Sebagai sebuah ideologi, Pancasila menempatkan persoalan ketuhanan (agama) menjadi 'Causa Prima' atau dapat diartikan sebagai sebab utama yang tidak diawali oleh faktor lainnya. Dalam pancasila, sila pertama, yakni 'Ketuhanan Yang Maha Esa' disebut sebagai Causa Prima dan menempati urutan paling pertama dari susunan lima sila Pancasila.
Tidak ada yang salah akan hal itu, sebab Pancasila lahir dari kebudayaan yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Kebudayaan tersebut menyatu dalam ciri khas masyarakat yang mengakui adanya eksistensi Tuhan, sehingga dalam konteks Pancasila, persoalan ketuhanan (agama) merupakan landasan bagi semua masyarakat. Walaupun demikian, Pancasila tetap menempatkan persatuan dan kesatuan sebagai bentuk menyatukan semua agama, suku bangsa, dan ras.
Sedangkan, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia yang berkedudukan sebagai dasar filsafat negara Indonesia dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pancasila merupakan sistem nilai (value system) yang merupakan kristalisasi atas norma dan nilai-nilai luhur adab serta budaya yang mengakar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Terbentuknya Pancasila sebagai rumusan dasar falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara terjadi melalui proses kausa-materalisme karena nilai-nilai yang ada didalamnya telah ada dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Proses perumusan pun dilakukan melalui proses perdebatan yang sangat panjang, penghayatan, dan take and give yang tidak mudah antara tokoh bangsa. Hingga akhirnya tercapai kesepakatan final yang kemudian teks aslinya dituliskan kedalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 serta penjabaran dari nilai-nilai Pancasila tersebut dituangkan kedalam pasal demi pasal UUD 1945.
Kekhawatiran Munculnya Ajaran Komunisme, Marxisme-Leninisme
Selain kontroversi diatas, dalam pernyataan sikapnya, merupakan hal yang wajar juga jika Pimpinan Pusat/Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam mengkahawatirkan akan muncul kembali ajaran Komunisme dan Marxisme-Leninisme.
Hal ini disebabkan karena RUU HIP mengeyampingkan dan tidak merujuk pada Ketetapan MPR RI yang sangat penting dan masih berlaku, yaitu Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966 tentang Pelarangan Ajaran Komunisme dan Marxisme-Leninisme kedalam daftar rujukan RUU HIP.
Sementara pada sisi lain, seluruh Ketetapan MPR RI lainnya yang masih berlaku dirujuk sebagai dasar penyusunan RUU tersebut.
Tidak Ada Kebutuhan Mendesak
Sebenarnya tidak ada kebutuhan mendesak untuk melanjukan pembahasan RUU HIP untuk sekarang ini disaat semua anak bangsa menghadapi bahaya pandemi Covid-19 dan tengah membangun kehidupan demokrasi yang sehat dan berintegritas melalui konstitusi demi mewujudkan marwah kehidupan bangsa Indonesia yang lebih baik, beradab, dan bermartabat.