Malam tiba, dan kegelapan merajalela. Berbekal senter dari handphone, aku dan Risa menyusuri sebuah rumah tua yang diapit 2 lahan kosong tak terawat. Dinding lembab dan kotor, ditambah penerangan yang tak memadai menambah kesan angker.Â
Di dalam rumah itu terdapat banyak perabot tua yang berdebu dan kotor. Tapi yang paling mencolok dan menyita perhatianku adalah sebuah lukisan besar dengan gambar seorang wanita berambut panjang berpadu dengan gaun merah menyala.Â
Gadis itu tersenyum sangat lebar, hingga aku khawatir jika mulutnya akan sobek. Wow... cukup menyeramkan.
"Kita pulang yuk! aku capek dari tadi muter-muter terus. Memangnya kamu sedang cari apa sih?". Risa tak menghiraukan ucapanku, ia terus berjalan ke depan.
"Eli! lihat, itu adalah lorong yang sering kuceritakan padamu. Tempat di mana gadis yang ada di lukisan itu meregang nyawa."
BRAKK! Terdengar suara benda jatuh sangat keras. Kami saling tatap satu sama lain. Tanpa kata, tanpa aba-aba, aku berlari keluar rumah secepat mungkin meninggalkan Risa yang berteriak memanggil-manggil namaku.
"Dasar penakut. Kenapa lari hah? Itu tadi cuma tikus. Katanya nggak percaya sama hantu, tapi gitu saja lari terbirit-birit ketakutan."
Nafasku naik turun tak beraturan, aku mencoba menstabilkan detak jantungku yang berpacu cepat. Keringat bercucuran. Mungkin benar, itu tadi hanya tikus, lagi pula hantu itu memang tak nyata.
"Aku mau pulang sajalah. Malam ini nobar (nonton bersama) di lapangan. kamu mau ikut tidak?"
Ia menolak ajakanku, beralasan jika sedang ada janji dengan teman barunya. Entah siapa namanya, aku lupa. Yang jelas mereka sama-sama pecinta hal-hal supranatural.