Mohon tunggu...
Dayu Rifanto
Dayu Rifanto Mohon Tunggu... Lainnya - @dayrifanto | Membaca, menulis dan menggerakkan.

Tinggal di Sorong, Papua Barat. Mahasiswa S3 Pendidikan Masyarakat. Mempunyai ketertarikan yang besar pada isu literasi anak, remaja dan pendidikan masyarakat. Dapat dihubungi melalui dayurifanto@gmail.com | linktr.ee/dayrifanto

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Tiga Penulis Bacaan Anak di Papua.

9 November 2021   08:13 Diperbarui: 17 Januari 2022   13:47 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Dayu Rifanto

Tiga Penulis Bacaan Anak yang Kita Perlu Ketahui

Oleh : Dayu Rifanto

Tidak ada anak yang lahir suka baca. Ia dilatih, dibentuk. -- Adian Cambers

Mencari, membeli, mengoleksi dan kemudian membaca buku -- buku bacaan anak berkonteks Papua, tak datang begitu saja pada diri saya. 

Walau lahir dan dibesarkan di sebuah kota kecil di Papua yang bernama Nabire, tak serta merta kesenangan membaca buku berlatar Papua hadir. Menengok ke belakang, kegemaran ini berawal pada tahun 2012, ketika saya mendirikan sebuah inisiatif galang buku bernama Bukuntukpapua.

Inisiatif ini menjadi pintu masuk yang membuat saya jatuh cinta pada buku bacaan anak berlatar Papua, khususnya. Kecintaan akan buku-buku, membuat saya menyadari hal -- hal menarik dan mengejutkan yang saya temui pada buku bacaan anak berlatar Papua. Antara lain pada beberapa buku terdapat penggambaran yang kurang akurat, juga sedikitnya judul buku anak berlatar Papua yang dapat dibeli di toko buku dan masih minimnya para penulis buku bacaan anak yang berasal dari Papua.

Pada sebuah kesempatan di awal November 2021, ketika menyimak paparan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Bapak Syarif Bando, saya menemukan sebuah informasi bahwasanya rasio buku secara nasional dengan perbandingan jumlah penduduk dan jumlah buku, adalah kurang lebih 270,20 Juta Jiwa berbanding 22jt eksemplar. Atau 1 buku : 90 orang.

Dan jika sedikit mundur ke belakang, di mana hasil penilaian membaca kelas awal nasional (EGRA, USAID/ RTI, 2014-Riset INOVASI) yang dilaksanakan di tahun 2014, menunjukkan hanya 47 persen siswa kelas dua SD yang dapat membaca dengan lancar dan mengerti artinya; yang berarti mereka layak melanjutkan ke kelas tiga. Di wilayah Indonesia timur (Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua), angka ini hanya menyentuh 23 persen.

 

Temuan Inovasi antara lain, yang pertama kurangnya kurikulum atau kompetensi guru untuk mengajar membaca di kelas awal, karena keliru berasumsi bahwa semua anak yang masuk kelas satu SD sudah bisa membaca; kedua rendahnya mutu kompetensi mengajar dan keterampilan tentang bagaimana mengajarkan membaca dan literasi; dan ketiga. Terbatasnya akses ke materi bacaan yang tepat, terutama siswa di wilayah terpencil, tapi juga di seluruh negeri secara umum.

Tidak ada (sedikitnya) buku bacaan anak yang cukup menarik dan tepat usia (buku bacaan berjenjang) yang tersedia di negeri ini[1]. Terlebih lagi, anak-anak yang tidak memiliki kemampuan membaca dasar di kelas awal akan tertinggal dari teman-teman mereka -- tanpa pernah bisa mengejar ketertinggalannya. Mereka akan sulit memahami pelajaran di kelas yang lebih tinggi.

 

Pada tahun 2015, saya mulai mencari, membeli, mengoleksi dan membaca buku -- buku bacaan anak berlatar Papua sampai dengan sekarang. Baik berkunjung ke toko buku, bertanya pada siapa saja, melihat di postingan kawan sampai mencarinya secara berkala di internet untuk perlahan mulai mendata dan  mengkurasi buku -- buku tersebut. 

Dari hasil pencarian ini, akhirnya terkumpul juga koleksi bacaan anak berlatar Papua. Walau, rasanya begitu banyak buku anak berlatar Papua di luar sana yang belum saya dapatkan, atau belum saya ketahui. Tetapi dari koleksi buku -- buku yang bisa saya dapatkan ini, rasanya kita perlu mengenal tiga penulis dari Papua ini.

 

Betapa beruntungnya, pada tahun 2019 lalu saya berkesempatan berkorespondensi dengan Bapak C. Akwan, salah seorang penulis sekaligus komponis dari Papua.  

Ia menceritakan salah satu kisah perjalanan kepenulisannya, hingga bukunya diterbitkan sebagai buku Inpres, pada akhir tahun 1970an. Pada mulanya, ia belajar menulis pertama kali di Sekolah Sambungan Putra berasrama di Miei, Wondama, tahun 1958. 

Sekolah ini sambungan Sekolah Rakyat Kampung Tiga Tahun dan menerima murid-murid berusia paling kurang dua belas tahun, dari berbagai daerah yang lulus ujian masuk.

Foto Bapak C. Akwan (sumber fb beliau)
Foto Bapak C. Akwan (sumber fb beliau)

 

Pelajaran menulis pun ia tingkatkan ketika kuliah di jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Satya Wacana (UKSW) di Salatiga, Jawa Tengah, tahun 1970-an. 

Majalah Morning Star terbitan mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris UKSW menjadi salah satu sarana menulis baginya, selain Topchords, majalah musik pop terbitan Salatiga dari pertengahan tahun 1970-an hingga awal 1980-an. 

Yanes, Penakut yang Menjadi Pemberani, karyanya diterbitkan BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1978. Dan oleh Departemen PDK Nasional di Jakarta, dicetak ulang sebanyak 500 ribu eksemplar dan masuk dalam penerbitan suatu proyek Instruksi Presiden (Inpres) serta disebarkan ke berbagai SD di Indonesia" -- setelah itu, ia menulis "Ditawan Naga" sebuah buku kumpulan cerita rakyat Irian Jaya, yang terbit pada tahun 1992.

 

Selain itu ada Ibu Wigati Yektiningtyas-Modouw, seorang pengajar pada FKIP Universitas Cenderawasih sejak tahun 1987. Kariernya diawali sebagai guru bahasa Indonesia bagi para ahli bahasa dari berbagai negara di Summer Institute of Linguistics Jayapura pada 1986-1987. Hal ini yang  membuatnya menaruh perhatian besar pada linguistik dan foklor di Papua.

Beliau menyelesaikan seluruh pendidikan tingginya di Univeristas Gadjah Mada, yaitu Sarjana Muda Sastra Inggris (1981-1984), Sarjana Sastra Inggris (1984-1986), S2 Pengkajian Amerika (1996-1998), dan S3 Jurusan Ilmu Sastra (2004-2007).  Ia menulis antara lain buku Burung Cenderawasih dan Burung Gagak (2011), Konamino: Asal Mula Anjing di Kampung Weriagar(2011), Pohon Mangi-mangi dan Pohon Masoi(2011), Kumpulan Cerita Rakyat Sebyar dan Sumuri (2011), Ebi dan Kandei (2018), Asal Mula Nama Kota Abepura(2018), Perjalanan Masyarakat Heram ke Danau Sentani (2018), Burung Kasuari dan Burung Pipit (2018).

Sumber : Goodreads, goodreads.com/author/Wigati_Yektiningtyas_Modouw
Sumber : Goodreads, goodreads.com/author/Wigati_Yektiningtyas_Modouw

Penelusuran lainnya membuat saya bertemu dengan salah satu penulis buku bacaan anak dari Manokwari, yang juga produktif. Yaitu Ibu Margried Pondajar, kelahiran Manokwari, Papua Barat. 

Sejak lahir sampai bersekolah SD sampai SMA di Manokwari. Kemudian ia berkuliah di FKIP Uncen -- Jayapura dan melanjutkan pendidikan S2-nya di Universitas Negeri Surabaya dengan jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

 

Margried Pondajar berlatar belakang sebagai guru. Ia merasa wawasan untuk menulis mulai terbuka ketika kembali berkuliah di Surabaya. Hal ini karena banyak dosen yang luar biasa yang mengajar dan membimbingnya. Ada tiga orang dosen yang berpengaruh baginya dan membuatnya memilih terus menulis, mereka itu antara lain Prof. Dr. Haris Supratno dan Prof Dr. Setya Yuwana, MA serta Prof Dr. Suyatno M.Pd.

Ia pun menulis banyak buku bacaan anak bergambar yang bersumber dari cerita rakyat. Antara lain ada "Fabel Suku Mpur, Kab. Tambrauw" "Si Kembar Mui dan Miyepa" "Kisah Burung Pipit dan Kasuari" "Tumbi si Pemburu Ulung" "Ariai Dongeng Klasik Sobey Kabupaten Teluk Wondama PB"  "Putri Duyung dan Isaiyori "Kakek Ineisudga Yang Penyayang" Tuai dan 7 Bidadari" "Pemuda Ajaib" "Dongeng Arfak Hattam"  "Cerita Klasik Suku Arfak Meyah Seri 1 dan 2"  - dan bagai buah yang jatuh tak jauh dari pohonnya, kegemaran menulis pada dirinya pun berlanjut pada sang anak. Salah seorang anak dari Margried Pondajar ikut menulis buku bacaan anak bergambar, salah satunya berjudul "Kasuari, Ksatria Berkaki Kokoh"

Sumber foto : Koleksi Dayu Rifanto
Sumber foto : Koleksi Dayu Rifanto

Tentu saja, saya yakin di luar sana masih banyak penulis dari Papua yang perlu anda ketahui eksistensinya. 

Saya pun membayangkan, jika kita ingin agar anak-anak kita menjadi pembaca yang rajin, maka kita perlu menjadi teladan sekaligus menjadi teman membaca mereka. Terlebih, "Tidak ada anak yang lahir suka baca. Ia dilatih, dibentuk" begitu ungkap Adian Cambers, seorang penulis asal Inggris.

 

Dan itu berarti kita perlu mengenal para penulis, karya-karyanya. Juga kita mencontohkan mengapreasiasi karya mereka dengan membeli buku-buku yang ditulis para penulis.

Membacanya bersama anak-anak kita, seraya menyebarkan cerita-cerita pada buku tersebut sehingga dukungan pada penulis mengalir, kreativitas dapat terus hadir demi impian menggerakkan sebuah masyarakat yang peduli pada buku bacaan, dan menjadi bangsa pembaca bisa sama-sama kita wujudkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun