Angin melarutkan dan menerbangkan serpihan debu, malam itu. Pada Jum’at malam, tanggal 21 Juni 2015 di Yogyakarta saya baru saja duduk di trotoar menghadap jalan, tak berapa lama kemudian, pemuda rapi, menyapa saya lalu kami pun bersalaman. Kristofel Maikel Ajoi namanya, Mahasiswa asal Tambrauw – Papua di usia yang masih cukup muda ini, 25 tahun, sedang melanjutkan pendidikannya di Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Malam itu kami janjian bertemu di salah satu pojok jalan di Yogyakarta, setelah beberapa kali kontak telpon. Kebetulan Kris dan kawan – kawannya dari Himpunan Mahasiswa Tambrauw Kebar melakukan penggalangan buku untuk membuat sebuah Rumah Baca di Kebar.
Kebar sendiri adalah kecamatan yang tergabung dalam kabupaten Tambrauw. Ia merupakan salah satu distrik yang berada wilayah kabupaten Tambrauw, dan semenjak berpisah dari kabupaten Manokwari, distrik kebar secara definitif bergabung dengan kabupaten Tambrauw. Distrik ini memiliki banyak hal yang dapat di jumpai mulai dari Padang alang-alang kebar, lembah kebar, tempat pemandian air panas, gunung jani, jalan arokaria, hutan giawas (jambu biji), lahan pertanian, peternakan sapi, adapula tanaman endemik-nya yang disebut ‘rumput kebar. Kembali lagi kepada Kris, ia bercerita bahwa di Kebaranak – anak dan banyak orang butuh buku untuk membuat rumah baca warga agar membaca menjadi hal yang menarik anak – anak serta membuat belajar menjadi menyenangkan. Karena itu, dia bersama kawan – kawannya yang lain mengadakan penggalangan buku di Yogyakarta untuk nantin ya buku tersebut dibawa ke Kebar, dibuatkan rumah baca disana. Selengkapnya kemudian saya bertanya beberapa hal yang menarik dari kisahnya, agar dapat dibagikan kepada kita semua.
Apa yang membuat Kris berinisiatif membuat penggalangan buku dan mengajak kawan – kawan di Kampung (Kebar) membuat rumah baca-rumah belajar ?
Di Kebar, anak-anak dan saya pikir semua orang butuh buku dan bantuan pendidikan yang kreatif. Ya, di sana buku bacaan beragam tidak ada. Yang ada hanya buku-buku yang diberikan dari guru untuk siswa (buku mata pelajaran). Apalagi rumah baca, jelas tidak ada. Akhirnya bersama teman-teman mahasiswa dari Tambrauw di Jogja, kami usahakan pengumpulan buku untuk buar rumah baca di Kebar. Untuk itulah kami juga berkomunikasi dengan teman-teman mahasiswa lainya di daerah lain (termasuk masyarakat yang ada di Kebar).
Kira – kira akan ada berapa banyak orang yang mendapat manfaat (atau sering datang ke rumah baca tersebut, berdasar pengalaman sekilas sebelumnya) ?
Minat baca masyarakat di Kebar masih minim. Saya pikir yang paling banyak mendapat manfaat adalah anak-anak, karena fokus pendidikan baca-tulis di Kebar ini memang bagi anak-anak. Sedang yang lainnya (remaja – dewasa) diberi kebebasan untuk mengakses rumah baca sebagai pusat pengetahuan dan informasi atau data.
Apa kendala yang di hadapi teman – teman dalam membuat inisiatif ini ?
Karena kami baru mengumpulkan buku, sehingga kesulitannya adalah (biaya) mengirimkannya ke Kebar. Selain itu kami juga butuh relawan untuk mengajar secara sukarela (sampai sekarang belum ada).
Apa optimisme yang menguatkan teman – teman untuk buat barang ini ? siapa saja yang sudah membantu ?
Optimisme ini lahir dari pengalaman bersama sejak sekolah di Papua, tidak ada, atau jarang sekali ada rumah baca dengan berbagai macam bahan bacaan menarik. Selain itu dukungan dari semua teman-teman mahasiswa lain dan juga donatur buku membuat semua rencana ini berjalan meski dengan proses yang perlahan. Kami ucapkan Terima kasih untuk yang sudah membantu antara lain kepada Isak Bovra, Christianus L Sedik dan Bukuntukpapua.
Apa yang menjadi harapan kawan – kawan Tambrauw – Kebar khususnya yang sekarang ini sedang kuliah di rantau saat kembali ke tanah Papua, sampai mau buat rumah baca ini ?
Sa (ya) ingat waktu mau kuliah, Bapa dulu bilang, “Orang tua kasih kamu sekolah ini untuk jadi manusia” dia tidak bilang untuk jadi bupati, gubernur atau yang lainnya. Jadi bagi saya manusia yang manusiawi itulah definisi dari manusia yang dimaksud oleh Bapa saya. Tentu diharapkan bagi kami, bukan hanya guru saja yang bisa mendidik, pendidikan itu harus diarahkan di dalam setiap jiwa manusia, terutama hidup dalam kehidupan manusia. Jadi kita harus memberikan ilmu kepada siapapun, terutama bagi mereka yang membutuhkan, seperti yang sekarang sedang diusahakan untuk orang Kebar.
Bagaimana Kris melihat peran yang dapat diberikan oleh pemerintah daerah terhadap inisiatif yang dibuat ini ?
Soal ini saya minta maaf, karena saya terlalu lama (kuliah) di pulau Jawa dan tidak punya data yang lengkap. Tapi kurang lebih gambaran yang saya tangkap adalah sebagai berikut :
Di Papua anggaran pendidikan itu kedua terbesar setelah dana infrastruktur. Otonomi khusus juga memperhatikan secara khusus indikator pendidikan, belum lagi ada program dari UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat) dan yang lainnya. Tapi sampai hari belum semua orang di tanah Papua mengenal pendidikan yang baik (dalam artian, ada sekolah, perpustakaan, cara belajar kreatif dari guru yang kreatif juga, dan terutama untuk ilmu IPA atau eksakta itu alat peraga dan praktek).
Selain itu, masih adanya paradigma bahwa pendidikan maju di Papua adalah dengan bentuk adanya bangunan fisik saja, sekolah mewah, banyak guru (bahkan kalau bisa di setiap desa memiliki sekolah). Apa jadinya bila anak-anak yang sekolah di masing-masing desa ini suatu saat dipersatukan dalam satu kesempatan, apakah tidak akan menimbulkan ego kedaerahan atau konflik (etnis)?. Masih banyak contoh yang lain, misalnya saat ini semua anak-anak di kabupaten pemekaran (daerah otonomi baru) lebih dominan memilih sekolah di daerah kota, jadi bangunan sekolah di daerah baru ditinggalkan begitu saja. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap guru-guru yang akhirnya menganggur karena tidak ada murid.
Baik – baik, jadi perlu melihat kesiapan dan pemetaan siswa di daerahnya sendiri ya dalam proses membangun pendidikan. Lalu bagaimana Kris melihat pentingnya mengenal dan belajar tentang cerita rakyat, dongeng dan budaya kepada anak-anak serta apakah mudah mencari buku-buku bermateri konteks lokal?
Wah, kalau buku-buku yang bermateri lokal lebih banyak untuk kalangan mahasiswa (dewasa). Untuk anak-anak tidak banyak. Buku-buku cerita rakyat dari Papua untuk anak -anak sangat sedikit sekali. Cerita rakyat yang ada di Papua itu sebagian besar lahir dari mite (mitos/mitologi). Namun mitologi orang Papua ini lahir dari pengalaman sejarah, jadi cerita rakyat di Papua itu mengajarkan cinta untuk manusia dan untuk alam. Karena alam dan manusia saling bergantung. Jadi cerita rakyat di Papua bisa membuat anak-anak itu mencintai orang tua, saudara-saudara dan orang lain, juga mencintai kampungnya (daerahnya) sebagai tanah tumpah darah.
Menurut Kris jika harus dijelaskan dalam kalimat singkat : Apa persepsi Kris jika mendengar : Pendidikan Papua ?
Pendidikan Papua itu jika ada satu orang Papua yang jadi guru lalu menghasilkan 10 orang Papua dengan profesi yang berbeda (dokter, pilot, nahkoda, tentara, politisi, birokrat, pengusaha). Setiap orang bermanfaat bagi orang lainnya, itulah pendidikan Papua.
Menurut Kris, dengan satu persatu inisiatif saling membantu, seperti yang sedang dilakukan ini apakah mungkin jika suatu saat akan ada ribuan rumah baca yang akan berdiri di Papua, saling bantu, berjejaring dan peduli satu dengan lain. Untuk berkontribusi bagi pendidikan Papua yang lebih baik ?
Mungkin akan lebih baik jika sedikit saja, karena akan lebih banyak dicari. Kalau banyak nanti diabaikan. Jadi tidak perlu banyak rumah baca. Satu rumah baca dengan berbagai macam koleksi literasi pasti menarik.Nah, yang jadi persoalan itu hanya memicu daya tarik orang terhadap buku. Karena minat baca di Papua masih sangat minim.
Baik, bagaimana kalau pembaca ingin membantu Rumah Baca Kebar, boleh diinformasikan alamat serta jenis buku-buku apakah yang dibutuhkan?
Dapat dikirimkan ke alamat di Yogya: Asrama Tambrauw, Jl. Munggur, Gg. Srikandi, No. 32i. Kel. Demangan, Kec. Gondokusuman, Yogyakarta, (No Kontak: 081227268048, 082133762818).
Terimakasih Kris karena sudah mau menjawab beragam pertanyaan. Apa ada pesan kepada teman-teman yang membaca cerita ini?
Pengetahuan muncul karena rasa ingin tahu. Jadi kalo kita tahu itu biasa, tapi kalo kita membuat orang lain menjadi tahu, itu baru luar biasa (Dayu Rifanto)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H