Mohon tunggu...
D. Rifanto
D. Rifanto Mohon Tunggu... Konsultan - Membaca, menulis dan menggerakkan.

Tinggal di Sorong, Papua Barat. Mempunyai ketertarikan yang besar pada isu literasi dan sastra anak, anak muda serta pendidikan masyarakat. Dapat dihubungi melalui dayurifanto@gmail.com | IG @dayrifanto

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Benediktus Fatubun: Membaca Bukan Ajang Lomba Lari

17 Februari 2022   07:16 Diperbarui: 17 Februari 2022   08:46 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : Benediktus Fatubun

"Membangun perpustakaan adalah mencipta kehidupan. Perpustakaan tak pernah menjadi kumpulan acak buku-buku belaka."-Rumah Kertas.

"Perkenalan saya dengan buku dapat dikatakan cukup terlambat. Saya mulai membaca dengan serius, ketika masuk perguruan tinggi. Tepatnya pada tahun 2014. Lingkungan saya berkuliah serta organisasi yang saya geluti memaksa saya harus membaca." Begitu pengakuan Benediktus Fatubun, seorang guru SMA dan pengurus rumah baca di Boven Digul.


Keterlambatan ini  karena ia merasa dibesarkan di lingkungan dan orang-orang yang tidak mendukung pada kegiatan membaca. Maka aktivitas membaca menjadi sebuah kemewahan yang sulit didapatkan. Walau begitu, tak ada kata terlambat. Sebab ia menghadirkan kebiasaan membaca, secara serius bagi dirinya semenjak 2014 lalu.

Ada sebuah kekonyolan yang ia lakukan, waktu kuliah dulu. Akibat membaca buah karya Carlos Maria Domingues yang berjudul "Rumah Kertas," ia pun meniru sikap Carlos Brauer, pecinta buku dan tokoh utama dalam buku tersebut, yang selalu mengatur buku-buku di rak bukunya, sesuai hubungan emosional para penulisnya. Apakah karena perpustakaan adalah semacam mencipta kehidupan, sehingga buku-buku disusun berdasarkan hubungan-hubungan tertentu?

"Saya menyusun buku sesuai hubungan emosional para penulis. Misalnya saya selalu mengatur karya-karya John Steinbeck dan Pramoedya secara berdampingan. Karya-karya Soekarno selalu saya pisahkan dengan karya-karya Tan Malaka karena dalam beberapa hal mereka sangat bertentangan." Karena aktivitas tersebut, ia sering dicap "orang gila" oleh kawan-kawannya.

Dari beberapa genre penulisan, ia menyukai buku  sastra, sejarah dan umum. Ia juga mengakui, bahwa yang masuk genre umum yang sedang ia senangi adalah buku-buku filsafat. Dirinya juga mempunyai semacam ritual membaca "setiap pagi, saya selalu menyempatkan waktu 15-30 menit untuk membaca sastra. Sedangkan untuk filsafat dan sejarah, saya selalu baca diwaktu malam hari. Buku sejarah adalah teman pengantar tidur," jelasnya.

Jika meminjam istilah Borges, bahwa perpustakaan adalah sebuah pintu memasuki waktu. Maka membaca adalah penjelajahan bersama waktu, menekuri teks demi teks membentuk  pemikiran. Beni sekarang ini sedang membaca beberapa buku; Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, Tanah Merah karya A. Hasjmy serta Teori Kritis Sekolah Frankfurt karya Sindhunata.

A.Hasjmy menulis sebuah buku yang sebahagian ia karang di Tanah Merah, sebagian di Merauke, sebagian lagi di Jayapura dan Banda Aceh. Pada buku yang berkisah tentang Boven Digul ini, pada salah satu halamannya dapat kita temui foto dokter gigi Ircham Mahfoedz, ia adalah penulis novel "Mumi Dinasti Kurulik."  Dan menulis pengalaman-pengalamannya bertugas sebagai tenaga kesehatan di Merauke pada tahun 1970an dalam buku "Sumpah dan Janji Petugas Kesehatan & Praktikumnya di Papua"

Ia juga mengidolakan I Ngurah Suryawan yang banyak menulis tentang Papua. Lebih khusus, Beni  terkesan pada tulisan Ngurah Suryawan soal pendidikan ala Papua yang ditulis beliau di salah satu bukunya.

Beni percaya bahwa dengan membaca, wawasan kita akan semakin bertambah. "Kita dapat menjadi pribadi yang lebih tenang dalam menghadapi sebuah masalah yang datang menghampiri. Selain itu, dengan membaca, otak kita akan semakin peka dalam melihat masalah yang muncul." Ungkapnya.

Berkaca pada pengalamannya, Beni membagikan cara untuk memunculkan minat baca, yaitu bisa dimulai dengan membaca buku dengan genre yang kita sukai. Setiap hari harus luangkan waktu 15-20 menit untuk membaca. Dan lakukan hal tersebut secara konsisten, serta jadikan kebiasaan tersebut menjadi praktik sehari-hari hingga menjadi bagian dari diri kita dan menjadi budaya.

"Membaca bukan ajang lomba lari yang harus "ngebut-ngebutan" guna mencapai garis finish. Membaca adalah soal memahami bahan bacaan. Tak apa membaca satu buku dalam jangka waktu yang lama, selama kamu memahami apa yang kamu baca, itu baik sekali," pungkasnya.

 

*

Tentang Benediktus Fatubun.

Benediktus Fatubun adalah seorang guru di SMA Santo Yoseph Tanah Merah dan sekaligus pengurus Rumah Baca Digoel. (Wawancara Oleh Dayu Rifanto)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun