Sebagai contoh misalnya yang tinggal di wilayah ekologi rawa, semisal orang Asmat, hidup dengan meramu sagu, dengan pencarian ikan adalah sebagai pelengkap. Sedangkan misalnya orang Papua yang tinggal dan mendiami zona ekologi pegunungan misalnya suku Dani dan Mee, mereka akan bertani di samping beternak babi.
Perbedaan kondisi geografis dan sosial budaya yang hidup dan berkembang di Papua tersebut menghasilkan beragam bentuk arsitektur tradisional dan pola permukiman, di mana honai, hanya merupakan satu dari sekian banyak rumah tradisional lainnya di Papua.
“Dengan informasi yang terbatas tentang Papua, justru buku anak yang berlatar Papua malah bukan menambah informasi, tetapi justru menyampaikan informasi yang tidak sesuai juga” pesan kawan saya, Nurdana Pratiwi, seorang penggiat literasi di Raja Ampat, yang ikut miris menemukan kenyataan ini.
Mengapa demikian? Sebab, rumah tradisional honai selain bisa dihuni oleh banyak orang karena tidak memiliki pembagian ruangan, dan dengan perapian di tengah ruangan digunakan sebagai penghangat diri dari dinginnya cuaca di daerah tersebut, yaitu daerah pegunungan di Papua.
Honai tidak memiliki jendela, dengan tujuan sekali lagi, untuk melawan rasa dingin dan menjaga dari serangan binatang buas. Jadi sekarang, pembaca mulai bisa membayangkan, bagaimana rasanya ketika ada rumah honai tanpa jendela dengan tujuan menghalau rasa dingin, yang dibangun di pinggir pantai yang begitu panas iklimnya. Apakah kita memang sengaja dibuat berkeringat setiap hari?
Pada buku lainnya “Ataruri si Prajurit Tepuk Tangan” dapat kita temukan sebuah cerita yang mengambil latar belakang anak-anak pada suku Asmat yang pada kenyataan secara geografis mendiami pesisir selatan Papua, tetapi dalam penggambaran cerita melalui buku menyebut bahwa suku tetangganya adalah suku Ayamaru.
Yang perlu diketahui adalah suku Ayamaru adalah nama yang digunakan untuk menyebut nama suku bangsa yang dikategorikan sebagai salah satu suku bangsa asli Papua, yang secara etimologi, kata Ayamaru terdiri dari dua kata, aya dan maru. Aya yang berarti air, dan maru yang berarti danau. Jadi, nama Ayamaru artinya suku bangsa yang tinggal dekat air danau, di daerah kepala Burung, Papua Barat––yang amat sangat jauh dari pesisir selatan Papua. Kristofel M. Ajoi, seorang pengajar antropologi Universitas Papua juga menyatakan bahwa perlu ada konfirmasi mengenai karya para penulis, terutama jika para penulis tidak berasal dari pemilik cerita atau suku tersebut. Juga memastikan berulang kali agar karyanya dapat diterima baik oleh pemilik cerita maupun diterima oleh publik.
Harapan Kita
Riset Indeks Aktivitas Literasi Membaca di Indonesia yang dilakukan Kemdikbud pada tahun 2019, menyatakan bahwa Papua dan Papua Barat menjadi dua daerah yang menghuni peringkat terbaik dari bawah, dari 34 kabupaten di Indonesia. Ini berarti, banyak sekali pekerjaan berat yang kita hadapi pada isu literasi di Papua. Buku-buku bacaan, terlebih bacaan anak dapat menjadi sebuah pintu masuk, media dialog, perjumpaan, perkenalan dan pertukaran ide banyak orang tentang Papua.
Tetapi ini dapat dicapai melalui buku bacaan anak yang akurat secara budaya, beragam tema, dan ditulis oleh para penulis-penulis yang paham tentang Papua. Hal ini akan ikut membantu menampilkan Papua dengan lebih tepat hingga dapat diapresiasi oleh semua orang dan terjalin hubungan dengan pembaca dari daerah lain di Indonesia.
Besar harapan, dengan demikian, akan tercipta rasa saling mendukung perkembangan literasi kontekstual dan kearifan lokal daerah masing-masing. Itu sudah.