Sebagai organisasi masyarakat yang telah berkontribusi sangat besar bagi kemerdekaan bangsa ini, pernyataan sikap Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah yang menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) sangat patut untuk didukung.
Terlepas dari kontribusi tiga orang kader Syarikat Islam, yakni Soekarno, H. Agus Salim dan Abi Kusno Tjokrosujoso yang ikut dalam merumuskan Pancasila (tergabung kedalam tim sembilan Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), memang ada beberapa kontroversi yang mengiringi RUU HIP tersebut.
Menurut rilis yang dibuat oleh Hamdan Zoelva selaku Ketua Umum Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam, berikut beberapa kontroversi RUU HIP.
Pertama, posisi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan norma paling tinggi (grund-norm) dan dasar falsafah negara yang ditetapkan atas kesepakatan dari seluruh komponen dan eksponen bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu, perumusan Pancasila pada tingkat norma Undang-Undang dapat menurunkan nilai Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan merendahkan posisi ataupun kedudukan Pancasila sebagai dasar tertinggi dalam kerangka kehidupan bangsa dan negara Indonesia.
Kedua, dalam perumusannya oleh para pendiri bangsa hingga sampai pada rumusan dan pemahaman paling akhir sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 sampai pada Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, yang disepakati dan tercatat sebagai dokumen autentik kenegaraan yang sah dan terpelihara hingga sekarang.
Maka, hanya dengan melihat dan merujuk Pancasila dari perumusan 1 Juni 1945 telah mendistorsi Pancasila dan sungguh-sungguh mengkhianati kesepakatan para pendiri bangsa yang mewakili seluruh komponen bangsa.
Ketiga, untuk dapat memahami Pancasila secara benar dan utuh, harus dibaca secara lengkap seluruh rangkaian dari latar belakang kelahirannya, seluruh pidato dan pandangan founding fathers yang tergabung kedalam BPUPKI, pidato Soekarno pada 1 Juni 1945, kesepakatan bulat pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Pembukaan UUD 1945 serta Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang diterima secara bulat oleh DPR RI pada tanggal 22 Juli 1959.
Keempat, dalam rangka kehidupan konstitusional yang benar, dalam memahami dan menafsirkan Pancasila harus memerhatikan penafsiran autentik yang telah disepakati bersama seluruh komponen dan kekuatan politik bangsa melalui MPR RI, yaitu sebagaimana termuat dalam pasal-pasal UUD 1945 yang ada dan berlaku. Itulah penafsiran tertinggi dan paling autentik pertama dalam memahami Pancasila.
Kelima, dengan hanya menjadikan keadilan sosial sebagai pokok Pancasila sesungguhnya telah mendistorsi dan menyempitkan makna Pancasila yang terdiri dari lima pokok (dasar). Kelima sila sebagaimana rumusan yang ada semuanya adalah merupakan nilai dasar dan pokok Pancasila, dan kelima sila itu adalah rumusan final yang harus dipahami sebagai satu-kesatuan yang saling mengikat.
Jika pun hendak mencari pokok Pancasila maka adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa-lah sebagai "Causa Prima" dari sila-sila Pancasila sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara RI 1945, yaitu "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa".
Sebagai sebuah ideologi, Pancasila menempatkan persoalan ketuhanan (agama) menjadi 'Causa Prima' atau dapat diartikan sebagai sebab utama yang tidak diawali oleh faktor lainnya. Dalam pancasila, sila pertama, yakni 'Ketuhanan Yang Maha Esa' disebut sebagai Causa Prima dan menempati urutan paling pertama dari susunan lima sila Pancasila.
Tidak ada yang salah akan hal itu, sebab Pancasila lahir dari kebudayaan yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Kebudayaan tersebut menyatu dalam ciri khas masyarakat yang mengakui adanya eksistensi Tuhan, sehingga dalam konteks Pancasila, persoalan ketuhanan (agama) merupakan landasan bagi semua masyarakat. Walaupun demikian, Pancasila tetap menempatkan persatuan dan kesatuan sebagai bentuk menyatukan semua agama, suku bangsa, dan ras.
Sedangkan, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia yang berkedudukan sebagai dasar filsafat negara Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pancasila merupakan sistem nilai (value system) yang merupakan kristalisasi atas norma dan nilai-nilai luhur adab serta budaya yang mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Terbentuknya Pancasila sebagai rumusan dasar falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi melalui proses kausa-materalisme karena nilai-nilai yang ada didalamnya telah ada dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Proses perumusan pun dilakukan melalui proses perdebatan yang sangat panjang, penghayatan, dan take and give yang tidak mudah antara tokoh bangsa. Hingga akhirnya tercapai kesepakatan final yang kemudian teks aslinya dituliskan kedalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 serta penjabaran dari nilai-nilai Pancasila tersebut dituangkan kedalam pasal demi pasal UUD 1945.
Kekhawatiran Munculnya Ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme
Selain kontroversi diatas, dalam pernyataan sikapnya, merupakan hal yang wajar juga jika Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam mengkahawatirkan akan muncul kembali ajaran Komunisme dan Marxisme-Leninisme.
Hal ini disebabkan karena RUU HIP mengeyampingkan dan tidak merujuk pada Ketetapan MPR RI yang sangat penting dan masih berlaku, yaitu Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966 tentang Pelarangan Ajaran Komunisme dan Marxisme-Leninisme kedalam daftar rujukan RUU HIP.
Sementara pada sisi lain, seluruh Ketetapan MPR RI lainnya yang masih berlaku dirujuk sebagai dasar penyusunan RUU tersebut.
Tidak Ada Kebutuhan Mendesak
Sebenarnya tidak ada kebutuhan mendesak untuk melanjukan pembahasan RUU HIP untuk sekarang ini disaat semua anak bangsa menghadapi bahaya pandemi Covid-19 dan tengah membangun kehidupan demokrasi yang sehat dan berintegritas melalui konstitusi demi mewujudkan marwah kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik, beradab, dan bermartabat.
Oleh karena berbagai kontroversi yang mengiringinya, maka menurut saya sebuah langkah yang tepat dilakukan oleh Syarikat Islam dengan menolak RUU HIP dan meminta kepada DPR RI serta pemerintah untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU tersebut, karena dengan adanya RUU HIP justru akan sangat membahayakan dan menganggu kerukunan antara kelompok dalam masyarakat. Juga akan menambah beban permasalahan bangsa yang sangat plural dan majemuk.
Sekali lagi, saya mendukung Syarikat Islam untuk menolak RUU HIP.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H