Mohon tunggu...
Adi Gunawan
Adi Gunawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Seorang jurnalis, penulis dan blogger. Aktif dalam kegiatan di alam bebas, outbound dan travel agent.

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Kenapa Harus Takut PHK Kalau Nganggur Saja Tetap Bisa Bermanfaat?

20 Februari 2023   13:49 Diperbarui: 20 Februari 2023   13:54 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi korban PHK. Foto: Pexels by Anna Shvets

Sejak pandemi hingga awal Tahun 2023 ini perusahaan raksasa banyak melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, apalagi startup.

Kalau misalkan kita menjadi korban PHK, mengapa harus takut? Bukankah kita semua sudah pernah melalui jalan yang sama? Ya, menganggur.

Mari kita mengingat kembali ketika baru saja menyelesaikan pendidikan. Selepas lulus SMA atau keluar dari universitas sering kali menghadapi berbagai ancaman dalam dunia kerja, pertanyaan yang paling menakutkan dan menusuk dada yaitu,"sekarang kerja di mana?"

Sebenarnya, menjadi pengangguran itu adalah profesi yang mulia lho. Kalau dipikir-pikir, ternyata tetap bisa bermanfaat banyak kok. Bahkan, menurut saya pengangguran juga perlu bakat dan mungkin menjadi salah satu profesi yang mulia.

Ada beberapa alasan yang menjadikan profesi pengangguran sebagai salah satu pekerjaan yang mulia, yaitu dari segi agama, lingkungan, serta sosial dan budaya.

Pertama, dari segi agama. Hakekatnya agama adalah kemampuan dalam diri manusia untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Berdasarkan aspek keagamaan ini, orang tua yang susah payah mencari nafkah untuk membesarkan anaknya akan merasa dihargai ketika anak tersebut menganggur setelah dewasa.

Loh kok... Bingung ya? Begini. Saat orang tua susah payah membanting tulang mencari nafkah, mengapa anak justru mencari uang sendiri?

Bukankah sama halnya seorang Ibu yang sudah memasak di pagi hari namun anaknya justru memasak instan. Mubazir, kan?

Kedua, dari segi lingkungan. Menjadi pengangguran juga dapat berdampak positif terhadap lingkungan dan negara.

Sebagai contoh, kita sebagai pengangguran dapat dijadikan objek perbandingan dengan anak tetangga, dan ini dapat membangun kerukunan bertetangga yang leih baik.

"Lihat tuh, sih anu kerja kantoran, gajinya jelas. Kamu ngapain setiap hari nulis terus, tetapi nggak menghasilkan."

Mirip ucapan seseorang, ya? Hahaha.

Padahal, pengangguran juga dapat berpartisipasi banyak hal lho, mulai dari gotong-royong, menghadiri undangan RT sampai jadi panitia hajat pernikahan.

Lanjut ketiga, dari segi sosial dan budaya, kehidupan manusia memang tidak lepas dari aspek sosial dan budaya. Pengangguran dapat menjadi bagian dari kultur negara karena berhubungan erat dengan tradisi.

Sudah jadi rahasia umum, melamar pekerjaan itu memang sulit. Apalagi rival sesama pelamar punya bekingan "orang dalam". Tradisi ini yang mungkin membuat banyaknya angka pengangguran di Indonesia.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia per Agustus 2022 sebesar 5,86% atau 8,42 juta orang. Angka itu justru lebih besar dari subscriber Youtube Presiden Joko Widodo yang hanya 3,16 juta.

Tetapi mau bagaimana jika masuk perguruan tinggi saja harus memberi uang setoran ke rektor. Kasus dugaan suap mantan Rektor Universitas Lampung memang bukan berita baru sih, namun bukankah ini menjadi cerminan tradisi yang menyesatkan?

Terlepas dari gurauan di atas, sepertinya saya harus membuat pernyatan bahwa,"Saya pengangguran dan saya bangga."

Karena begini, profesi pengangguran sebenarnya memiliki keunikan tersendiri yang memerlukan skill dan kemampuan tertentu.

Dalam beberapa kasus, pengangguran juga dapat menjadi profesi yang dibutuhkan skill dan kemampuan, seperti harus bangun pagi, cakap membersihkan rumah, dan terlatih melakukan kegiatan pertukangan.

Oleh karena itu, menjadi pengangguran sebenarnya membutuhkan bakat dan keahlian yang tidak boleh diremehkan.

Saya memang bukan korban PHK, tetapi saya turut prihatin dan ingin menyemangati. Kalau proses hidup di atas sudah dilewati kenapa harus takut untuk kembali?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun