Latar Pemikiran
Don’t judge a book by its cover. Adagium tersebut barangkli sudah sekian kali mampir di telinga kita, dan sebanyak itu pula kita mengabaikannya. Apa yang tertulis tak bukan adalah suatu peringatan bahwa kita jangan menilai sesuatu hanya dari tampilan luarnya saja, namun selamilah kedalaman maknanya. Begitupun ketika kita melihat seorang perempuan maka dengan cepat kita langsung menyimpulkan kepribadian orang tersebut tanpa bersusah payah menyelami kediriannya.
Salah satu cara berpakaian yang bertalian dengan spirit agama dan sering menjadi pusat perhatian adalah jilbab. Jilbab adalah pakaian yang wajib hukumnya secara syariat dikenakan oleh muslimah. Agamalah yang mewajibkan mereka harus mengenakan jilbab,[2] jika ada seseorang yang tidak mau mengenakan hijab maka dianggapnya menyimpang. Dalam persoalan tersebut, apakah beriman (menjadi sholehah) hanya terkategorisasi melalui cara seseorang perempuan berpakaian. Karena ada yang menyatakan bahwa berhijab atau jilbab itu wajib hukumnya bagi kau muslimah. Sebab berangkat dari titik ini terjadi bias antara yang iman dengan yang tidak di dasarkan pada aspek lahiriyah (fashion).
Cara seseorang memakai suatu atribut pakaian, maka ia akan dikaitkan dengan identitas tertentu. Peristiwa seseorang memakai atribut merupakan satu proses yang membentuk sebagai seseorang melalui atribut tersebut. Anti esensialis menyatakan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang punya keberadaan atau eksis; identitas tidak mempunyai kualitas esensial atau universal. Identitas lebih merupakan kontruksi diskursif, produk wacana-wacana, atau cara-cara tertentu dalam berbicara (regulated ways of speaking) tentang dunia.[3] maka, identitas diciptakan dan bukan ditemukan, dan terkonstruk dari representasi-representasi, terutama bahasa atau dalam bahasa Peter L. Berger mengistilahkan dengan konstruksi sosial atas realitas.[4]
Melalui komoditas realitas dikonstruksi, kapitalisme dengan segala dayanya menciptakan imajinasi tentang yang-iman melalui produksi komoditas-komoditasnya, karena penciptaan adalah inti dari ideologi kapitalisme. Jadi masalah ke-imanan bagi seorang muslimah telah dikerangkakan dalam term busana muslimah melalui tagline sudahkah berhijab dengan benar?
Istilah Jilbab
Istilah hijab berasal dari kata ha-ja-ba, yang diterjemahkan sebagai “menyelubungi, memisahkan, menabiri, menyembunyikan, menutupi.” Hijab diartikan sebagai “penutup, selubung, tirai, tabir, pemisah”.[5] Hanya saja pergeseran makna hijab dari semula berarti tabir, berubah makna menjadi pakaian penutup aurat perempuan semenjak abad ke-4 H, dengan berbagai istilah. Istilah jilbab, dalam arti penutup kepala hanya dikenal di Indonesia.
Dalam KBBI, Secara terminologi, jilbab dimaknai sebagai kerudung lebar yang digunakan perempuan muslimah untuk menutupi kepala dan leher hingga dada.[6] kerudung umumnya masih menampakan sebagian rambut dan leher perempuan yang memakainya, sedangkan jilbab menutup bagian kepala dan leher hingga tak terlihat lagi. Jika dilihat dari keberadaannya di Indonesia, jilbab semula lebih dikenal sebagai kerudung, tetapi di awal tahun 1980-an kemudian lebih populer dengan jilbab.[7]
El Guidi mengemukakan bahwa: “Ketika rujukannya pada pakaian perempuan, maka yang lebih tepat adalah kombinasi kesucian, pengendalian diri (dalam hal pakaian dan tingkah laku), dan privasi.”[8] Hak Konsep privasi yang dikemukakan oleh El Guidi berkaitan dengan hak istimewa pengeksklusifan bagi perempuan, yang kemudian direfleksikan melalui pakaian. Untuk menutupi bagian tubuh perempuan yang vital.
Muasal Jilbab
Dalam rentang sejarahnya, praktik ber-jilbab telah ada sebelum Islam. Jilbab, sebagai pakaian yang menutupi bagian dari kepala atau wajah, pertama kali dipakai lebih dari 5000 tahun yang lalu. Misalnya, pada abad ke-13 SM, raja-raja Assyria “telah memperkenalkan seklusi perempuan dalam harem kerajaan dan jilbab.” Di negeri Persia sebelum Islam, ada satu bukti tertulis tentang perempuan yang ber-jilbab (khususnya mereka yang menikah dengan orang-orang kaya). Menurut Stern, seperti dikutip El Guindi,[9] perempuan-perempuan Yunani dan Romawi juga memakai hijâb ketika keluar dan muncul di hadapan publik dengan menutupi kepala dan wajahnya. Namun, katanya, praktik jilbab di Semenanjung Arabia tampaknya tidak berhubungan dengan seklusi perempuan.
Dalam agama Yahudi dan Kristen, jilbab pernah dihubungkan dengan kesederhana-an dan kesopanan (definisi tentang kedua hal ini berubah sepanjang waktu). Ketika agama Kristen lahir, perempuan Yahudi menutup kepala dan wajahnya. Bukti biblikal ini, seperti dikutip El Guindi,[10] ada dalam Kitab Kejadian (Genesis) 24: 65, “Dan Rebekah mengangkat pandangannya, dan sewaktu ia melihat Ishaq …ia mengambil kerudung kepala dan menutupi dirinya.” Begitupula, dalam Corinthians II: 3-7 terdapat satu bukti bahwa, “Perempuan yang berdoa dengan kepala tidak tertutup, mencemarkan kepalanya—seakan-akan kepalanya gundul. Karena jika perempuan tidak mau menutup kepalanya, dia harus memangkas rambutnya, tetapi jika gundul memalukan bagi perempuan, hendaknya ia berkerudung. Laki-laki tidak perlu menutup kepala karena ia adalah cermin dan kemuliaan Tuhan. Sedangkan perempuan adalah kemuliaan laki-laki.” Menurut El Guindi,[11] sepanjang yang dikenal hingga saat ini, Islam tidak menemukan dan memperkenalkan praktik jilbab dalam makna seklusi dan segregasi. Praktik jilbab buat laki-laki dan perempuan telah ada sebelum Islam, seperti yang dijelaskan sebelumnya, dalam budaya-budaya Helenis (Yunani), Yahudi, Bizantium, dan Balkan. Entah itu melalui pengadopsian, penemuan kembali, atau penemuan yang independen, praktik jilbab dalam sistem-sistem sosial Arab mengembangkan satu fungsi dan makna khas yang beda daripada di wilayah Mediterania.
Islam memperkenalkan pemakaian hijâb dan jilbâb sebelum tahun 5 hijrah, yaitu ketika diturunkannya surat al-Ahzab ayat 53 di kota Madinah. Namun tidak ada bukti dan riwayat yang menyebutkan pemakaian niqâb(cadar) bagi perempuan. Pada masa-masa khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, aturan tentang berpakaian sama informalnya seperti 22 tahun sebelumnya. Dan ketika Islam menyebar melampaui wilayah kelahirannya, terutama pada masa Umayyah dan Abbasiyah (periode hampir selama 600 tahun), hanya sebagian kelas perkotaan yang memilih ber-hijâb, sekulusi atau keduanya, sebagian besar sebagai simbol status yang menggambarkan bahwa perempuan dari keluarga itu tidak perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pada masa awal dinasti Safawiyah (1500-an), praktik hijâb dianjurkan sebagai sebuah kebiasaan, sedangkan pada masa-masa akhir Safawiyah (1600-an) ia tidak begitu dianjurkan.[12]
Kontruksi Sosial
Jilbab adalah fenomena yang unik. Senantiasa bergeser dari zaman-kezaman sesuai dengan kehendak sipemakainya. Penafsirannya tidak melulu bersifat ideologi-agama, Atau sebagai alat kepatuhan pada ajaran agama. Tatkala jilbab diinterpretasi sedemikian rupa, maka ia akan mengalami kodifikasi. Sebagaimana yang di tunjukan dalam masyarakat modern, manusia dituntun untuk menunjukan dirinya (performer). Suatu gaya berpakaian (fashion) yang mempertunjukan identitas kedirian sipemakai.
Dunia dikonstruksi dan disajikan secara sosial oleh diri kita baik secara individual maupun komunal. Jilbab sebagai simbol sakralitas agama, pada realitasnya dimaknai ulang dan direpresentasi oleh subjeknya. Ia menjadi bermakna jika hadir dihadapan yang lain. Suatu subjek atau seseorang bukanlah entitas universal, melainkan efek dari bahasa yang mengkontruksi dari suatu ‘aku’ dalam tata bahasa. Subjek yang berbicara tentang performnya dalam ber-hijab dengan tidak meninggalkan aspek syariah, dan masih dalam kategori ber-iman.
Melalui jilbablah seseorang bisa mempertontonkan status sosial, ekonomi, budaya, ideologinya apakah sebagai ibu rumah tangga, wanita karier, santri, atau sekedar perempuan biasa. Pada akhirnya jilbab hanyalah alat Demonstrasi kebudayaan. Seperti yang di ungkapkan oleh Piere Bourdieu sebagai habitus. Habitus adalah penanaman seperangkat disposisi dalam manusia yang menghasilkan praktik-praktik tertentu. Artinya, kebudayaan menjadi seperangkat nilai yang diinternalisasikan dalam diri sedemikian rupa sehingga menjadi taksadar. Menurut Bourdieu sebagai ketaksadaran kebudayaan (cultural unconscious)[13]. Sipemakai jilbab melupakan makna yang dikandung dalam pakaiannya, ia lebih cendrung kepada tren berpakaian modis yang penting masih sesuai dengan aspek syariah.
Komodifikasi Jilbab
Melalui media massa, kapitalisme menyebarkan pemahaman kepada masyarakat bahwa dengan berjilbab pun seseorang masih bisa bergaya dan tidak keluar dari batas hukum agama. Melalui iklan “sudahkah berhijab dengan benar?” maka di tampilkanlah seorang Model dengan berpakaian lengkap dengan aksesorisnya sebagai mana artis yang glamour. Memakai kacamata hitam meskipun cuaca mendung, memperlihatkan lekuk tubuh, memakai aksesoris lengkap, dan hobinya shoping. Dalam ilustrasi tersebut memperlihatkan gaya hidup mewah atau boros.
Menurut Marx, komoditas terjadi dari adanya jangkauan kebutuhan yang luas, baik fisik maupun cultural dan penggunaannya dapat dijabarkan melalui berbagai cara komoditas bisa muncul dari berbagai macam kebutuhan sosial tersebut termasuk di dalamnya kepuasan jasmani sampai pemenuhan status dalam masyarkat. Jadi, nilai pakai tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan untuk bertahan hidup, tetapi lebih meluas sampai kepenggunaan yang di dasarkan pada kebutuhan sosial.[14]
Sehingga komodifikasi mengacu pada proses mengubah nilai pakai menjadi nilai tukar dan beragam cara bagaimana proses ini kemudian diperluas kedalam bidang sosial dari produk komunikasi, audien, dan tenaga kerja yang selama ini mendapat sedikit perhatian. Proses komodifikasi ini menggambarkan cara kapitalisme membawa modalnya melalui perubahan nilai pakai menjadi nilai tukar.[15]
Iman pada akhirnya bergeser dari cara ber-jilbab seseorang, yang awalnya kepasrahan dan ketertundukan pada ajaran agama, menjadi sifat ingin dipuji dengan menonjolkan aspek materi yang melekat pada subjek (aksesoris). Atau subjek berusaha secara sadar mempertontonkan pada publik, kemudian masyarakat ramai-ramai menirunya (mimesis). Pembentukan identitas pun dikukuhkan oleh seseorang yang mengikuti gaya tertentu. Tentunya dengan menggunakan merek pakaian tertentu, serta dipasangi asesoris-asesoris yang mampu mengukuhkan siapa dirinya.
Mengutip dari pendapat Baudrillard bahwa, dalam era konsumsi, gejala sosial yang signifikan adalah makin umum dan meluasnya penataan ulang (reorganisasi) aneka macam kebutuhan dari levelnya yang mendasar menjadi sebuah sistem tanda. Sistem tanda ini sudah menjadi cara atau moda yang spesifik dalam transisi dari alam ke budaya (from nature to culture) di era ini.[16] masyarakat konsumen adalah masyarakat yang berusaha mengafirmasi, meneguhkan identitas dan perbedaannya, serta mengalami kenikmatan melalui tindakan membeli dan mengkonsumsi tanda bersama.
Perempuan dari berbagai kelas beramai-ramai tampil modis dengan memakai segala macam aksesoris, sambil berjalan lenggak-lenggok mempertonton-kan lekukan tubuh dan menenteng tas belanjaan. Para aktivis feminis beranggapan bahwa praktik jilbab adalah simbol kemunduran perempuan Islam. Sebab maknanya sudak bergeser .[]
[2] Satu-satunya ayat al-Qur’an yang secara ekplisit menggunakan istilah jilbab adalah QS. Al-Ahzab: 59
[3] Chrish Barker, Cultural Studies, (Jogjakarta: Bentang, 2005), hlm. 14.
[4] Teori konstruksi sosial bisa disebut berada diantara teori fakta sosial dan definisi sosial. Dalam teori fakta sosial, standar yang eksislah yang penting. Manusia adalah produk dari masyarakat. Tindakan dan persepsi manusia ditentukan oleh struktur yang ada dalam masyarakat. Intitusionalisasi, norma, struktur, dan lembaga sosial menentukan individu manusia. Teori definisi sosial, manusialah yang membentuk masyarakat. Manusia digambarkan sebagai entitas yang otonom, melakukan pemaknaan dan membentuk masyarakat. Manusia yang membentuk realitas, menyusun norma dan institusi yang ada. Teori konstruksi sosial berada diantara keduannya. Lihat, Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 308-310.
[5] Fadwa El Guindi, “Hijab,” dalam Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Jilid 2, Cet. ke-1, (Bandung: Mizan, 2001), 154.
[6] Kamus besar bahasa indonesia
[7] Nong Darih Mahmadah dalam pengantar buku Muhammad Said al-Asymawi, Kritik Atas Jilbab, (Jakarta: JIL, 2003) hlm. vii.
[8] Lihat, Juneman, Psyychology of Fashion, (Jogjakarta: LKIS, 2010), h. 2.
[9] Rusli, Fiqh Jilbab Dan Wacana Tubuh Perempuan, (Jurnal Musawa, Vol. 1, No.1 Juni 2009) h 29.
[10] Ibid, h. Ibid, h. 30.
[11] Ibid, h. 30
[12] Rusli, Fiqh Jilbab.., hlm. 31
[13] Thomas Kristanto, Redefinisi Subjek dalam Kebudayaan, (Jogjakarta: Kanisius, 2006) h. 80
[14] Mosco, The Political Economy of Communication (London: Sage Publition, 1996), 141
[15] Ibid.., hlm. 141.
[16] Baudrillard, The Customer Society, (London: Sage Publition, 1998), hlm. 69. Dalam, Mudji Sutrisno (ed), Teori-teori Kebudayaan, dalam “Adeline May Tumenggung, Kebudayaan (Para) Konsumen,” (Jogjakarta: Kanisius, 2005), hlm. 263.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H