Model transaksi derivatif syariah tentu tidak kalah menarik dari konvensional. Pada awalnya modifikasi produk keuangan ini menjadi perdebatan yang kompleks dalam persiapannya menjadi produk keuangan syariah. Bagaimana tidak, derivatif konvensional yang mengandung riba, maysir, dan gharar di dalamnya tentu tidak sesuai dengan prinsip syariah.Â
Sehingga membutuhkan proses yang matang sehingga muncullah transaksi derivatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seiring dengan peningkatan peradaban ekonomi keuangan syariah. Diantara bentuk-bentuk transaksi derivatif di lembaga keuangan syariah adalah sebagai berikut:
- Bai-Salam
Salam merupakan jual beli barang secara rinci dengan pembayarannya dilakukan di muka (lunas) dan penyerahan barang di masa yang akan datang. Pada awalnya transaksi salam hanya dipakai pada produk pertanian saja, namun dengan pemahaman substansinya, salam dapat diaplikasikan sebagaimana mirip dengan produk future/forward (Widodo, 2009).
Kondisi yang mirip ini dikarenakan harga transaksi salam adalah harga tunai pada hari ini. Berbeda dengan futures yang tidak melakukan pertukaran uang hingga kontrak berakhir, salam melakukan pembayaran secara lunas sehingga sebenarnya menimbulkan risiko pada pembeli apabila penjual tidak memberikan barang pada waktu yang telah disepakati. Diskon dengan harga tunai hari ini lah yang akan menjadi imbalan risiko kontrak (Toha, 2019). Selain itu, pada saat jatuh tempo, kualitas barang diserahkan pembeli dengan rentang terbatas sesuai harga yang sudah dibayar.
- Bai Istishna
Transaksi Istishna merupakan pemesanan barang dengan spesifikasi tertentu dan pelaksanaan pembayaran dapat dilakukan secara berangsur pada periode tertentu atau sekaligus di akhir periode ketika barang pesanan sudah tersedia sesuai dengan spesifikasi yang disepakati (Widodo, 2009).
- Bai-Istijrar
Bai-Istijrar adalah jual beli berulang atas barang tertentu dalam satu periode. Dengan kata lain, barang yang dibeli diserahkan secara berangsur dalam satu periode (Widodo, 2009)
- Bai-al-Urbun
Bai-al-Urbun merupakan jual beli suatu barang dimana pembeli memberikan uang muka (urbun) dari harga terntu dengan kesepakatan apabila pembeli melanjutkan transaksi maka urbun tersebut bagian dari harga barang, namun apabila pembeli membatalkan transaksi maka urbun menjadi milik penjual. Terkait transaksi ini terdapat hadist Riwayat Ahmad, Aan-Nas-y, Abu Daud, Al-Muntaqa: "Nabi SAW melarang penjualan dengan uang muka dan uang itu hilang jika pembelian tidak diteruskan", tetapi sanadnya dhaif. (Widodo, 2009). Menurut mazhab Hambali Bai-al-Urbun "boleh" diaplikasikan dengan pertimbangan melindungi penjual dari kerugian akibat dari pembatalan transaksi (Toha, 2019).
- Khiyar Syarar
Khiyar syarat merupakan hak yang disepakati dalam kontrak dengan syarat tertentu yang harus dipenuhi. Kedua belah pihak dapat membatalkan atau meneruskan kesepakatan sebelum adanya serah terima barang atau harga (Toha, 2019).
Pandangan ulama
Dalam Islam, khususnya dalam Fiqh Syafi 'iyyah berlaku kaidah :"Asal segala sesuatu dalam (muamalah) adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya". Kaidah tidak berarti memperbolehkan semua transaksi-transaksi baru yang pada masa Rasul SAW tidak diharamkan, karena memang belum ada, akan tetapi harus dilihat "alasan hukum"nya ('illat al-hukm) mengapa sebuah transaksi diharamkan. Alasan hukum inilah ke mu dian yang dijadikan dasar pemikiran untuk memberikan hukum pada transaksi transaksi baru. Hal ini berdasarkan kaidah : "hukum tergantung pada 'illatnya"
Secara umum perdagangan dalam Islam harus didasarkan kepada :