Mohon tunggu...
de- prast
de- prast Mohon Tunggu... -

smart and simple

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Santri Lelana Brata: Sebuah Identifikasi Serat Jatiswara Sebagai Suluk

17 April 2012   00:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:32 1420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Akhirnya, sampai juga pada waktunya untuk berpamitan, kendatipun semuanya mendesak, supaya Jatiswara tetap tinggal. Namun, ia mohon diri dan berjanji akan kembali setelah menemukan saudaranya yang hilang (Behrend 1995: 124-125).

3. Serat Jatiswara Sebagai Suluk

a. Perjalanan dan Pengendalian Hawa Nafsu

Ciri yang pertama ini adalah berangkat dari pengertian suluk, yang berarti, ‘jalan’, yang kemudian mengalami perluasan makna menjadi, ‘kehidupan seorang pertapa’ (Hava 1951: 333).  Jika dilihat secara harafiah, kata pertapa berasal dari kata tapas dalam Bahasa Sansekerta, yang mempunyai arti, ‘tapa, mati raga, pengendalian indra atau hawa nafsu, yoga’ (Zoetmulder 1995, II: 1210). Jadi pertapa dapat diartikan, ‘orang yang melakukan tapas’.

Di dalam Serat Jatiswara, tokoh utamanya adalah Jatiswara. Ia melakukan pengembaraan untuk mencari Sujati, saudara laki-lakinya. Ia tidak akan menghentikan pengembaraannya sebelum menemukan Sujati. Dalam hal ini Jatiswara dapat dikatakan sebagai pertapa: ia mengesampingkan atau mengekang keinginannya yang lain demi menemukan Sujati. Ia mengesampingkan segala kesenangannya di dunia untuk menemukan saudara laki-lakinya atau dengan kata lain berkaitan dengan arti tapas. Jatiswara melakukan pengendalian indra atau hawa nafsu. Hal ini, dalam Serat Jatiswara, dapat dibaca pada pupuh II, 37 dan 70-78. Pada bait-bait itu diuraikan bahwa setelah Jatiswara amurwani kanya Nawangkapti, Warsita dan Suwastra, mereka mandi bersama dan setelah Nawangkapti dan kedua saudaranya, tidur Jatiswara tetap duduk, terbawa kekhawatiran menemukan Sujati. Kemudian, setelah sholat Subuh, ia menemui Saimbang untuk mohon pamit. Kyai dan Nyai Saimbang mendesak Jatiswara, agar mengurungkan rencananya. Namun, Jatiswara meyakinkan mereka dan berjanji berkali-kali bahwa ia akan kembali, apabila telah berhasil menemukan Sujati, dan akhirnya Jatiswara pun berangkat melanjutkan pengembaraannya (Behrend 1995: 128-129).

Dari uraian di atas dapatlah dijelaskan bahwa Jatiswara selalu ingin melanjutkan perjalanan pengembaraannya. Ia tidak akan berhenti melakukan pengembaraannya sebelum menemukan Sujati, sekalipun segala kesenangannya selalu menjadi godaan di tempat-tempat persinggahannya, antara lain di padhepokan Ki Saimbang.

b. Ajaran Mistik

Pengidentifikasian yang kedua adalah berangkat berdasarkan pengertian bahwa suluk mengandung ajaran-ajaran yang bersifat mistik (Gibb dan Kraemers 1953: 551-552). Ajaran-ajaran semacam itu di dalam Serat Jatiswara, di antaranya terdapat pada pupuh II, 68-69. Diuraikan bahwa setelah melakukan perkenalan, Ki Saimbang mengakui ketidaktahuannya mengenai “makna usaha orang dalam kehidupan: surasaning kalakuhan urip ….. kesudahan akhir keberadaan ini ….. tempat Islam di dalamnya ….. dan awal dan akhirnya”, maka ia memohon penjelasan kepada Jatiswara. Jatiswara menjelaskan dengan rasa yang segan, ia juga menambahkan beberapa pokok, termasuk wahya paesan, perbedaan antara nyawa dan jisim; asal-mula sikap tubuh di dalam sholat (berdiri, rukuh, sujud, dan duduk), sehubungan dengan keempat anasir, empat jenis ikhram, sarengat, hakikat, tarekat dan makrifat-nya sholat dan asal mula anasir alam.  Semua yang hadir memperhatikan ketika Jatiswara menjelaskan.

Selepas sholat asar, Saimbang dan sanak saudaranya berkumpul lagi untuk mendengarkan uraian Jatiswara. Ia melewatkan sore itu dengan memberi penjelesan makna berbagai istilah Arab, termasuk iman; takid; makrifat; ngalimun; kadirun; basirun; samiyatun; mutakalimun; dan lain sebagainya.

Berdasar uraian di atas dapatlah dijelaskan bahwa di dalam Serat Jatiswara juga diuraikan tentang ajaran-ajaran mistik yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan.

c.  Prosodi Tembang Macapat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun