Mohon tunggu...
Dicky Saputra
Dicky Saputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Sosiologi FIS UNJ

Mahasiswa yang mencoba untuk menebarkan kebermanfaatan. Ditengah era degradasi moral yang terjadi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Wacana Penundaan Pemilu: Ambisi Penguasa atau Kepentingan Rakyat?

18 Maret 2022   10:17 Diperbarui: 18 Maret 2022   10:29 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana penundaan Pemilu bermula dari pernyataan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia. Beliau menyatakan bahwa ada banyak sejumlah pengusaha yang meminta Pemilu 2024 di undur. Namun, pernyataan itu tentu terbantahkan, ketika pemerintah, DPR, dan KPU telah menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan tanggal 14 Februari 2024. Wacana penundaan Pemilu kembali mencuat, setelah Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menyatakan bahwa Pemilu 2024 lebih baik diundur untuk kepentingan bersama. Pernyataan ini di dukung oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional dan Partai Golongan Karya.

Pernyataan itu memunculkan polemik di tengah masyarakat. Ini merupakan sebuah wacana yang serius. Karena, di dalamnya mengandung masa depan rakyat itu sendiri. Apakah wacana ini wujud Kepentingan rakyat, atau ambisi penguasa?

Penundaan Pemilu ini merupakan sebuah wujud pelanggaran terhadap konstitusi yang ada. Sehingga tidak elok jika dipaksakan terus diwujudkan. Penundaan Pemilu ini harus sesuai dengan kepentingan bersama, Kepentingan rakyat tentunya. Luhut Binsar mengatakan bahwa ada banyak rakyat yang meminta Pemilu ini ditunda, ia mengatakan memiliki big data rakyat yang meminta Pemilu ditunda. Luhut mengklaim big data berupa 110 juta percakapan di media sosial mendukung usulan penundaan pemilu yang disampaikan Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin pada akhir Februari lalu. Namun, setelah di usut lebih lanjut, jubirnya pun mengatakan bahwa tidak bisa mengungkapkan big data itu ke publik, karena bukan otoritasnya.

Lantas berasal dari mana big data itu? Usut punya usut big data itu berasal dari perbincangan masyarakat di sosial media yang dihimpun menjadi satu kesatuan yang menyatakan bahwa memilih Pemilu ditunda.

Data yang tidak bisa dipercaya secara absolut ini, bisa-bisanya dijadikan dasar sebagai wacana untuk penundaan Pemilu. Tidak masuk akal memang, padahal soal big data itu pun tidak ada dalam konstitusi untuk melaksanakan penundaan Pemilu. Walaupun memang, di negara demokrasi ini bebas mengeluarkan pendapat, tetapi menurut hemat penulis, di tengah situasi seperti ini mengeluarkan statement yang kurang menyehatkan dalam dunia politik, malah akan semakin memperkeruh suasana, menimbulkan kontroversi dalam rakyat, ujung-ujungnya rakyat terbelah, ada yang mendukung, ada yang tidak. Polemik akan terus bergulir. Ketika sedang tenang, fokus menghadapi pandemi, tiba-tiba wacana ini muncul, tentu akan memperkeruh suasana tadi.

Lantas, apakah anda salah satu yang mendukung penundaan Pemilu? Ini menjadi pertanyaan dasar dalam polemik wacana ini, penulis berada dalam posisi menentang menunda Pemilu ini. Pemilu lebih baik terus dilaksanakan sesuai dengan konstitusi. Karena menurut hemat penulis, penundaan Pemilu ini lebih menjadi ambisi penguasa, entah siapa dalang sesungguhnya. Tetapi, Pemilu hanya akan menguntungkan penguasa. Ia bisa melanggengkan kekuasaannya kembali, tentu akan terlintas pertanyaan.

Ada apa sebenarnya dibalik penundaan Pemilu ini? Sehingga penulis pun mengeluarkan hipotesis bahwa penundaan Pemilu ini untuk menutupi boroknya orang-orang pemerintahan, yang telah gagal melakukan pekerjaannya. Perpanjangan masa jabatan dengan dalih penundaan Pemilu ini tentu akan menjadi waktu untuk mencoba memperbaiki kegagalan dalam melaksanakan jabatan. Kemudian, partai politik yang mendukung penundaan Pemilu ditengarai sedang berada dalam fase kehilangan basis pendukungnya. Sehingga, dengan Pemilu ditunda, ada kemungkinan partai politik tersebut mendapatkan kembali basis pendukungnya.

Tentu, hal-hal tersebut melanggar konstitusi. Pemilu harus terus dilakukan, karena jika ditunda akan menyebabkan polemik terjadi dan yang paling parah adalah tidak menghargai konstitusi yang ada. Kepentingan rakyat yang mana, yang dibicarakan dalam penundaan Pemilu? Penulis rasa, alasan kepentingan rakyat, alasan klasik. Eloknya dibuktikan dengan data yang konkret, bukan Cuma membual, atau hanya sekadar mengeluarkan statement. Pembuktian data lebih ditunggu, dibandingkan dengan statement yang meracau. Wacana penundaan Pemilu ini pun menjadi polemik di lingkaran istana sendiri. PDIP pun menolak Pemilu ini ditunda. PDIP pun menyayangkan statement dari Menko Maritim Luhut Binsar. Tidak boleh ada menteri yang punya pendapat yang berbeda. Presiden sudah berulang kali mengatakan sikapnya secara tegas dan pemerintah sudah sepakat pemilu tanggal 14 Februari 2024. Lalu, kenapa ada pembantu presiden yang membuat wacana yang tidak menyehatkan di dalam situasi politik nasional?" kata Hasto melalui keterangan tertulis, Senin (14/3).

PDIP sangat menyayangkan wacana demikian, dan Menko Maritim pun keluar dari ranahnya. Urusan Pemilu bukan urusannya, ada dalam ranah Menteri yang lain. Bukan hanya PDIP, ternyata penolakan penundaan Pemilu pun dilakukan oleh Gerindra, Demokrat, NasDem, dan PKS. Alasannya senada, penundaan Pemilu akan mencederai demokrasi.

Lantas, kenapa kita harus menolak Pemilu? Pertama, penundaan Pemilu akan merusak demokrasi. Karena, dalam demokrasi diperlukan sebuah sirkulasi pergantian kekuasaan yang rutin, untuk tetap membuat kondisi demokrasi itu sehat. Jika Pemilu ditunda, tentu akan merusak tatanan demokrasi, demokrasi akan tidak seimbang, dan demokrasi akan rusak. Selanjutnya, penundaan Pemilu ini pun harus melalui jalan demokrasi, yaitu dengan melakukan amandemen UUD. Akan tetapi, itu tentu melanggar konstitusi. Dalam konstitusi sudah menuliskan secara gamblang mengenai rutinitas pemilu dalam UUD Pasal 22E.

Dalam pasal itu, disebutkan bahwa pemilu presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPD, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota dilaksanakan lima tahun sekali. Bivitri Ahli hukum menyampaikan dalam penundaan Pemilu, harus ada amandemen yang sifatnya politis, misalnya melalui KPU. Tapi, apa pun jalannya, ini sebenarnya inkonstitusional," ujarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun