Mohon tunggu...
D. Rifanto
D. Rifanto Mohon Tunggu... Konsultan - Membaca, menulis dan menggerakkan.

Tinggal di Sorong, Papua Barat. Mempunyai ketertarikan yang besar pada isu literasi dan sastra anak, anak muda serta pendidikan masyarakat. Dapat dihubungi melalui dayurifanto@gmail.com | IG @dayrifanto

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Margired Pondajar : Penulis Buku Anak di Manokwari.

22 November 2021   06:13 Diperbarui: 7 Januari 2022   21:28 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu Margried Pondajar, sumber foto : Dayu Rifanto

Suatu kali, kami berkesempatan mengunjungi Manokwari dan bertemu dengan seorang guru yang sangat bersemangat ini. Ibu Margriet yang biasa disapa Ibu Ani ini adalah guru yang mengajar di SMPN 2 Manokwari. Sosok ini menarik sekali, sebab selain mengajar, saat itu beliau juga menjadi penulis dan empat buah bukunya telah terbit.

Walau bertemankan cuaca terik, perlahan angin sepoi-sepoi yang meneduhkan suasana itu datang mengampiri kami di bawah ruang-ruang duduk di halaman sekolah. Kami sangat penasaran dengan kisah Ibu Ani, yang kemudian berkenan berdiskusi sembari menceritakan banyak hal kepada kami. Semoga berkenan menyimak cerita kami bersamanya.

Kaka semoga kabarnya baik, bolehkah berbagi tentang kisah dan latar belakang Kaka Ibu ?

Kabar baik, senang sekali kita akhirnya bisa bertemu, walau selama ini hanya terhubung melalui media sosial saja. Kalau soal latar belakang, saya ini orang Biak tetapi kelahiran Manokwari, Papua Barat. Jadi dari lahir, bersekolah sejak SD sampai SMA ya di Manokwari semua. Kuliah saja yang sa kemudian di Jayapura, di FKIP Uncen Jayapura. Dan setelah itu mendapat beasiswa untuk bersekolah di S2 Universitas Negeri Surabaya jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra.

Waktu kuliah dulu, terutama saat S2 kegiatannya apa saja? 

Mengapa kemudian tertarik menulis?

Sebenarnya kesukaan menulis sudah muncul semenjak saya kuliah S1, hanya saja belum serius dan mendalam. Jujur saja karena saya berlatar guru, jadi setiap hari belajar tentang pendidikan, keguruan, mengajar dan sebagainya. Nantinya wawasan tentang menulis mulai terbuka ketika kembali berkuliah di Surabaya. Hal ini karena banyak dosen yang luar biasa yang saya rasakan ketika mereka mengajar dan membimbing saja, antara lain yang sangat mendukung itu ada tiga orang dosen di Universitas Negeri Surabaya yaitu Prof. Dr. Haris Supratno dan Prof Dr. Setya Yuwana, MA serta Prof Dr. Suyatno M.Pd.

Mereka inilah yang sering memotivasi saya untuk menulis, memberikan bimbingan dalam penulisan. Dan rasanya dengan begitu mereka ini secara tidak langsung mengarahkan saya untuk menjadi penulis. "Iya ya, kenapa tidak dari dulu saya menulis" saya pernah terpikirkan juga hal ini, karena sa juga yakin bahwa sebenarnya bakat itu ada tetapi tidak tahu darimana mau menulis dan mau kemana, nah ketemu pembimbing seperti ini membuat saya terbuka.

Saat harus menyelesaikan tugas akhir, saya kembali ke Papua untuk mengambil data dan tesis saya berisi tentang Cerita Rakyat Daerah Arfak. Jadi buku yang saya tuliskan itu merupakan kelanjutan dari cerita-cerita pada tesis saya dahulu.

Kalau soal tertarik menulis, saya ingat sekali hal yang sering berulang-ulang antar satu dosen dan dosen lain waktu kuliah dulu mengingatkan saya, setiap mereka mau masuk di kelas, seringnya mereka mencari saya, lalu kata pertama yang mereka sebut ketika bertemu saya mereka bilang ini "Ingat ya, tidak boleh tidak menulis". Itu kata yang saya rasa memotivasi sekali. Mereka memang sudah membayangkan saya jadi penulis, karena mereka mungkin melihat jarang-jarang ada orang Papua yang menjadi penulis.

Walau menurut saya ya tidak juga, sebenarnya ada banyak penulis lain dari Papua tetapi bisa saja "Bapa dorang yang tidak tahu."

Jadi bibit menulis itu tersemai saat di Surabaya, tetapi bagaimana rasanya ketika lulus dan kembali ke Manokwari untuk mengajar dan menulis?

Syukurnya selama ini saya tidak merasa ada kendala personal dan internal dari diri tentang penulisan, tetapi kalau mau disebut kendala tentu saja, dan ini soal eksternal misalnya di Manokwari ini sepanjang yang saya tahu tidak ada penerbit buku cerita anak-anak,  dan juga soal ilustrasi gambar pada buku cerita yang saya tulis belum mudah saya mencari ilustratornya di Manokwari. Itu sebab, kalau saya mau membuatkan ilustrasi maka saya harus ke luar Manokwari, misalnya ke Yogyakarta, kita harus jelaskan baik deskripsi Papua seperti apa, konteksnya seperti apa, dan ini tentu butuh biaya transport yang tidak murah, belum lagi biaya ilustrasi dan yang lainnya.

Itu sebab kalau ada banyak penerbitan, illustrator di Manokwari atau Papua wah itu akan membantu saya dan teman-teman penulis lainnya.

Semoga demikian kaka, amin. Nah kalau menulis tentu berasal dari kebiasaan membaca, siapa kah sosok yang membuat kaka suka membaca?

Kebiasaan membaca datang dari Mama. Jujur, saya punya Mama itu tidak tamat sekolah, tidak sekolah tinggi seperti kami. Tapi luar biasa sekali perhatiannya pada pendidikan, contohnya kalau kami bepergian Mama selalu bawa kami buku. Buku yang biasa Mama kasih kami baca itu seperti buku Tom dan Regi, kota emas. Terus meningkat menjadi buku-buku cerita rakyat Irian jaya, dulu masih hitam putih ilustrasinya. Itu sudah, Mama dia yang membiasakan kami.

Sampai sekarang ketika tahu saya menulis buku, Mama mendukung dan senang sekali. Beliau menitipkan pesan bahwa didikan melalui cerita yang orang tua kasih, harus diturunkan kepada yang lain supaya orang lain bisa mendidik juga melalui cerita, dan dengan begitu membaca buku itu seperti mendapat berkat.

Aduh salam hormat buat beliau kaka, sa penasaran, sampai sekarang kaka sudah menulis berapa banyak buku?

Kalau draft naskah saya ada tulis sekitar 25 naskah, tetapi yang sudah diterbitkan baru ada 4 buah buku terdiri dari 2 buku kumpulan cerita, dan dua buku cerita anak bergambar yaitu Kisah Tumbi dan Isaiyori.

Apa pentingnya buku cerita yang seperti kaka Ibu tulis dan terbitkan ini?

Saya kira cerita-cerita ini penting. Karena dahulu orang tua mendidik anak tidak menggunakan metode-metode seperti hari ini, tetapi yang kami rasakan orang tua mendidik kami melalui cerita-cerita rakyat ini. 

Sebagai contoh saya ingat sekali Bapa saya ketika ia mau menasehati kami, ia selalu mencontohkan dari cerita- cerita rakyat. Misalnya agar kami tidak rakus dan tukang tipu ia gunakan cerita Ikan Duri dan Ikan Porobibi atau dalam bahasa Biak menjadi Aruken dan Manggapinawar. Itu Bapa biasa cerita ke kitong supaya jangan serakah, harus pandai berbagai kepada sesama, harus punya kasih.

Kaka, cerita kisahnya Ikan Duri, kah?

Hahaha, baik tapi intinya saja ya. Ceritanya begini, pada suatu hari ikan duri naik pohon kelapa, porobibi ko jaga di bawah. Ikan Duri sudah kasih turun kelapa banyak baru ternyata porobibi dia makan kelapa yang di jatuhkan ikan duri, makan terus sampai tara ingat semua. Baru ketika ikan duri turun dia bilang, kawan sa sudah kasih turun buah kelapa banyak baru kenapa dibawah tinggal sedikit, ucap Ikan Duri. Poribibi mengelak "ah orang-orang dong ada lewat jadi sa kasih dong juga" sudah. Akhirnya Ikan Porobibi pergi berenang ke laut, tetapi karena perut yang buncit kekenyangan, ia tidak kuat berenang dan tenggelam. Perutnya terjepit batu, pecah dan keluarlah banyak sekali butir kelapa yang ia makan dengan menipu Ikan Duri.

Ini cerita yang saya ingat sekali bapa sering cerita ulang ke kami supaya jangan serakah, berbohong, harus berbagi dan jadi orang jujur. Jadi tidak perlu dengan kekerasan mendidik anak tetapi Bapa mendidik kami melalui cerita. Dan saya rasa kedekatan dengan orang tua terbangun juga karena cerita-cerita ini.

Bagaiamana reaksi dan dukungan keluarga atas kebiasaan menulis Kaka ibu ini?

Suami saya sangat mendukung sekali, biasa kalau dia ada kegiatan di luar kota, ia selalu membelikan saya buku cerita anak. "Ma ini buku coba dibaca dan dilihat, supaya mungkin mama punya buku itu bisa tampilannya seperti ini kah?"

Akhirnya dari proses belajar itu, lahirlah Tumbi dan Isaiyori yang merupakan buku cerita rakyat bergambar, ada muatan interaksi berupa kuisnya di dalamnya, karena kami belajar dari buku-buku yang dibelikan oleh sang pendukung saya yaitu suami.

Oh iya, saya berharap dan bermimpi, buku-buku saya ini bisa dibaca oleh banyak sekali anak-anak di Manokwari khususnya, Papua pada umumnya. Buku saya dikenal, dibaca.

Kami dengar kaka juga mendirikan rumah pintar, boleh diceritakan tentang hal ini?

Saya bikin rumah pintar sejak dua tahun lalu karena jujur saja, saya punya keluarga banyak di sana, di Biriyoshi, kampung nelayan. Di sana ada banyak yang belum beruntung dari sisi pendidikan. Ada 30 anak sampai 40 anak yang sering datang ke rumah pintar. Kami berkegiatan setiap pukul 4 Sore di hari Senin, Selasa, Rabu dan Kamis. Di hari-hari tersebut kami isi dengan kelas membaca menulis, keterampilan. Dan ini swadaya sendiri, dengan suami.

Contohnya senin kemarin di kelas keterampilan anak -anak membuat pot bunga. Oh iya, anak-anak di sana jago menganyam noken walau baru noken yang biasa. Pengajarnya untuk baca tulis saya sendiri, dan ada relawan juga yang kami libatkan untuk mendampingi anak-anak rumah pintar. Kalau keterampilan untuk mama-mama di sana, biasanya saya mengundang narasumber yang terampil yang mau berbagi keterampilannya kepada mama-mama ini. Mereka yang sering membantu kami dengan menjadi pengajar di rumah pintar antara lain ada Mariah Lewuk, Kak Atha Purimahua, Kak Dessy May, Ibu Noviana Tekini juga Ibu Helena Pondajar.

Ada perubahan apa selama sudah berkegiatan selama dua tahun ini di Biriyoshi?

Sa melihat perubahannya luar biasa. Mungkin menurut orang lain itu hal kecil saja, tetapi tidak buat saya. Anak kami ada yang sudah menjadi polisi cilik, ada yang sudah jadi pelari. Jadi anak -anak ada yang sudah menemukan ah ini saya punya kesukaan, bakat, potensi itu kami arahkan dan senang.

Ada juga tulisan-tulisan kecil dari anak-anak yang saya ada simpan, anak-anak saya biasakan menulis apa yang mereka rasakan dan alami. Tapi pakai dialek Papua misalnya sa pu kampung di biriyoshi, sa tinggal dengan sa pu keluarga. Kalau tingkatan belajar baca tulis mulai dari kelas yang belum bisa membaca, masih mengeja dan sudah lancar membaca dan masing-masing tentu dengan materi yang berbeda-beda.

Jadi kalau yang buta huruf awalnya kami ajar supaya mengenal huruf-huruf, a, b , c dan seterusnya, lalu kalau yang mengeja kami bombing supaya dia bisa menyambung-nyambung kata, sedangkan untuk yang sudah bisa membaca lancar kami ajar untuk mulai menulis, nah dorang ini yang menulis-menulis kisahnya walau masih pendek-pendek saja.

Masyarakat syukurnya senang sekali dengan kehadiran kami, sampai mama-mama dong bilang kapan mereka punya kelas sendiri. Sa bilang iyo, itu sebabnya kami selenggarakan kegiatan keterampilan untuk para mama ini. Tapi jujur saja, ini berjalan kalau pas saya ada berkat, sebab selenggarakan kegiatan ini karena bentuknya keterampilan maka bahan-bahan harus dibeli terlebih dahulu. Misalnya keterampilan membuat keripik, maka bahannya harus kami beli secara swadaya terlebih dulu, beli tepung, pisang, minyak goreng, ajak teman untuk menjadi pengajar membuat keripik pisangnya. Sa ajak teman untuk ajar mama-mama dong menyulam, merajut. Tapi memang jarang kegiatan karena ini membutuhkan dana

Apa harapan Kaka terhadap rumah pintar ini di hari depan?

Sa berharap kami dilirik, tidak usah lihat, tapi lirik saja. Barangkali setelah melirik nanti tersentuh dan bisa membantu kami punya kegiatan di rumah pintar. Kita menuntut banyak dari anak-anak lalu kita bilang anak-anak Papua meresahkan, nakal, dan yang lainnya. Tapi apa yang kita sudah bikin untuk mereka? Itu yang harus jadi fokus kita, terutama di Manokwari ini, mari kita sama-sama dekati anak-anak ini, jangan menjauhi mereka.

Karena jika tidak didekati maka kita tidak tahu apa yang mereka butuhkan. Ketika sudah ada ditengah mereka maka kita bisa dengar dan tahu apa yang mereka butuhkan. Contohnya di tempat saya banyak yang buta huruf, banyak yang putus sekolah. Dan tidak jauh-jauh dari kota manokwari ini.

Itu sebabnya kami salut juga dengan teman-teman lain yang mau turun melihat anak-anak secara non formal dan berjejaring satu dengan lainnya dan ini membuat perkembangan literasi yang baik di Manokwari seperti ada Cinta Baca Masni, disana ada Bang Roni, juga abang David dari Komunitas Suka Membaca, juga ada Noken Pustaka dan inisiatif-inisiatif literasi lainnya di Manokwari yang belum saya sebutkan.

Kaka, tadi kaka sudah cerita tentang kesukaan menulis yang sifatnya personal, kegiatan di luar kelas dalam rumah pintar yang kaka gagas dan kelola, nah bagaimana dengan literasi di ruang kelas, kaka ada buat kegiatan apa ?

Saya membuat pojok baca di kelas, lalu membuat kegiatan 15 menit membaca dan 15 menit menulis karena saya fasilitasi dulu, ini loh bacaan. Karena saya sudah sediakan, otomatis wajib harus membaca dan membuat tulisan.

Sa selalu bilang ke anak-anak, bahwa menulis itu seperti orang terbang. Mengapa terbang? Karena kalian mengeluarkan semua pemikiran dan imajinasi, dia melayang-layang di luar pikiran. Yang ada di dalam diri kalian itu dicurahkan keluar.

Saya membuat poster dalam kelas bertuliskan "Aku dan literasi" kumpulan tulisan awak kabin kelas 7 H. Hal ini memunculkan tanya dari anak-anak, awak kabin itu apa ? Ini perlu dimaklumi, sebab di kelas kami yang pernah naik pesawat mungkin 6 sampai 7 orang saja. Lalu sa bilang ke mereka, anak-anak kelas ini ibarat kitong di pesawat, kitong ini penumpangnya di dalam. 

Jadi penumpang yang terbang diatas awan pasti melihat semua dunia, ibarat seseorang yang sedang membaca dan menulis. Semakin banyak ko membaca, semakin banyak kau bisa punya ide untuk dituangkan dalam tulisan. Istilah-istilah yang saya buat dirasa asing oleh beberapa orang, tetapi buat saya tidak, karena itu adalah bentuk kreativitas.

Misalnya istilah awak kabin. Jadi anggap saja kalau ibu masuk kelas, ini kitong sedang dipesawat. Anak-anak serempak bilang : Okeee. Jadi kemudian pake istilah "Bagaimana anak-anak, siap ? Ayo kencangkan sabuk pengaman kalian, kita akan terbang. Langsung anak-anak dong tepuk tangan dan mulai menulis, semoga keriangan dan keseruan ini membuat anak-anak lebih lepas dan terbiasa menulis.

Saya juga mau cerita, kalau di rumah, anak pertama saya mulai menyukai menulis. Sekarang ini ia sedang menulis cerita pendek dan saya membimbingnya untuk menuliskan buku seri hewan endemik Papua. Begitu bergetar dan haru hati saya saat membaca buku catatan anak saya ini dan ia menuliskan "Mamaku adalah guru privatku dalam menulis, mama adalah co-pilotku dalam menulis saat imajinasiku terbang mama selalu ada di samping setia membantu".

***

Tentang Margriet Pondajar

Seorang Guru SMPN 2 Manokwari ini selain mengajar juga mengelola Rumah Pintar Biriyoshi yang menyelenggarakan kegiatan belajar membaca dan menulis untuk anak -- anak di Kampung Biriyoshi. (Dayu Rifanto)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun