Hari ini, 9 Oktober 2014 diperingati sebagai Hari Penglihatan Sedunia (World Sight Day/WSD ). Tema besar WSD yang diangkat oleh WHO melanjutkan tema sebelumnya yaitu “Universal Eye Health” dengan pesan khusus “No more Avoidable Blindness”. Sekitar 80% gangguan penglihatan dan kebutaan di dunia dapat dicegah. Dua penyebab terbanyak adalah gangguan refraksi dan katarak, yang keduanya dapat ditangani dengan hasil yang baik dan cost-effective di berbagai negara termasuk Indonesia.
Sebagai titik awal perencanaan program penanggulangan kebutaan dan gangguan penglihatan yang direkomendasikan oleh WHO melalui Vision 2020 adalah ketersediaan data mengenai keadaan kebutaan dan gangguan penglihatan di suatu wilayah atau negara melalui metoda survei yang dapat diandalkan. Ketersediaan data ini sangat penting agar program penanganan kebutaan dan gangguan penglihatan dirancang berdasarkan permasalahan yang muncul di masyarakat sehingga dapat dilakukan perencanaan program yang efektif dan efisien.
Pada dokumen WHO, WHA 66.4 tahun 2013, Menuju Universal Eye Health 2014-2019, terdapat tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kemajuan kesehatan mata di tingkat nasional di suatu negara,yaitu:
·Prevalensi Kebutaan dan gangguan penglihatan
·Jumlah tenaga kesehatan mata
·Jumlah operasi katarak, yang dapat berupa angka CSR (Cataract Surgical Rate) atau CSC (Cataract Surgical Coverage).
Ketiga indikator ini merupakan target global dan telah ditetapkan pula dalam action plannya bahwa penurunan prevalensi gangguan penglihatan (yang dapat dicegah) mencapai 25% di tahun 2019.
SITUASI GANGGUAN PENGLIHATAN DAN KEBUTAAN DI INDONESIA
Data nasional mengenai besaran masalah gangguan indera penglihatan pernah dikumpulkan melaluiberbagai survei, antara lain Survei Kesehatan Mata, Survei Kesehatan Nasional/Survei Kesehatan Rumah Tangga, Riset Kesehatan Dasar dan Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) .
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007dan 2013 mengumpulkan data mengenai kesehatan indera penglihatan. Dalam Riskesdas 2007 maupun 2013, responden yang diperiksa adalah responden yang berusia 6 tahun ke atas dan memungkinkan untuk diperiksa visusnya. Pemeriksaan dilakukan tanpa atau dengan koreksi optimal. Untuk tahun 2013, responden yang dianalisis berjumlah 924.780 orang. Responden diklasifikasikan menderita severe visual impairment jika tajam penglihatanberkisar antara <6/60 - ≥3/60dan diklasifikasikan menyandang kebutaan jika tajam penglihatan<3/60.
Rapid Assessment of Avoidable Blindness (RAAB) merupakan standar pengumpulan data Kebutaan dan Gangguan Penglihatan yang ditetapkan olehWHO, melalui Global Action Plan (GAP)2014 – 2019. RAAB merupakan survei berbasis populasi untuk penderita kebutaan dan gangguan penglihatan dan layanan perawatan mata pada orang-orang berusia 50 tahun ke atas, mengingat berbagai penelitian didapatkan sekitar 85% kebutaan teradapat pada usia 50 tahun dan lebih. RAAB dapat memberikan prevalensi kebutaan dan gangguan penglihatan, penyebab utamanya, output dan kualitas layanan perawatan mata, hambatan, cakupan bedah katarak dan indikator lain dari layanan perawatan mata di daerah geografis tertentu.
Survei RAAB di Indonesia sampai saat ini telah dilakukan di 3 provinsi yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Untuk dapat benar-benar mewakili Indonesia diperlukan RAAB di beberapa provinsi yaitu: 3 provinsi di Sumatra, 4 provinsi di Jawa, 1 provinsi di Kalimantan, 2 provinsi di Sulawesi,Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur ,Maluku dan Papua.
Prevalensi Kebutaan dan Severe Low Vision
Prevalensi kebutaanpernah dikumpulkan melaluiberbagai survei, antara lain sebagai berikut.
Hasil Survei-SurveiPrevalensi Kebutaan
Survei
Tahun
Prevalensi Kebutaan
Survei Kesehatan Mata
1982
1,2%
Survei Kesehatan Mata
di 8 provinsi
1993-1996
1,5%
Surkesnas/SKRT