Mohon tunggu...
de- prast
de- prast Mohon Tunggu... -

smart and simple

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Santri Lelana Brata: Sebuah Identifikasi Serat Jatiswara Sebagai Suluk

17 April 2012   00:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:32 1420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

SANTRI LELANA BRATA: Sebuah Identifikasi Serat Jatiswara Sebagai Suluk

Dhiyan Prastiyono

1. Pengantar

Kata suluk diturunkan dari kata salaka dalam Bahasa Arab, yang berarti, ‘jalan’, kemudian terdapat pula kata sulukun, yang berarti, ‘kehidupan seorang pertapa’ (Hava 1951: 333). Dalam Encyclopaedia of Islam, suluk diartikan sebagai. ‘perjalanan’, yakni suatu batas yang dipakai oleh kaum sufi untuk melukiskan kemajuan mistik menuju jalan mencapai Tuhan (Gibb dan Kraemers 1953: 551-552). Di samping itu suluk juga mempunyai arti, ‘suatu bentuk karya sastra yang berbau kehidupan mistik. Adapun kitab suluk itu berisi penjelasan-penjelasan konsep mistik atau kata-kata kriptik, yakni pesan yang tersembunyi di balik kata-kata itu, sering kali berupa tanya jawab antara guru dengan murid, istri dengan suami, dan sebagainya. Namun, yang jelas karya sastra itu ditulis dalam bentuk tembang macapat (Pigeaud 1967: 85-87). Dalam tradisi kesastraan, teks-teks yang berisi konsep semacam itu dimasukkan dalam genre sastra suluk (Barried 1984: 4; Kasidi 1985: 4-5).

Berdasar pada beberapa pengertian di atas, tulisan ini akan mencoba menerapkan pengertian-pengertian di atas untuk melihat langsung salah satu karya sastra Jawa, yaitu Serat Jatiswara. Dipilihnya Serat Jatiswara sebagai obyek dalam tulisan ini bukanlah tanpa alasan. Dalam buku: Serat Jatiswara: Struktur dan Perubahan di dalam Puisi Jawa 1600-1930, karya Timothy Behrend (1990) dan kemudian diterjemahkan oleh Achadiati Ikram (1995) setebal 695 halaman, tidak dijumpai satu petunjuk yang mengarah pada konsepsi Serat Jatiswara sebagai suluk. Hal itu menjadi rangsangan bagi penulis untuk mencermati Serat Jatiswara secara lebih mendalam. Dalam hal ini memang tidak dapat dilepaskan masalah pemanfaatan penelitian-penelitian terdahulu mengenai Serat Jatiswara, seperti mialnya: Timothy Behrend (1990) dan Sastranaryatmo (1981). Dalam hal ini Serat Jatiswara akan dicoba diidentifikasi mengenai kemungkinan apakah dapat didudukkan sebagai sastra suluk. Pengidentifikasian ini untuk sementara masih didasarkan pada ciri-ciri fisiknya saja, belum akan ditelusuri secara tekstual yang lebih mendalam.

2. Serat Jatiswara

a. Deskripsi Singkat

Behrend menguraikan bahwa setidak-tidaknya terdapat 50 manuskrip Serat Jatiswara dalam koleksi-koleksi yang mudah dijangkau. Sebagian besar manuskrip ditulis dengan aksara Jawa atau Bali, kecuali beberapa transkripsi Latin yang berasal dari abad XX yang dibuat untuk para peneliti modern. Bahan manuskrip yang digunakan adalah lontar, kertas dari kulit kayu dan kertas kain (Behrend 1995: 15). Diungkapkan oleh Behrend pula bahwa semua teks Serat Jatiswara ditulis dengan menggunakan prosodi tembang macapat, yaitu prosodi yang mengatur jumlah larik, suku kata dalam larik, jeda pemutusan, dan jenis vokal  pada akhir masing-masing larik (Behrend 1995: 101).  Lebih lanjut dapat dijelaskan, sebenarnya transkripsi  dan terjemahan yang dikerjakan oleh Sastranaryatmo (1981) dapat dikatakan lebih lengkap secara naratif (dari awal hingga akhir), tetapi karena tidak diketahui teks mana yang dijadikan sebagai dasar transkripsinya, maka karya itu untuk sementara dapat dikesampingkan. Penulis lebih cenderung untuk memilih nukilan teks yang dibuat oleh Behrend, yaitu nukilan teks G (Behrend 1995: 620-647). Nukilan teks yang dikerjakan oleh Behrend adalah sebatas pada episode dua atau yang oleh Behrend disebut dengan episode Ki Saimbang (Behrend 1995: 421-422). Walaupun teks yang digunakan adalah nukilan, tetapi penulis berharap nukilan itu dapat mewakili teks secara keseluruhan. Untuk lebih memperjelas nukilan teks G tentang episode Ki Saimbang, di bawah ini akan diuraikan mengenai sinopsis episode Ki Saimbang.

b. Ringkasan Episode Ki Saimbang dari Serat Jatiswara

Setelah berpamitan dengan istrinya, Jatiswara berjalan ke arah timur melintasi daerah rimba untuk mencari Sujati. Tak lama kemudian ia sampai di sebuah dusun yang dimiliki oleh seseorang bernama Ki Saimbang; ia melepas lelah di patani milik Ki Saimbang. Ki Saimbang mempunyai dua orang putri, yakni Nawangkapti dan Warsita. Adik laki-lakinya, yakni Tegawarna yang tinggal satu pekarangan dengan Ki Saimbang, mempunyai seorang putri bernama Suwastra. Ketiga gadis tersebut hendak pergi mandi, tetapi ketika keluar dari halaman rumah, mereka melihat Jatiswara di patani dan mereka cepat-cepat masuk kembali dengan perasaan malu dan agak terkejut. Setelah berunding, ketiga gadis itu memutuskan untuk keluar bersama-sama dan memberi salam kepada pemuda asing itu. Namun, pada pandangan pertamanya Nawangkapti telah jatuh cinta kepada Jatiswara, dan ia sangat malu melihat ulah kedua saudaranya. Nawangkapti mengajak mereka pulang ke rumah, tetapi ketika sampai di rumah Nawangkapti jatuh pingsan, sehingga seisi rumah menjadi bingung. Setelah mendengar bahwa di luar ada tamu dan mungkin dialah yang dianggap menjadi penyebab pingsannya Nawangkapti, maka Ki Saimbang keluar menyambut Jatiswara seraya mempersilakn naik ke rumahnya. Jatiswara memperkenalkan diri, sementara tuan rumah menyuguhkan sekapur sirih. Di bagian belakang rumah terdengar suara tangis seorang perempuan, yang makin lama makin keras. Pada kesempatan ini, Ki Saimbang mendesak, supaya Jatiswara merawat Nawangkapti. Jatiswara menggunakan sepah sirihnya sebagai obat dengan disertai doa-doa, maka Nawangkapti pun langsung kembali sehat. Sebagai tanda terima kasihnya, Ki Saimbang mengawinkan Nawangkapti dengan Jatiswara.

Pada malam hari Jatiswara mengajarkan kepada tuan rumah tentang hakikat wujud manusia. Wujud manusia adalah majazi, tidak seperti wujud Allah. Tubuh manusia adalah seperti bayang-bayang pada cermin atau cahaya bulan yang membias pada permukaan kaca, tidak ada wujudnya yang hakiki. Percakapan dilanjutkan dengan mengungkapkan batasan sejumlah istilah serta menyebut asal-usul hal-hal seperti: tanah, udara, air, dan sholat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun