Mohon tunggu...
Dea Sagita
Dea Sagita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Sriwijaya Sumatera Selatan

Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diplomasi Koersif Indonesia sebagai Upaya Keamanan Maritim

29 November 2021   21:06 Diperbarui: 29 November 2021   21:11 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Diolah dari Christian Le Miere (2016)

Semenjak terpilihnya Presiden Joko Widodo sebagai kepala negara Indonesia, pemerintah berkeinginan untuk mengembalikan kejayaan Indonesia dalam sektor maritim dan mengembalikan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan maritim yang maju sekaligus memberikan efek positif bagi perdamaian dan keamanan dunia tetapi tetap memprioritaskan kepentingan nasional. 

Sebagai negara yang memiliki kekayaan dan wilayah laut yang berlimpah, Indonesia dihadapi dengan berbagai tantangan, baik tantangan tradisional dan non-tradisional. Maka menjaga keutuhan territorial menjadi prioritas utama negara dalam kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri Indonesia. Sebagai langkah awal mewujudkan visi Poros Maritim Dunia (PMD), dibentuk Kementrian Koordinator Bidang kemaritiman sebagai bukti dukungan pemerintah.

Arti dari visi Poros Maritim Dunia (PMD) sendiri bukanlah sekadar mengamankan wilayah yang telah ada tetapi juga memiliki hak penuh atas seluruh perairan Indonesia khususnya jalur pelayaran dan perdagangan internasional. 

Tujuan negara Indonesia dalam visi ini telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia dengan konten tujuh pilar strategi: (i) pengelolaan sumber daya laut dan pengembangan sumber daya manusia; (ii) pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di perairan laut; (iii) tata kelola dan kelembagaan laut; (iv) perekonomian dan infrastruktur laut serta peningkatan kesejahteraan; (v) Kelola ruang laut dan pelindungan lingkungan laut; (vi) budaya bahari; dan (vii) diplomasi maritim (Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman, 2017).

Diplomasi Koersif

Diplomasi maritim bertujuan untuk mempengaruhi perilaku dan keputusan negara lain dalam berbagai macam kegiatan di wilayah perairan. Diplomasi maritim juga ditujukan sebagai langakah deterrence oleh negara untuk menahan dan menangkal ancaman dari negara lain (Muhammad Harry Nugraha, 2016). Diplomasi maritim adalah upaya untuk menjamin keutuhan wilayah, kedaulatan maritime, keamanan serta kesejahteraan pulau-pulau, dan keamanan sumber daya alam dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional, 2014). 

Diplomasi maritim dibagi menjadi tiga jenis yaitu diplomasi maritim kooperatif, diplomasi maritim persuasif, dan diplomasi maritim koersif. Diplomasi maritim kooperatif berisikan interakasi antar aktor dalam aktivitasnya. 

Kedua, diplomasi martitim persuasif yang bertujuan untuk meraih pengakuan dari negara lain terhadap kekuatan nasional yang dimiliki negara terkait. 

Terakhir, diplomasi maritime koersif yang biasa juga disebut dengan diplomasi gunboat. Dalam upaya diplomasi koersif penggunaan angkatan militer atau maritime forces digunakan demi memperjuangkan kepentingan nasional negara.

Secara dasar diplomasi koersif adalah aksi negara superpower yang menggunakan kekuatannya untuk mengancam negara sasaran agar pihak tersebut menunda atau membatalkan keputusannya. Konsep dari diplomasi koersif yaitu untuk mendorong permintaan terhadap pihak lawan dengan cara ancaman hukuman agar permintaan tersebut dipertimbangkan. Negara pengancam harus menciptakan situasi dimana  negara sasaran menerima ancaman tersebut sebagai suatu kebutuhan daripada sebuah ancaman (Prastiti, 2019). 

Diplomasi koersif merupakan diplomasi yang menggabungkan beberapa elemen diplomasi seperti negosiasi yang bersifat koersif untuk menunjukan dominasi negara dalam prosesnya. Diplomasi koersif memiliki rsiko yang tinggi karena dapat merusak hubungan diplomatik negara pengancam dan negara sasaran atauh bahakan memperburuk masalah hingga ketitik perang. Namun output dari diplomasi koersif tergantung pada sikap negara sasaran dalam menerima permintaan negara terkait, dalam bagaimana proses diplomasi koersif dilaksanakan tanpa adanya kekerasan yang tidak diperlukan.

Tujuan diplomasi koersif lainnya yaitu untuk mengembangkan kekuatan militer, jalur maritime internasional, mencapai kepentingan militer, tujuan mengintimidasi, dan meraih kemanangan. Alexander L. George berpendapat bahwa ada dua metode diplomasi wajib yang berbeda, yaitu metode full-ultimatum dan metode try and see. Dalam full-ultimatum, klaim harus mencakup tiga aspek penting; 

(1) Ada persyaratan khusus dan jelas untuk negara target, 

(2) Negara target memiliki tenggang waktu untuk kerjasama, dan 

(3) Ini merupakan ancaman nyata jika negara target tidak memenuhi permintaan yang dituntut. 

Metode try and see tidak memiliki perbedaan jauh dari pelaksanaan metode full-ultimatum. Namun berbeda dalam hal menentukan persyaratan yang spesifik serta masa tenggat dan bentuk ancaman untuk diberikan nantinya. Tujuannya agar negara penuntut menunggu respon negara target terhadap apa yang akan dilakukan nanti. Setelah melihat respon yang diberikan, aktor negara dapat merencanakan langkah selanjutnya (George, 2005).  

Terdapat tiga hal yang menandakan sebuah diplomasi koersif diantaranya yaitu, adanya permintaan, ancaman, dan tekanan waktu. Permintaan yang diajukan negara harus rancang secara vis--vis. Permintaan yang diberikan juga harus bersamaan dengan ancaman yang jelas. Ancaman yang diberikan boleh dibersamai dengan Tindakan langsung untuk mmeyakinkan bahwa negara pengancam serius dalam melihat konflik yang terjadi. Dan yang terakhir, tenggat waktu yang ditetapkan menjadi sebuah cara agar negara sasaran patuh terhadap permintaan yang ditegaskan (Febriandi, 2018).

Diplomasi Maritim Koersif Natuna 

Lingkungan kawasan Asia Tenggara tergolong stabil, namun ancaman masalah perbatasan maritim dibeberapa kawasan masih menjadi perhatian. Menurut Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Indonesia masih terlibat dalam sengketa wilayah dengan beberapa negara tetangga. Salah satunya yaitu masalah sengketa wilayah di Laut Cina Selatan. 

Masalah yang berkepanjangan ini menimbulkan ancaman ketidakamanan di kawasan perbatasan Indonesia.  Negara Cina dan beberapa negara ASEAN lainnya mengklaim beberapa wilayah perairan Indonesia secara unilateral. Permasalahan sengketa di Laut Can Selatan ini dapat menyebabkan tantangan sovereign rights bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan menurut Konvesi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentangHukum Laut (UNCLOS).

Selain dari ancaman kedaulatan, dampak ekonomi juga dikhawatirkan akan merugikan kepentingan nasional negara. Sumber daya energi dan sumber daya laut yang berada di Natuna, wilayah yang diperebutkan, memiliki potensi besar bagi perekonomian dan keamanan energi nasional Indonesia. Menaggapi permasalahan ini pemerintah Indonesia telah menegaskan bahwa Kepulauan Natuna dan perairan disekitarnya adalah milik Indonesia sepenuhnya dan tidak termasuk ke dalam wilayah yang di klaim Cina. 

Namun, pernyataan pemerintah Indonesia atas isu ini tidak menghapus tantangan maritim Indonesia dalam satu malam. Isu besar lain yang hadir adalah penangkapan ikan secara illegal (illegal fishing) oleh beberapa negara ASEAN. Tidak sedikit kapal nelayan asal Cina, Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Panama, serta lainnya tertangkap melakukan illegal fishing di perairan Indonesia.

Penagkapan ikan secara illegal oleh negara-negara asing menyebabkan kerugian besar bagi para nelayan Natuna, diketahui bahwa penghasilan nelayan di Kabupaten Natuna Kepulauan Riau berkurang sekitar 75% semenjak Desember 2019 sampai dengan Januari 2020 (Kondisi Geografis kabupaten Natuna, n.d.). 

Selain itu patrol penjaga Tiongkok diketahui berusaha untuk mengagalkan usaha otoritas maritim Indonesia untuk menangkap para pelanggar aturan maritim di wilayah Indonesia (Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia). Hal ini semakin memperburuk situasi masalah dan menggangu hubungan diplomatic anatar Indonesia dan negara-negara tersebut.

Dalam upaya penyelesaian masalah ini, Indonesia memilih untuk menjalankan diplomasi maritim koersif yang ditunjukan dengan cara penangkapan, penenggelaman, dan pembakaran kapal-kapal penangkap ikan illegal. Perihal ini diatur dalam hukum nasional Indonesia pada Pasal 69 UU No. 45/2009 tentang Perikanan.  

Penggunaan kekuatan militer digunakan Indonesia untuk mengamankan kepentingan nasional. Semenjak 2014 Indonesia telah melaksanakan diplomasi koersif terhadap kapal-kapal illegal serta mengeluarkan moratorium pemberian izin operasi bagi kapal dengan bendera asing. Latihan militer yang dilaksanakan di Kepualuan Natuna menunjukan keseriusan Indonesia dalam Tindakan koersif ini. 

Di tahun 2017 Indonesia berhasil menenggelamkan 113 kapal illegal, memulangkan 1.020 ABK asing dengan tuntutan kasus perbudakan, dan menangkap 157 unit kapal ilegal (Kementrian Kelautan dan Perikanan , 2016) dan berlanjut hingga saat ini. Selain itu operasi pengawasan oleh militer secara aktif dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Melalui operasi militer Kapal Pengawas di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WWP-NRI) dengan tujuan mengawasi sumber daya lautan dan perikanan di seluruh wilayah NKRI.

Keberadaan kapal penjaga pantai Indonesia seperti KRI Tjiptadi-381 yang berpatroli di laut Natuna Utara untuk menghalau kapal Coast Guard Cina menyebabkan ketegangan diantara negara Indonesia dan Cina. Di awal Januari 2020, militer dibawah pimpinan Yudo Margono,  Panglima Komando Gabungan  Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I Laksdya TNI menunjukan sikap keras dengan menyatakan operasi persiapan tempur bersama Koarmada 1, Koopsau 1, armada lima KRI, satu pesawat pengintai maritim, dan satu Boeing TNI AU (Fauzan, 2020). Selain pengerahan kekuatan angkatan militer laut, Indonesia juga mengerahkan pengawalan udara di Kepulauan Natuna.

Penguatan Tindakan pengamanan Indonesia di Kepulauan Natuna dilanjutkan dengan pembangunan pangkalan militer di bagian tengah Indonesia, wilayah yang berhadapan langsung dengan beberapa negara terutama Cina. Berdasarkan pernyataan Menkopolhukam Binsar panjaitan, pembangunan pangkalan militer akan dibangun kapal induk untuk AL dan AU yang kuat. 

Penempatan prajurit di kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) juga dilakasanakan. Selain pembangunan pangkalan militer, perpanjangan landas pacu Lanud Ranai juga dijalani Indonesia demi mempertahankan kawasannya, serta pembangunan dermaga untuk Angkatan Laut Indonesia.

Diplomasi koersif Indonesia dalam upaya menjaga keamanan maritim yang ditimbulkan oleh illegal fishing ini menunjukan bahwa baik pemerintah maupun kekuatan militer menolak keras klaim satu pihak oleh negara manapun yang berpotensi merusak kedaulatan Negara Indonesia. Segala bentuk diplomasi koersif yang telah dijalankan terbukti berhasil mengurangi jumpal kapal-kapal ilegal yang dapat merugikan dan merusak ekosistem perairan Indonesia. Dengan menunjukan kekuatan militer Indonesia memeperoleh pengakuan dunia dan mengurangi potensi ancaman kedaulatan. Namun dalam permasalahan ini, diplomasi koersif dengan unjuk kekuatan tidak bisa menghapuskan konflik tanpa diiringi dengan diplomasi maritim lainnya. Diplomasi bilateral dan diplomasi multilateral diperlukan untuk menjaga hubungan diplomatik antara negara terkait dan mencegah terjadinya konflik perang.

Bibliography
Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman. (2017). Kebijakan Kelautan Indonesia.

Muhammad Harry Nugraha, A. S. (2016). Maritime Diplomacy Sebagai Strategi Pembangunan Keamanan Maritim Indonesia. Jurnal Wacana Politik, 177.

Nasional, K. P. (2014).

Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. (2014).

Prastiti, D. N. (2019). Inkonsistensi Kebijakan Countering America's Adversaries Through Sanctions ACT(CAATSA): Studi Kasus Pembelian Senjata S-400 India. Global Strategies, Th. 13, No.2, 127.

George, A. L. (2005). Forceful Persuasion: Coercive Diplomacy as an Alternative to War. Washington D.C: United State Instutute of Peace Press.

Kondisi Geografis kabupaten Natuna. (n.d.). Retrieved from https://natunakab.go.id/ekonomi-daerah-di-kabupaten-natuna/kondisi-geografis-kabupaten-natuna/

Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia. (n.d.). Diplomasi Pertahanan Maritim: Strategi, tantangan, dan Prospek. Jakarta : Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementrian Luar Negeri republik Indonesia.

Kementrian Kelautan dan Perikanan . (2016).

Fauzan, H. A. (2020). Babak Baru Konflik Indonesia dan Cina di Atas Perairan Natuna. Retrieved from https://tirto.id/babak-baru-konflik-indonesia-dan-cina-di-atas-perairan-natuna-eqov

Febriandi. (2018). Kegagalan Diplomasi Koersif Arab Saudi terhadap Qatar. Indonesian Journal of International Relations by Indonesia Association for International Relations, Vol. 2, No. 1, pp. 1-14.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun