Mohon tunggu...
D. Rifanto
D. Rifanto Mohon Tunggu... Konsultan - Membaca, menulis dan menggerakkan.

Tinggal di Sorong, Papua Barat. Mempunyai ketertarikan yang besar pada isu literasi dan sastra anak, anak muda serta pendidikan masyarakat. Dapat dihubungi melalui dayurifanto@gmail.com | IG @dayrifanto

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tiga Penulis Bacaan Anak di Papua.

9 November 2021   08:13 Diperbarui: 21 Juli 2024   23:37 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Goodreads goodreads.com/author/Wigati_Yektiningtyas_Modouw


"Tidak ada anak yang lahir suka baca. Ia dilatih, dibentuk. -Adian Cambers"

Mencari, membeli, mengoleksi dan kemudian membaca buku -buku bacaan anak berkonteks Papua, tak datang begitu saja pada diri saya.  Walau lahir dan dibesarkan di sebuah kota kecil di Papua yang bernama Nabire, tak serta merta kesenangan membaca buku berlatar Papua hadir. Menengok ke belakang, kegemaran ini berawal pada tahun 2012, ketika bersama teman-teman menggeluti inisiatif galang donasi buku bernama Bukuntukpapua. Inisiatif yang menjadi pintu masuk  pada buku bacaan anak berlatar Papua, khususnya. Kecintaan akan buku-buku, membuat saya menyadari hal-hal menarik dan mengejutkan yang saya temui pada buku bacaan anak berlatar Papua. Antara lain pada beberapa buku terdapat penggambaran yang kurang akurat, sedikitnya judul buku anak berlatar Papua yang dapat dibeli di toko buku.

Pada sebuah kesempatan di awal November 2021, ketika menyimak paparan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Bapak Syarif Bando, saya menemukan sebuah informasi bahwasanya rasio buku secara nasional dengan perbandingan jumlah penduduk dan jumlah buku, adalah kurang lebih 270,20 Juta Jiwa berbanding 22jt eksemplar. Atau 1 buku : 90 orang. Dan jika sedikit mundur ke belakang, di mana hasil penilaian membaca kelas awal nasional (EGRA, USAID/ RTI, 2014-Riset INOVASI) yang dilaksanakan di tahun 2014, menunjukkan hanya 47 persen siswa kelas dua SD yang dapat membaca dengan lancar dan mengerti artinya; yang berarti mereka layak melanjutkan ke kelas tiga. Di wilayah Indonesia timur (Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua), angka ini hanya menyentuh 23 persen.

Temuan Inovasi antara lain, yang pertama kurangnya kurikulum atau kompetensi guru untuk mengajar membaca di kelas awal, karena keliru berasumsi bahwa semua anak yang masuk kelas satu SD sudah bisa membaca; kedua rendahnya mutu kompetensi mengajar dan keterampilan tentang bagaimana mengajarkan membaca dan literasi; dan ketiga. Terbatasnya akses ke materi bacaan yang tepat, terutama siswa di wilayah terpencil, tapi juga di seluruh negeri secara umum.  Tidak ada (sedikitnya) buku bacaan anak yang cukup menarik dan tepat usia (buku bacaan berjenjang) yang tersedia di negeri ini. Terlebih lagi, anak-anak yang tidak memiliki kemampuan membaca dasar di kelas awal akan tertinggal dari teman-teman mereka, tanpa pernah bisa mengejar ketertinggalannya. Mereka akan sulit memahami pelajaran di kelas yang lebih tinggi.

Pada tahun 2015, saya mulai mencari, membeli, mengoleksi dan membaca buku-buku bacaan anak berlatar Papua sampai dengan sekarang. Baik berkunjung ke toko buku, bertanya pada siapa saja, melihat di postingan kawan sampai mencarinya secara berkala di internet untuk perlahan mulai mendata dan  mengkurasi buku-buku tersebut.  Dari hasil pencarian ini, akhirnya terkumpul juga koleksi bacaan anak berlatar Papua. Walau, rasanya begitu banyak buku anak berlatar Papua di luar sana yang belum saya dapatkan, atau belum saya ketahui. Meskipun begitu, dari koleksi buku-buku yang ada sekarang, rasanya kita perlu mengenal tiga penulis bacaan anak yang berasal dari Papua.  Beberapa di antaranya adalah C. Akwan, Wigati Yektiningtyas-Modouw, dan Margried Pondajar. Di luar sana, masih ada para penulis lainnya yang belum sempat saya tuliskan, semoga pada lain kesempatan waktu akan berjodoh pada saya. 

Betapa beruntungnya saya, ketika tahun 2019 berkesempatan berkorespondensi dengan Bapak C. Akwan, salah seorang penulis sekaligus komponis dari Papua.   Ia menceritakan salah satu kisah perjalanan kepenulisannya, hingga bukunya diterbitkan sebagai buku Inpres, pada akhir tahun 1970an. Pada mulanya, ia belajar menulis di Sekolah Sambungan Putra berasrama di Miei, Wondama, tahun 1958. Sekolah sambungan adalah sekolah rakyat kampung dengan masa belajar tiga tahun, dan menerima murid-murid berusia paling kurang dua belas tahun, dari berbagai daerah di Papua yang lulus ujian masuk.

Foto Bapak C. Akwan (sumber: facebook C. Akwan)
Foto Bapak C. Akwan (sumber: facebook C. Akwan)

 

Pelajaran menulis pun ia tingkatkan ketika kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Satya Wacana (UKSW) di Salatiga, Jawa Tengah, tahun 1970-an.  Majalah Morning Star terbitan mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris UKSW menjadi salah satu sarana menulis baginya, selain Topchords, majalah musik pop terbitan Salatiga dari pertengahan tahun 1970-an hingga awal 1980-an. Yanes, Penakut yang Menjadi Pemberani, karyanya diterbitkan BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1978. Dan oleh Departemen PDK Nasional di Jakarta, dicetak ulang sebanyak 500 ribu eksemplar dan masuk dalam penerbitan suatu proyek Instruksi Presiden (Inpres) serta disebarkan ke berbagai SD di Indonesia." Setelah itu, ia menulis "Ditawan Naga" sebuah buku kumpulan cerita rakyat Irian Jaya, yang terbit pada tahun 1992.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun