Omzetnya itu ia peroleh tak hanya dari penjualan tanaman hias di dalam negeri, tapi juga sampai ke mancanegara. Menurutnya, masyarakat di luar negeri mulai menyadari banyak tanaman hias dengan jenis yang unik dan indah di Tanah Air ini.
Yang terbaru, seorang pecinta tanaman hias asal Garut berhasil membuat heboh publik. Bagaimana tidak, pria bernama Hidmat Syamsudin itu rela menukarkan rumah mewah miliknya dengan sejumlah tanaman hias berjenis Aroid. Pengusaha properti ini rela menukarkan rumahnya seharga Rp 500 juta dengan beberapa tanaman hias jenis aroid milik pecinta tanaman hias asal Sawangan Depok.
‘’Totalnya sekitar 45 tanaman, tapi baru 40 masih ada lima tanaman lagi dari sana yang belum dikirim,’’ ujarnya, Rabu (13/1/2021).
Menurutnya bisnis tanaman hias terutama jenis Philodendron billietiae variegata dan King monstera thai constellation memang menjanjikan.
‘’Di sini paling murah Rp 2,5 juta paling mahal untuk sementara Monstera variegata thai constellation seharga Rp 65 juta,’’ kata dia.
Ide gila barter  rumah seharga setengah miliar dengan 45 tanaman hias itu, bukan tanpa alasan, tingginya peminat tanaman pandemik khususnya jenis aroid di Indonesia, membuatya semakin jatuh hati. Tak ayal pamor tanaman hias asal Amerika Latin itu terus naik setiap tahunnya, sehingga harganya terus meroket.
Lantas, hobi menanam seperti sekarang ini, apakah hanya menjadi demam sesaat ataukah masih bisa berlanjut? Pengamat perkotaan, Yayat Supriatna dari Universitas Trisakti Jakarta, menilai masa pandemi ini membuat masyarakat terbatas untuk beraktivitas di luar ruangan. Tidak seperti sebelum pandemi, kebahagiaan itu bisa dicari lewat belanja ke mal, berkantor, berkumpul, berwisata, dan lainnya.
‘’Kalau masyarakat itu dikekang, ada constraint di situ, harus ada ruang. Ada virus, kemudian pemerintah membuat aturan-aturan. Makin ketat aturan itu, makin mengekang, maka orang akan keluar mencari ruang-ruang baru,’’ kata Yayat kepada BBC News Indonesia, Minggu (20/9/2020).
Ia melihat hal ini layaknya demam bersepeda di masa pandemi. Menurutnya, masyarakat kota perlu menyalurkan daya konsumsinya untuk bahagia dan ada.
‘’Bagi mereka itu eksis, kemudian di upload instagram itu tadi, berkebun pun jadi seamacam branding. Sekarang itu bersepeda pun bukan sekadar menyalurkan, tapi menjadi status. Sebetulnya banyak berkebun, dia tidak mendapat buahnya. Tapi mendapat statusnya,’’ kata Yayat.
Yayat menilai demam berkebun ini kemungkina hanya terjadi di masa pandemi. Sebab, ketika vaksin sudah ditemukan atau masanya sudah lewat, perhatian orang akan dibetot pada rutinitas sehari-hari.