yang ditimbulkannya.Â
Disisi lain, dicantumkannya ketentuan tersebut secara eksplisit pada UU No 2/2020 tidak lepas dari kekhawatiran dan banyaknya kasus kriminalisasi terhadap keputusan para pejabat.Â
Berdasarkan penelitian disertasi Dian Puji Simatupang, 72.2% beberapa perkara yang seharusnya kesalahan administrasi semuanya berakhir dipidana. Akibatnya, penyerapan anggaran menjadi lambat, terjadi stagnansi pemerintahan, dan terganggunya investasi.Â
Meskipun demikian, bukan berarti KSSK tidak bisa digugat secara hukum. Siapa saja yang mempunyai kepentingan dapat mengajukan tuntutan hak atau gugatan (point dinteret, point daction). Berdasarkan UU Kekuasaan Kehakiman, hakim pun tidak boleh menolak perkara, diskriminasi, dan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan di masyarakat.Â
PTUN-lah yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa atas keputusan tata usaha negara. Sedangkan untuk peraturan kebijaksanaan pemerintah merupakan yuridiksi MA melalui permohonan uji materil apabila telah dilampauinya batas kepatutan dan merugikan masyarakat dalam Yurisprudensi MA No.534/K/SIP/1973.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H