Manusia tidak akan pernah lepas dari belajar. Setiap yang kita lakukan di dunia, merupakan sebuah proses belajar dalam kehidupan. Tanpa disadari, bicara pun itu merupakan bagian belajar, begitupun dengan menulis, dan membaca. Lebih luas dari itu, untuk menggapai asa dalam hidup, dilalui dengan belajar. Yaitu melalui pendidikan. Namun, dalam proses belajar kadang membuat sakit dan sesak, biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Memerlukan biaya yang sangat mahal, untuk sekadar mengenyam pendidikan. Padahal, sudah jelas, termaktub dalam Pasal 31 UUD 1945 ayat 1 berbunyi, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan". Namun, dalam pelaksanaannya, masih banyak yang belum merasakan duduk di bangku sekolah. Mengapa itu bisa terjadi? Mari kita bahas dimulai dari definisi pendidikan terlebih dahulu, agar tidak salah kaprah dalam upaya membedahnya.
Berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dengan kata lain, pendidikan merupakan sebuah usaha sistematis untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh seluruh manusia. Ingat, seluruh manusia, tanpa terkecuali. Namun, apakah itu sudah terlaksana di bumi Pertiwi ini? Atau hanya sekadar definisi belaka, yang menjadi tameng untuk melindungi bobroknya perjalanan pendidikan negeri ini? Tentu ini memerlukan sebuah diskusi panjang, yang benar-benar harus dilakukan secara kritis. Dengan bebas, tanpa intervensi pihak manapun.
Pendidikan benar-benar aspek yang penting dalam kehidupan, karena untuk membangun negara yang kuat diperlukan rakyat yang berpendidikan. Jika tidak, bagaimana negara ini akan membangun negaranya? Jika sumber dayanya rendah. Terlebih lagi, di era dewasa ini, persaingan dan kompetisi bukan hanya internal negara saja, melainkan secara global. Rakyat Indonesia bukan hanya bersaing dengan tetangganya, atau rakyat Indonesia lainnya, melainkan harus mampu bersaing secara global.Â
Begitu pun negaranya. Harus mampu bersaing dengan negara lainnya. Tentu bisa dibayangkan, jika pendidikan rendah, bagaimana negara dan rakyat Indonesia ini bisa bersaing? Untuk itu sangat dibutuhkan peningkatan kualitas sumber daya manusia, salah satunya melalui bidang pendidikan. Dengan meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan di suatu negara, maka hal tersebut juga akan meningkatkan intelektual dan kualitas warga negaranya sehingga dapat bersaing di dunia internasional.Â
Lantas, apa yang harus dilakukan? Dalam menyikapi hal demikian, peran pemerintah secara signifikan diperlukan. Pemerintah harus mampu meningkatkan kualitas pendidikan di bumi Pertiwi ini. Memang tidak mudah, namun itu harus dilakukan. Jika, tujuan negara ini mencerdaskan Rakyatnya, mengembangkan negaranya. Maka, meningkatkan kualitas pendidikan adalah harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Kualitas pendidikan negeri ini harus dibenahi, dari hal yang sangat mendasar, yaitu membuat pendidikan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali. Artinya, pendidikan harus merata didapatkan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Kesetaraan itu diwujudkan melalui terpenuhinya seluruh hak warga negara dalam mengenyam pendidikan, tanpa terkecuali. Hal tersebut seiring dengan amanah konstitusi yang tertuang dalam UUD NKRI Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) dan (2). Dan juga dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM Pasal (12) "Setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia, dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia."Â
Sudah jelas disebutkan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, akan tetapi hal ini masih kontradiktif dengan kenyataan yang ada. Bnayak fakta bahwa rakyat masih berjuang untuk hak anak memperoleh pendidikan, kondisi ini terlihat seperti zaman penjajahan dahulu. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya, anak-anak yang tidak mengenyam pendidikan yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang menghasilkan kesenjangan, baik secara ekonomi maupun akademis yang menyebabkan anak-anak tidak terpenuhi haknya.
Kebijakan yang dibuat pemerintah menyebabkan satu permasalahan besar masuk ke dalam dunia pendidikan yaitu liberalisasi pendidikan. Liberalisasi pendidikan menyebabkan pendidikan ini memiliki kemampuan untuk bergerak sesuai apa yang dikehendakinya,sekilas liberalisasi pendidikan ini membuat bidang pendidikan ini telah mencapai kebebasan untuk mencapai tujuannya. Namun kebebasan yang didapat adalah kebebasan semu. Rakyat tidak seluruhnya bebas dalam mengenyam pendidikan. Melainkan, pendidikan lebih menguntungkan orang-orang yang bermain didalamnya. Komersialisasi pendidikan memanglah bukan masalah baru di Indoensia, akan tetapi yang menjadi hal aneh adalah kenapa masih hidup hingga sekarang, apakah pemerintah sudah tidak bisa menjalankan fungsinya? Atau pendidikan kini di berikan untuk masyarakat berada?
Kita bisa melihat sekarang contoh atau akibat dari komersialisasi pendidikan, sebuah fenomena komersialisasi pendidikan ialah dalam Perguruan Tinggi. Dalam Perguruan Tinggi, mematok harga pendidikan yang cukup mahal. Bahkan, dikampus negeri sekalipun. Biaya pendidikan, ada yang menginjak sekitar jutaan, puluhan, hingga ratusan juta. Tentu, ini sangat menakutkan. Rakyat harus membayar sangat mahal untuk mengenyam pendidikan. Mengapa ini terjadi? Apakah ini amanat konstitusi?Â
Secara jelas dan tegas, ini merupakan hal yang mencederai konstitusi yang ada. Karena dengan mahalnya biaya pendidikan, tentu akan menyebabkan rakyat kesulitan untuk mendapatkan pendidikan. Hasilnya, pendidikan tidak merata. Padahal sudah sangat jelas dan tegas bahwa, pendidikan untuk semua rakyat. Namun, berbanding terbalik dengan pelaksanaannya. Itu secuil kasus komersialisasi pendidikan. Di jenjang SD/SMP/SMA pun seringkali terjadi komersialisasi pendidikan. Memang, tidak semua. Namun, tentu hal yang sedikit itu pun merusak konstitusi. Bahkan, jika kita bersekolah, ditempat atau disekolah yang murah, kualitas sekolah itu seringkali rendah. Mulai dari sarana dan prasarana yang tidak memadai, kualitas tenaga pengajar yang belum merata profesional, akses jalan yang sulit, dan tentunya bukan sekolah yang favorit. Ini ironi yang terjadi di negeri ini. Tidak bisa kita elak, ini merupakan fakta yang harus diterima.
Di era dewasa ini, ternyata hal tersebut terjadi semakin masif, banyak dari Perguruan Tinggi yang dihuni oleh anak-anak dari kalangan elite, dan sangat sedikit dari kalangan menengah dan bawah. Perguruan Tinggi yang besar di Indonesia, kini berlomba-lomba mematok harga yang sangat tinggi, sehingga banyak dari calon mahasiswa kelimpungan dan mengubur mimpinya. Walaupun memang, untuk kelas bawah terdapat bantuan pendidikan, namun hal tersebut belum terjadi secara merata dan kadang tidak tepat sasaran. Kemudian, yang sangat memprihatinkan yaitu untuk masyarakat kelas menengah, mereka dihadapkan pada dua kondisi yang sangat membingungkan. Membayar pendidikan yang mahal mereka tidak bisa, mendapat beasiswa tidak masuk kriteria. Hal ini merupakan bukti konkret dari komersialisasi pendidikan di Indonesia.
Inilah masalah pendidikan yang nyata di Indonesia, sampai detik ini masih menjadi problematika yang belum menemukan kata usai. Pendidikan seharusnya mampu diterima oleh seluruh rakyat, namun karena diliberalisasi dan dikomersialisasikan, pendidikan hanya diterima oleh sebagian masyarakat saja. Seharusnya pendidikan ini mampu dinikmati dan memihak kepada kepentingan rakyat khususnya masyarakat menengah kebawah agar mereka bisa meningkatkan diri, berkembang untuk mendapatkan kehidupan yang semakin baik.
Komersialisasi pendidikan dapat diatasi dengan berbagai cara. Salah satunya adalah pembuatan regulasi yang jelas, ketat, dan mengikat. Sehingga sekolah dan Perguruan Tinggi tidak terlalu mendapatkan kebebasan, terutama dalam proses peningkatan biaya pendidikan. Jika ada aturan yang tegas, maka pelaku epndidikan mempunyai rem dalam mengaplikasikan kebebasannya, mereka tidak bisa berlaku sewenang-wenang di dunia pendidikan, sehingga praktik komersialisasi yang di latarbelakangi liberalisasi dapat diatasi dengan perlahan.Â
Peraturan atau kebijakan yang dibuat tentunya tidak boleh kontradiktif dengan amanah pasal UUD 1945 yang mengatur bahwa pendidikan adalah milik setiap warga negara, peraturan yang dibuat harus menunjang dan mendukung kebebasan dalam meperoleh pendidikan warga negara. Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan adalah meningkatkan APBN untuk pendidikan, agar bantuan beasiswa tercipta dengan merata dan dapat dirasakan oleh masyarakat kelas bawah dan menengah.Â
Dalam penentuan APBN ini pun harus ada transparansi dari pihak terkaut, agar antara rencana dan fakta berjalan beriringan. Oleh karena itulah, kebijakan harus benar-benar jelas, tegas dan memiliki intervensi bagi pelaku terkait agar menghindari liberalisai pendidikan serta untuk menekan sekolah maupun Perguruan Tinggi, sehingga tidak terlalu mendapatkan kebebasan dan keleluasaan dalam membuat kebijakan sendiri.
Karena pada hakikatnya pendidikan adalah hak setiap warga negara, jadi kemudahan untuk mendapatkan pendidikan harus didukung oleh regulasi yang jelas dan mengikat, serta tidak kontradiktif dengan tujuan negara Indonesia. Kemudian praktik komersialisasi harus segera diatasi, karena jika tidak akan membahayakan kondisi pendidikan di Indonesia. Tingkatkan pelayanan beasiswa, ciptakan tranparansi anggaran dan lakukan dengan penuh keseriusan dan pertanggung jawaban, sehingga pendidikan Indonesia semakin berkualitas dan warga negara bisa menikmatinya dengan bebas sesuai aturan dan regulasi yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H