Mohon tunggu...
Dede Prandana Putra
Dede Prandana Putra Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Alumni HMI dan Kaum Muda Syarikat Islam | Sarjana Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang pernah berkuliah Pascasarjana jurusan Kajian Ketahanan Nasional UI

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Imbauan Jangan Mudik dan Ketahanan Sosial Masyarakat Desa

6 April 2020   19:21 Diperbarui: 6 April 2020   22:11 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Imbauan pemerintah untuk tidak melaksanakan mudik pada lebaran tahun 2020 ini menjadi semacam 'pukulan' tambahan bagi masyarakat ditengah pandemi Covid-19 yang telah meluluhlantakan tatanan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.

Pemerintah tampaknya tidak ada pilihan lain, sebab semakin hari jumlah korban Covid-19 semakin bertambah. Beberapa kebijakan pun dilaksanakan dengan tujuan mencegah penyebaran virus Covid-19 biar tidak semakin menyebar, termasuk mengimbau kepada masyarakat untuk tidak mudik saat lebaran.

Namun, sepertinya keinginan pemerintah untuk melarang masyarakat tidak mudik hanya sebatas imbauan tanpa dibarengi dengan sikap tegas. Terakhir, pemerintah mulai melunak dengan mengatakan seluruh pemudik harus dikarantina terlebih dahulu jika mereka sudah datang ke kampung halaman masing-masing. Walau memang beberapa calon pemudik pun harus membatalkan tiket mudik mereka dan memilih mengikuti imbauan pemerintah untuk tidak mudik.

Saya menilai pemerintah tidak akan bisa sepenuhnya melarang masyarakat untuk tidak mudik lebaran, karena mudik merupakan tradisi turun menurun yang telah mengakar dan menjadi budaya bagi masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat perantau, berkunjung ke kampung halaman dan berkumpul dengan keluarga, sanak saudara dan kerabat pada waktu hari raya idul fitri merupakan semacam ritual yang harus dilaksanakan.

Sebagaimana konsep manusia menurut Aristoteles yang bersifat Zoon Politicon atau hidup bermasyarakat, maka mudik merupakan salah satu bentuk kehidupan manusia yang hidup bermasyarakat. Mudik merupakan ajang bersilaturrahmi, berinteraksi, berkomunikasi serta berkumpul antar individu dalam masyarakat. Tak hanya itu, yang paling penting dalam proses tersebut adalah adanya pertemuan secara langsung atau adanya pertemuan secara lahir.

Proses sosial yang terjadi saat mudik merupakan hal yang sangat dirindukan oleh para perantau. Berkujung ke kampung halaman seakan-akan membangkitkan kembali ingatan saat kecil dulu. Bercengkerama dengan orang tua beserta sanak saudara akan membuat hubungan yang dekat dengan mereka. Berkumpul bersama teman-teman semasa kecil, semasa sekolah bisa mengakrabkan kembali kita dengan mereka. Hal yang tidak akan ditemui di tanah rantau.

Tidak hanya proses sosial yang terjadi saat mudik, namun proses ekonomi pun dapat terjadi secara signifikan berkat proses mudik. Berdasarkan data Bank Indonesia, perputaran jumlah uang selama mudik sangat fantastis yang mencapai ratusan triliun. Pada tahun 2015 jumlahnya adalah 125 triliun rupiah. Tahun 2016 meningkat sebanyak 35 triliun menjadi 160 triliun rupiah.

Tahun berikutnya, yakni 2017 perputaran uang naik sebesar 7 triliun menjadi 167 triliun rupiah. Lalu, ditahun 2018 meningkat menjadi 191,3 triliun atau naik sebesar 32,1 triliun. Terakhir, pada tahun 2019 lalu, perputaran uang lebaran dalam negeri naik lagi mencapai 217,1 triliun.

Konsep Ketahanan Sosial

Diana Conyers mengungkapkan jika kata sosial memiliki pengertian yang berbeda-beda dan digunakan secara luas. Kata sosial dalam pengertian sehari-hari berkonotasi dengan hiburan atau sesuatu yang menyenangkan, contoh taman dibangun untuk tempat bermain anak-anak disebut kepentingan sosial, pertunjukan dimainkan untuk kepentingan sosial dan sebagainya.

Berikutnya, kata sosial digunakan sebagai lawan kata individu. Cenderung kearah pengertian kelompok (masyarakat) atau society dan warga (community). Implikasinya adalah suatu kelompok bukanlah penjumlahan individu, sehingga apa yang dirasa baik bagi individu, belum tentu baik bagi kelompok secara keseluruhan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun