Mohon tunggu...
Muhammad Hidayatullah
Muhammad Hidayatullah Mohon Tunggu... Freelancer - Penggiat Alam, Pemerhati Pendidikan dan Lingkungan.

Membiarkan mereka yang termarginalkan merupakan dosa besar bagi kaum terdidik. Mari bersama saling menebar manfaat untuk sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menembus Belantara, Memberantas Buta Aksara: Potret Kecil Pendidikan di Pegunungan Meratus HST

2 Mei 2023   15:45 Diperbarui: 2 Mei 2023   15:49 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana kegiatan belajar di lapangan terbuka dengan fasilitas seadanya. (Foto : Komunitas Akar Bukit)

HULU SUNGAI TENGAH, KALIMANTAN SELATAN - Hidup dan berkehidupan di alam sudah menjadi keseharian umum Masyarakat Adat Dayak Meratus. Mayoritas dari mereka masih mempertahankan sistem berladang, berburu, serta aliran kepercayaan dan hidup tersebar di berbagai dusun tengah hutan untuk menyambung hidup.

Akhir tahun 2021 menjadi sebuah perjalanan baru bagi Nurdin (28) dan Uncit Kesuma (27). Dua pemuda Dayak Meratus dari Dusun Buhul, Desa Batu Perahu, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) mendapat sebuah tawaran untuk menjadi tutor  pada sekolah paket A Mangga Jaya. Masih satu lingkup kecamatan dengan kediamannya.

"Kami terima, warga setempat banyak yang buta aksara dan masih ada ikatan keluarga juga dengan kami," kata Uncit, sembari menjelaskan kisah juangnya, Agustus lalu.

Motivasi mereka tulus untuk mengajar dan berbagi untuk masyarakat. Kendati keduanya hanya menamatkan pendidikan formal setingkat Sekolah Menengah Atas (SMA).

Secara geografis, sekolah Paket A Mangga Jaya terletak di Dusung Mangga Jaya, Desa Aing Bantai, HST. Desa tetangga dari kediaman Nurdin dan Uncit.

Mengajar di Mangga Jaya berarti sudah harus siap menempuh belantara. Ketiadaan akses jalan transportasi, sinyal, maupun listrik sudah menjadi kisah klasik potret pendidikan 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) pada umumnya.

Dari kediaman mereka, perjalanan normal ditempuh dengan dua hari jalan setapak baru bisa sampai di Dusun Mangga Jaya itu. Medan yang dilewati berupa hutan belantara Pegunungan Meratus dengan segala ancaman dan tantangan satwa liarnya. Tak jarang, mereka juga harus bermalam di tengah hutan jika kelelahan dalam perjalanan. "Berjalan berarti bertaruh nyawa," tambah Uncit.

Pada tahun 2021 layanan pendidikan dari pemerintah setempat baru masuk. Dari catatan Komunitas Akar Bukit, per Agustus 2022 terdapat 75% kasus buta aksara di lokasi itu. Jumlah penduduk desa tersebut tercatat ada 61 kepala keluarga (kk) 203 jiwa. Nurdin dan Uncit khawatir warga setempat bakal terus terjebak dalam ketidaktahuan akses pendidikan.

Bukan keputusan yang mudah dijalankan keduanya mengabdi disana. Nurdin harus rela meninggalkan istri dan dua anaknya, begitupun dengan Uncit juga harus rela meninggalkan istri dan tiga anaknya untuk mengajar selama 15 hari setiap bulannya.

Sebagai pengajar, mulanya mereka digaji Dinas Pendidikan (Disdik) setempat Rp 3,5 juta untuk setiap bulannya. Itu pun terkadang juga digaji telat dan harus tetap nyambi berladang demi mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Dilain sisi, harga bahan pokok "di atas gunung" tentu saja berkali-kali lipat lebih mahal dibandingkan pada umumnya. "Dari gaji, kadang dicukup-cukupkan. Itu pun kalau tidak terlambat pencairannya," bebernya.

Namun, kehadiran mereka untuk mengajar sangat dinanti oleh warga belajar Mangga Jaya. Pendidikan memang masih jadi sebuah "barang mewah" bagi masyarakat setempat. Tak ada batasan umur, dari anak-anak hingga orang tua sekalipun mereka layani untuk belajar.

Terdata, sebanyak 22 warga belajar rutin mendatangi Nurdin dan Uncit. Mereka memberikan kelonggaran waktu kapanpun masyarakat bisa mendatanginya untuk belajar. Fokusnya masih seputar belajar membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Kalau ada yang sudah nampak lancar, baru dilanjutkan ke yang lebih spesifik.

Terlepas dari segala kurikulum 2013 atau Merdeka Belajar yang diterapkan pemerintah, mereka hal basic saja masih belum rampung. Memang sejatinya, kata Uncit, pendidikan disini harus mendapatkan perhatian khusus dan perlakuan khusus, karena masalah pendidikannya jauh lebih kompleks. 

Suasana kegiatan belajar di lapangan terbuka dengan fasilitas seadanya. (Foto : Komunitas Akar Bukit)
Suasana kegiatan belajar di lapangan terbuka dengan fasilitas seadanya. (Foto : Komunitas Akar Bukit)

Minim Fasilitas Pendidikan


Minim fasilitas pendidikan sudah menjadi kisah klasik potret pendidikan di kawasan 3T. Terlebih lagi berada di tengah hutan dan hanya bisa dilewati jalan setapak dengan akses sejauh 73 kilometer dari pusat Kota Barabai, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) sudah tentu jarang dilirik.

Sekolah Paket A Mangga Jaya difasilitasi pemerintah sebagai layanan pendidikan non formal setingkat Sekolah Dasar (SD). Gaji pengajar (totur) dan kelangkapan ATK ditunjang pemerintah berdasarkan takaran permintaan dan kebutuhan. Namun, tentu saja tidak bisa dipenuhi secara cepat dan harus bertahap.

Kemudian, ketiadaan bangunan sekolah membuat mereka berganti-ganti tempat untuk melangsungkan pembelajaran. Secara rutin pembelajaran dilaksanakan di Balai Adat (tempat suci aliran kepercayaan Kaharingan). Namun, seringkali juga berganti memakai rumah warga, maupun di lapangan terbuka jika sewaktu balai tersebut digunakan untuk prosesi aruh adat.

Kendati minim fasilitas, Nurdin dan Uncit tetap selalu memberikan layanan terbaiknya untuk mengajar para warga untuk keluar dari lingkaran buta aksara yang telah lama membelenggu. "Bahkan malam pun terkadang ada yang mendatangi ke rumah untuk belajar. Semangat belajar mereka tinggi," kata Nurdin.

Pendidikan bisa dibilang masih belum menjadi prioritas warga, sebab layanan pendidikan terlambat masuk. Warga setempat setiap hari disibukkan mengurus ladang atau aktivitas lainnya untuk menyambung hidup kebutuhan ekonominya.

Walaupun begitu, warga sangat berharap generasi masa depan mereka dapat juga merasakan akses pendidikan tinggi untuk kemajuan desa. "Bisa dibilang kami disini belum merdeka. Listrik, jalan, sinyal masih tidak ada, akses pendidikan sangat terbatas," ucap Jalita, Pembakal setempat.

Sejatinya, momentum hari lahir Ki Hadjar Dewantara 2 Mei 2023 yang diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional ini menjadi refleksi tersendiri untuk berbenah meningkatkan kualitas pendidikan. Pendidikan diamanahkan tidak ada diskrimintatif, namun kenyataannya masih ada mereka yang di pelosok termarginalkan oleh keadaan.

Hingga kini, ketimpangan pendidikan terus terjadi dan masih menjadi pekerjaan rumah (PR) besar pemimpin negeri dengan segala kuasa dan kebijakan untuk mengatasinya masih dinanti.

Para warga belajar Paket A Mangga Jaya saat tengah sibuk belajar membaca buku cerita. (Foto : Komunitas Akar Bukit)
Para warga belajar Paket A Mangga Jaya saat tengah sibuk belajar membaca buku cerita. (Foto : Komunitas Akar Bukit)

Upaya Pemerintah


Keberadaan pendidikan kesetaraan yang berbentuk non formal Paket A Mangga Jaya itu tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu upaya pemerintah dalam menjalankan tugasnya untuk memfasilitasi pendidikan masyarakat setempat. Walaupun baru hadir pada 2021 silam.

Sesuai amanah UUD 1945 pada Pasal 31 Ayat 1 dan 2 berbunyi, (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Pada Januari 2023 lalu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Hulu Sungai Tengah (HST) menggelar Ekspedisi Meratus yang langsung dipimpin oleh Bupati HST, H Aulia Oktafiandi, bersama Kepala Disdik HST, M Anhar dan sejumlah pimpinan SKPD beserta rombongan lainnya.

Ekspedisi itu menempuh jalur mengitari kawasan terpencil Pegunungan Meratus Desa Atiran, Batu Perahu, Aing Bantai, Juhu, hingga turun ke Desa Hinas Kiri dari Kamis (26/1/2023) hingga Selasa (31/1/2023) untuk mengunjungi warga dan menampung aspirasi mereka, termasuk Dusun Mangga Jaya sendiri.

Kepala Disdik HST, M Anhar melalui Kasi Dikmas Disdik HST, Andry Rachmat Hidayat mengatakan, hadirnya pendidikan non formal kesetaraan Paket A atau setingkat SD tersebut merupakan upaya pengentasan buta aksara di kawasan daerah terpencil HST. Namun, pihaknya tidak mempungkiri masih belum maksimal.

Sejumlah review telah dilakukan pihaknya kepada warga belajar yang diakui sudah mulai bisa membaca, menulis, dan berhitung. Namun, tidak ada data pasti terkait perkembangannya.

Perkembangan itu tidak lepas juga dari kontribusi dua pengajar di lapangan yang telah berjuang mengabdi kepada masyarakat. Pihaknya pun mengapresiasi kinerja para pengajar dan menambahkan gajihnya dari semula Rp 3,5 juta menjadi Rp 5 juta untuk setiap bulannya.

Terkait ketiadaan bangunan belajar, saat ini Dusun Mangga Jaya baru memiliki Perpustakaan Desa yang bisa difungsikan juga sebagai tempat belajar masyarakat.

Sementara itu, Pemerhati Pendidikan, Muhammad Hidayatullah mengatakan, solusi untuk mengatasi permasalahan pendidikan masyarakat terpencil jangan hanya sebatas memfasilitasi sampai disitu saja. Peningkatan kualitas guru dan keberlangsungan jenjang pendidikan warga belajar juga perlu dipikirkan mendalam.

"Harus ada sebuah mekanisme khusus yang menjamin masyarakat setempat untuk mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Beasiswa khusus misalnya," terang Pendiri Komunitas Akar Bukit.

Terlebih lagi, mereka untuk melanjutkan pendidikan memiliki tantangan sangat besar. Akses SMP terdekat berada di Desa Hinas Kiri, sedangkan SMA terdekat ada di Desa Batu Tangga yang tentunya perlu modal besar baik secara material, maupun moral karena harus turun gunung jauh dan berpisah dari keluarga.

"Ada beberapa kasus Masyarakat Dayak Meratus membuat pondok kecil untuk dapat dihuni mendekatkan tempat tinggalnya dengan sekolah, baik SMP maupun SMA. Adajuga yang ngekos," tambahnya.

Disisi lain, ia pun merekomendasikan, pemerintah setempat dapat membuat suatu inovasi program penempatan khusus ke kawasan terpencil untuk membantu mengatasi ketimpangan pendidikan maupun melakukan pemberdayaan masyarakat.

"Pemerintah dapat membuat program penempatan khusus dalam jangka waktu tertentu dalam bingkai pengabdian dan pemberdayaan pendidikan dan masyarakat. Saya yakin banyak saja Fresh graduate yang tertarik asal jelas saja jaminan kegiatan dan kesejahteraannya," sarannya.

Disi lain, pemerintah atau kementrian terkait, menurut Dayat, jangan hanya disibukkan dengan otak-atik kurikulum belaka, tetapi abai terhadap urgensi permasalahan pendidikan pelosok yang sudah hampir 1 abad termarginalkan oleh perlakuan negara. (Dayat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun