Mohon tunggu...
Deskarmela CitraAmanda
Deskarmela CitraAmanda Mohon Tunggu... Foto/Videografer - International Relation'17

Never stop learning Because life never stop teaching

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Penerapan Smart Power, Studi Kasus: Konflik Indonesia-Malaysia Atas Perairan Ambalat

1 April 2021   15:20 Diperbarui: 1 April 2021   15:28 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN

Pulau Ambalat merupakan salah satu pulau di Indonesia yang terletak di sebelah timur pulau Kalimantan. Di pulau Sebatik terletak kawasan atau blok yang menjadi konflik antara dua negara tetangga yaitu Malaysia dan Indonesia. Blok Ambalat merupakan kawasan yang kaya akan kandungan mineral. Kandungan minyak di dalamnya diperkirakan mencapai 421,61 juta gas alam dan barel sekit 3,3 juta kaki kubik. 

Melihat kondisi alam Ambalat, tentunya setiap negara menginginkan agar wilayahnya menjadi bagian dari negaranya. Masing-masing negara mengklaim Ambalat dengan saling memblokir dengan berbagai dalil, bahwa Ambalat adalah bagian dari negaranya. Hingga TNI-AL dari kedua negara tersebut seolah hanya terlihat tenang menjaga wilayahnya.

Kasus Ambalat diawali dengan perjanjian kerjasama antara eksplorasi minyak bumi Petronas Malaysia dengan Royal Dutch Shell yang mana produksinya dimulai pada tahun 2005. Perlu diketahui bahwa sudah ada beberapa perusahaan minyak di Ambalat juga yang melakukan perjanjian eksplorasi dengan Indonesia, seperti perusahaan Eunocal dari Italia meskipun di blok yang berbeda di Ambalat. Kesepakatan antara Petronas dan Shell ini tentunya menjadi pertanyaan besar, mengapa harus ada perjanjian kerjasama pihak Shell dengan Malaysia (Arofah, 2011). 

Namun perusahaan yang telah melakukan ekplorasi di Ambalat melakukan kerjasama di wilayah tersebut dengan mengadakan perjanjian kerjasama dengan Indonesia. Apakah kasus tersebut terdapat unsur kesengajaan dari Shell sebagai strategi untuk merebut wilayah ekplorasi Ambalat dengan cara mengadu domba kedua negara. Blok Ambalat memiliki kekayaan alam melimpah yang diperebutkan oleh perusahaan eksplorasi minyak dunia. Langkah Shell untuk dapat melakukan eksplorasi di Ambalat merupakan tindakan tidak etis dalam berbisnis.

Indonesia dan Malaysia sebelumnya tidak pernah berkonflik mengenai kepemilikan pulau Sipadan dan Ligitan (Kesepakatan Soeharto -- Mahatir Bawa Sipadan-Ligitan ke Mahkamah Internasional), yang akhirnya dimenangkan oleh Malaysia melalui Mahkamah Internasional. Strategi yang dilakukan oleh Shell dalam kalkulasi bisnis memang menguntungkan (Kusumaatmadja, 1983). Dengan melalui langkah ini pihak Shell bisa memperoleh wilayah eksplorasi baru yang menguntungkan dan bisa menyingkirkan pesaingnya seperti Eunocal, jika pihak Malaysia memperoleh hak kepemilikan atas Blok Ambalat. 

Untuk menjelaskan pandangan utama dalam jurnal ini, maka jurnal ini akan membahas terlebih dahulu beberapa masalah dengan masyarakat tentang studi hubungan Indonesia-Malaysia, serta menjelaskan bagaimana konflik tersebut terjadi hingga penyelesaian konflik antar dua negara. Jurnal ini menggunakan metode kualitatif dalam pengumpulan datanya, serta penulisan ini didasarkan pada pandangan dalam tiga teori yang dianut oleh Joseph Nye, yang terdiri dari soft power, hard power, dan smart power untuk penyelesaian dan implementasi pada saat terjadi konflik. (Dahl, 1957)

TINJAUAN LITERATUR

Menurut Joseph Nye, Soft power adalah kemampuan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan melalui ketertarikan dari paksaan atau pembayaran. Pendekatan soft power lebih berkarakter inspirasional yaitu kekuatan menarik orang lain dengan kekuatan kecerdasan emosional seperti membangun hubungan atau ikatan yang erat melalui karisma, komunikasi yang persuasif sehingga membuat orang lain terpengaruh. Soft power dianggap sebagai tindakan kooperatif dimana pola ini mempengaruhi pihak lain dengan daya tarik yang efektif yaitu melalui ragam nilau atau kepercayaan, budaya, dan nilai politik serta politik luar negeri.

Dalam ilmu Hubungan Internasional kekuatan atau power adalah elemen utama. Hard power merupakan bentuk langsung dari pendayagunaan kekuatan, baik dengan pola pendekatan coercive (memaksa) maupun reward (pemberian hadiah) (Nye J. , 2004). Pada prinsipnya hard power memiliki karakter yang transaksional dan perpaduan antara kemampuan organisatoris (manajemen kekuatan dan informasi) serta Machiavelis (kemampuan untuk mengancam serta membangun koalisi kemenangan).

Smart Power merupakan perpaduan antara soft power dan hard power, sehingga kombinasi dari adanya permasalahan yang kompleks dapat diatasi dan proses pencapaian kepentingan nasional menjadi lebih efektif. Istilah smart power diartikan oleh Joseph Nye dalam bukunya berjudul "The Powers to Lead" dimana di dalam buku itu beliau mencoba embrio sebuah kohesifitas antara hard power dan soft power, bentuk sintesa dari power itu kini menjadi trend didalam perilaku negara. Penerapan strategi smart power perlu disesuaikan dengan minat dan tujuan yang dicapai atau masalah yang ingin diselesaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun