“Saya tersentak melihat rumah honai di pinggir pantai, pada ilustrasi buku bacaan anak berlatar Papua yang saya baca”
Saya jatuh cinta pada bacaan anak. Perasaan itu muncul ketika mengingat buku "Prem dan Sewi Saraswati" dalam kisah seputar buana yang pernah saya baca di perpustakaan sekolah SD Inpres Kotabaru Nabire. Rasa itu semakin bersemi ketika mendapatkan donasi buku-buku bacaan anak untuk dikirimkan ke berbagai taman baca, rumah baca, perpustakaan komunitas di Papua.
Pada 2012-2018 bersama teman-teman, kami membuat inisiatif galang donasi buku bacaan anak untuk mendukung beragam perpustakaan komunitas di Papua. Buku-buku yang diterima, kami kumpulkan, pilah dan pilih sebelum dikirimkan. Saat menunggu waktu kirim, buku-buku tersebut saya baca.
Buku bacaan anak, buat saya bisa jadi semacam pintu masuk, media dialog, perjumpaan, perkenalan dan pertukaran ide serta pandangan yang akan membentuk cara pandang pembacanya, yaitu anak-anak. Ia dapat membentuk keyakinan dan identitas anak-anak dengan cara yang unik. Saat mereka tumbuh dan belajar tentang dunia, mereka melihat buku dan media lain untuk memahami lingkungan sekitar mereka.
Buku bacaan dalam hal ini bisa membantu anak-anak mengerti dunia, orang lain, dan diri mereka sendiri. Karena itu, penting untuk memeriksa dan meneliti pesan-pesan yang ada dalam buku-buku anak-anak (Brown, 2023), terlebih buku bacaan anak berlatar Papua.
Sebuah kesadaran muncul ketika seorang teman, di awal 2015 memberi pertanyaan reflektif yang menarik sekaligus menohok. “Bagaimana Dayu, buku-buku anak yang ko kirim apakah ada juga yang kontekstual dengan lingkungan di Papua?” pertanyaan yang tidak mudah dijawab, sebab jawabannya telah jadi pengetahuan umum. Begitu sedikit buku bacaan anak berlatar Papua yang terkumpul dan ikut dikirim.
Sebagai temuan awal yang perlu diuji, ada beberapa hal yang mengganggu pemikiran. Misalnya minimnya judul buku bacaan anak berlatar Papua, hingga persoalan keakuratan budaya baik pada cerita maupun ilustrasi di bacaan anak tersebut.
Minimnya bacaan anak Papua
Memang tak mudah mencari buku bacaan anak berlatar Papua di toko buku atau pasar perbukuan terutama pada saat itu, dengan rentang tahun 2012-2015. Mengingat dalam proses pencarian, saya menemukan bahwa bacaan anak berlatar Papua yang bisa ditemukan, banyak yang diterbitkan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, ataupun yang digagas oleh NGO baik asing maupun lokal.
Sebagai contoh buku “Kisah Nuri dan Kakatua” adalah buku yang diterbitkan dari kerja sama pemerintah Provinsi Papua, Papua Barat, Dinas Pendidikan Provinsi, serta Sekolah Tinggi Seni Papua dan Australian Aid serta Unicef.
Contoh lain, misalnya buku yang diterbitkan Universitas Papua “Fabel Suku Irires”, atau misalnya buku-buku bacaan yang dibuat oleh Summer Institute of Linguistics (SIL) Jayapura yang bekerja sama dengan pemerintah daerah.
Di satu sisi buku-buku seperti ini membantu para pembaca dengan buku bacaan kontekstual, serta menjadi program yang baik oleh pemerintah.
Tetapi bagi mereka, di luar program tersebut yang ingin mencari dan membeli buku ini karena ingin membacanya, akan menemui kesulitan. Sebab buku ini tidak dijual bebas di toko buku, karena sifatnya terbatas hanya untuk program, dan biasanya program seperti ini sudah bekerja sama dengan sekolah-sekolah di daerah tertentu di Papua yang menjadi target sasaran program tersebut.
Meski begitu, secara perlahan akhirnya bisa terkumpul juga satu demi satu koleksi bacaan anak berlatar Papua. Saya pun menjadi pembaca buku-buku anak berlatar Papua. Hingga suatu ketika saat membaca, saya terkejut melihat penggambaran rumah honai di pinggir pantai pada buku anak berlatar Papua yang diterbitkan penerbit besar di Indonesia.
Akurasi budaya
Saya menemukan, masih ada banyak buku bacaan anak yang menggambarkan bahwa rumah tradisional atau yang merupakan representasi Papua, adalah honai. Hal itu dapat kita baca pada beberapa buku, misal “Masarasenani dan Matahari (Grasindo, 2015)”, “Telaga Werabur (Balai Pustaka, 2017)”, “Asal Mula Nama Irian (Balai Pustaka, 2017)”, “Cendrawasih Burung Cantik dari Bumi Papua (Wanamedia, 2018),” juga “Bunga dan Burung Cenderawasih (Mizan, 2019).”
Seperti kita ketahui, menyitir buku “Papua Dalam Arus Sejarah Bangsa (Kemdikbud, 2019)” di Papua terdapat 257 suku bangsa. Semua suku bangsa tersebut dikelompokkan menjadi tujuh wilayah adat. Lima wilayah adat dengan nama Mamta, Saereri, Anim Ha, La Pago dan Mee Pago, berada pada provinsi Papua.
Sedangkan dua wilayah adat lainnya, Bomberai dan Domberai, berada pada Provinsi Papua Barat. Selain itu, jika kita lihat berdasarkan ekologi, maka di Papua terdapat empat zona ekologi utama yang akan membuat pandangan kita menjadi lebih luas, saat melihat Papua.
Zona ekologi tersebut adalah zona ekologi rawa (swampy areas), serta daerah pantai dan muara sungai (coastal and reverine areas). Kedua, adalah dataran pantai (coastal lowland areas), ketiga adalah kaki gunung serta lembah-lembah kecil (foothills and small valleys), dan keempat adalah pegunungan tinggi (highlands).
Ini membuat orang Papua yang tinggal dalam ekologi berbeda tersebut, akan menyesuaikan kehidupannya dengan tantangan alamnya.
Sebagai contoh misalnya yang tinggal di wilayah ekologi rawa, semisal orang Asmat, hidup dengan meramu sagu, dengan pencarian ikan adalah sebagai pelengkap. Sedangkan misalnya orang Papua yang tinggal dan mendiami zona ekologi pegunungan misalnya suku Dani dan Mee, mereka akan bertani di samping beternak babi.
Perbedaan kondisi geografis dan sosial budaya yang hidup dan berkembang di Papua tersebut menghasilkan beragam bentuk arsitektur tradisional dan pola permukiman, di mana honai, hanya merupakan satu dari sekian banyak rumah tradisional lainnya di Papua.
“Dengan informasi yang terbatas tentang Papua, justru buku anak yang berlatar Papua malah bukan menambah informasi, tetapi justru menyampaikan informasi yang tidak sesuai juga” pesan kawan saya, Nurdana Pratiwi, seorang penggiat literasi di Raja Ampat, yang ikut miris menemukan kenyataan ini.
Mengapa demikian? Sebab, rumah tradisional honai selain bisa dihuni oleh banyak orang karena tidak memiliki pembagian ruangan, dan dengan perapian di tengah ruangan digunakan sebagai penghangat diri dari dinginnya cuaca di daerah tersebut, yaitu daerah pegunungan di Papua.
Honai tidak memiliki jendela, dengan tujuan sekali lagi, untuk melawan rasa dingin dan menjaga dari serangan binatang buas. Jadi sekarang, pembaca mulai bisa membayangkan, bagaimana rasanya ketika ada rumah honai tanpa jendela dengan tujuan menghalau rasa dingin, yang dibangun di pinggir pantai yang begitu panas iklimnya. Apakah kita memang sengaja dibuat berkeringat setiap hari?
Pada buku lainnya “Ataruri si Prajurit Tepuk Tangan” dapat kita temukan sebuah cerita yang mengambil latar belakang anak-anak pada suku Asmat yang pada kenyataan secara geografis mendiami pesisir selatan Papua, tetapi dalam penggambaran cerita melalui buku menyebut bahwa suku tetangganya adalah suku Ayamaru.
Yang perlu diketahui adalah suku Ayamaru adalah nama yang digunakan untuk menyebut nama suku bangsa yang dikategorikan sebagai salah satu suku bangsa asli Papua, yang secara etimologi, kata Ayamaru terdiri dari dua kata, aya dan maru. Aya yang berarti air, dan maru yang berarti danau. Jadi, nama Ayamaru artinya suku bangsa yang tinggal dekat air danau, di daerah kepala Burung, Papua Barat––yang amat sangat jauh dari pesisir selatan Papua. Kristofel M. Ajoi, seorang pengajar antropologi Universitas Papua juga menyatakan bahwa perlu ada konfirmasi mengenai karya para penulis, terutama jika para penulis tidak berasal dari pemilik cerita atau suku tersebut. Juga memastikan berulang kali agar karyanya dapat diterima baik oleh pemilik cerita maupun diterima oleh publik.
Harapan Kita
Riset Indeks Aktivitas Literasi Membaca di Indonesia yang dilakukan Kemdikbud pada tahun 2019, menyatakan bahwa Papua dan Papua Barat menjadi dua daerah yang menghuni peringkat terbaik dari bawah, dari 34 kabupaten di Indonesia. Ini berarti, banyak sekali pekerjaan berat yang kita hadapi pada isu literasi di Papua. Buku-buku bacaan, terlebih bacaan anak dapat menjadi sebuah pintu masuk, media dialog, perjumpaan, perkenalan dan pertukaran ide banyak orang tentang Papua.
Tetapi ini dapat dicapai melalui buku bacaan anak yang akurat secara budaya, beragam tema, dan ditulis oleh para penulis-penulis yang paham tentang Papua. Hal ini akan ikut membantu menampilkan Papua dengan lebih tepat hingga dapat diapresiasi oleh semua orang dan terjalin hubungan dengan pembaca dari daerah lain di Indonesia.
Besar harapan, dengan demikian, akan tercipta rasa saling mendukung perkembangan literasi kontekstual dan kearifan lokal daerah masing-masing. Itu sudah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H