Mohon tunggu...
Dea Alinda
Dea Alinda Mohon Tunggu... Lainnya - Wanderer

In this world, it takes all the running you can do to keep in the same place

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ambisi yang Berlanjut

29 November 2020   15:38 Diperbarui: 29 November 2020   18:15 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menutupi rasa malu, bergegas kuhampiri Jauhara. "Hara, temani aku ke belakang." Kutarik lengan Jauhara dan berjalan menjauhi Orion. Jarak sejauh ini cukup, kan? Kulihat Ardan sudah menghampiri Orion. "Ning, apa tidak dapat ditahan sebentar?" tanya Jauhara padaku. Terserahlah. "Sebentar Ning"-Jauhara memeriksa ponselnya-"Aku dicari Pak Hamid." Aku hanya mengangguk, lagipula tujuan utamaku sudah tercapai. "Semangat remedinya!!" celotehku pada Jauhara yang telah berlari. "Kurang ajar ya kamu!" balas Jauhara yang ternyata masih bisa mendengarku.

Di lapangan, Ardan telah selesai berbicara dengan Orion. Tanpa sengaja ia melihat Bening dan Jauhara tertawa bersama. Ardan tersenyum, tetapi matanya menunjukan emosi yang berbeda. "Di mana kau?" Ponselku bergetar. Pesan masuk dari Ardan. Sudah selesai, ya. Lebih cepat dari yang kupikirkan. "Kutunggu di kantin." Pesan masuk lainnya. Hah? Kenapa ke kantin? "Aku haus."

Sampai di kantin, kulihat Ardan tengah menghabiskan ice cream ditangannya. "Hanya tersisa rasa coklat," ujarnya sambil menyerahkan ice cream lain padaku. Hening. Kami sibuk menghabiskan ice cream masing-masing sampai akhirnya Ardan memberikan secarik kertas. "Pengakuan ketiga," ucapnya singkat. "Kau tau artinya, kan?" Kau tidak memerlukanku lagi? Aku hanya mengangguk. "Terima kasih, Bening." Ardan pergi meninggalkanku.

Seharusnya ini semua sudah berakhir, kan? Ardan hanya meminta bantuanku untuk mengonfirmasi sesuatu. Tugasku sudah selesai. Tidak perlu lagi membaca pengakuan ini dan menggalinya lebih dalam, kan? "Apanya yang tidak suka hal merepotkan?" Mengalah pada rasa penasaran, kubuka kertas yang tadinya hanya tergeletak di atas meja belajarku itu.

4 Agustus. Istirahat pertama, aku melihat Raka dan Orion mengobrol di depan lab kimia. Hal yang wajar menurutku, sampai kudengar Orion berteriak pada Raka. "Raka, kau tentu paham ini tugas yang penting, kan? Aku tidak ingin nilai kimia ... Aku akan menghubungimu terkait tugas ini." Beberapa kalimat tidak dapat kudengar karena bel masuk berbunyi. Kupikir teriakan Orion saat itu hanya karena emosi sesaat. Istirahat kedua, aku melihat Raka memasuki UKS. Wajahnya pucat, ia terlihat ketakutan dan gelisah ketika melihat ponselnya. Aku memang pernah ditolak, tapi bukan berarti aku dapat mengabaikan Raka yang seperti ini di hadapanku. Aku bergegas memasuki UKS dan menemukan jari Raka berdarah. Refleks, kukeluarkan saputangan yang selalu kubawa dan kuberikan padanya. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit tergores ketika hendak mengambil obat," ujar Raka sambil menunjuk salah satu obat di lemari kaca UKS. Kuambil plester penutup luka dan obat yang ia maksud. Ketika obat itu berpindah tangan, bel masuk berbunyi. "Terima kasih, kembalilah ke kelas Emily," ujar Raka. Aku pergi, kembali ke kelas dengan perasaan khawatir.

"Siapa yang sebenarnya berbohong diantara mereka?" tanyaku sambil membuka kertas terakhir.

3 Agustus. Aku kembali bertemu Raka untuk membahas tugas kimia kami. Suatu kehormatan untukku karena dapat bekerjasama dengan pangeran sekolah. Memenangkan medali emas tidak menutup kekagumanku pada pemikiran seorang Raka. Namun hari ini, Raka sedikit berbeda. Ia selalu melihat ponselnya dengan wajah yang ... gelisah? "Raka, ada masalah?" tanyaku padanya. Raka tersenyum. "Maaf, boleh kita batalkan pertemuan nanti sore? Aku harus latihan basket untuk lomba mendatang." Aku hanya mengangguk. Selama ini, Raka selalu berhasil meluangkan waktu untuk tugas kami. Tidak ada salahnya melewatkan satu hari untuk tim basket karena ia kaptennya, kan?
4 Agustus. Raka memintaku menemuinya di depan lab kimia ketika istirahat pertama. Wajahnya pucat, ia memohon agar pertemuan nanti sore kembali dibatalkan. "Biru memintaku mengadakan latihan tambahan. Ia juga ingin mendiskusikan perihal lomba denganku," ujar Raka. Aku merasa kesal, tapi melihat wajahnya yang pucat, kekesalan itu berganti menjadi kekhawatiran. "Raka, kau tentu paham ini tugas yang penting, kan? Aku tidak ingin nilai kimia kita terganggu. Aku paham kesibukanmu sebagai ketua tim, tapi tetap jaga kesehatanmu. Aku akan menghubungimu terkait tugas ini." Karena bel masuk telah berbunyi, kami kembali ke kelas.
Saat bel istirahat kedua, aku mengirim pesan pada Raka bahwa aku akan datang ke kediamannya jam enam sore dengan harapan urusan Raka dengan tim basket telah selesai. Raka menyetujui pesan yang kukirim. Di luar dugaan, ketika sampai di depan pintu rumah Raka, aku mendengar suara Biru. Suaranya terdengar sedikit mendesak. Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan. Begitu aku masuk, Biru pergi dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.

Tiga hari berlalu setelah kesepakatan sepihak dengan Ardan berakhir. Kehidupan biasaku kembali. Perbedaan terbesarnya adalah perasaan mengganjal yang tertinggal di pikiranku. Banyak pertanyaanku yang belum terjawab. Alasan sebenarnya Ardan menyeretku, apa ambisi Toni, dan siapa pembunuh Raka Aldebaran. "Mereka bertiga dapat menjadi pelakunya. Biru, ia dapat mengunjungi Raka dengan alibi lomba basket. Emily, saputangannya terbawa oleh Raka. Orion, ia dapat mengunjungi Raka untuk melanjutkan tugas kimia mereka." Hariku terus berjalan diiringi pikiran tersebut.

Kurasa apa yang dikatakan orang lain tentang perhatikan sekitar dan jangan hanya berkutat dengan duniamu sendiri benar. Lima hari telah berlalu, aku baru menyadari bahwa sekolahku kehilangan tiga murid lain ketika menonton berita di televisi. Ditemukan luka yang sama pada pergelangan tangan ketiga mayat itu. Luka membentuk huruf 'P'. Dengan ini, kasus kematian Raka Aldebaran ikut terseret ke permukaan.

Di kamarnya, Ardan menatap televisi yang menayangkan berita itu dengan pandangan kosong. "Sudah puas? Untuk apa bermain sejauh ini?" tanyanya. Tidak ada jawaban. "Kau akan membunuhku kan?" lanjut Ardan. "Jangan sentuh anak yang ada di pojok ruangan waktu itu." Hening, hanya ada senyuman yang terukir di wajahnya.

Yang pertama muncul dipikiranku ketika mendengar berita itu adalah Ardan. Semua orang yang menjadi korban adalah korban penculikan Toni di masa lalu. Biru, Emily, dan Orion bukanlah pembunuh Raka. Apakah Toni benar-benar masih hidup? Bagaimana keadaan Ardan ... tunggu, masih ada satu anak lagi, kan? Belum sempat memikirkan kemungkinan itu, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Ardan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun