Mohon tunggu...
Dayat Piliang
Dayat Piliang Mohon Tunggu... Writer -

mencoba puitis, romantis, dan humoris.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sudah Ada Calon Belum?

25 Desember 2018   17:35 Diperbarui: 25 Desember 2018   23:43 2730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini sempat diterbitkan di blog pribadiku pada 22 Juli 2018

Pagi ini, teman lama yang sudah lama tak berkomunikasi mengirimkan pesan melalui direct message media sosialku. 

"Assalamu'alaikum, Dayat." begitulah dia mengawali pesannya.

"Bagaimana kabarnya, Yat?" ini yang tertulis di balon pesan kedua.

"Mau nanya, udah punya calon, belum?" inilah inti awal maksud perbincangannya yang jika aku respon akan memanjang dan menimbulkan beberapa perbincangan yang sebetulnya tak ingin aku bahas disaat-saat seperti ini. Aku masih belum ingin memikirkan rencana kapan akan melaksanakan sunnah yang dianjurkan, yakni pernikahan. Bukan berarti aku tak mau, hanya saja aku ada fokus yang lain untuk saat ini.

Tapi, sebagai teman lama yang tak ingin memberi kesan sombong, akupun merespon pesannya dengan lebih dulu menjawab pertanyaan kabar dan kemudian menjawab pertanyaan mengenai calon, aku balas kalau aku belum memiliki calon. Ini memang jujur apa adanya.

Dan benar saja, perbincangan itu berlanjut. Ia menawarkan aku untuk berkenalan dengan teman semasa SMA-nya yang sekarang sedang melanjutkan studinya di Korea Selatan. Temannya akan lulus tahun depan. Namun, orang tuanya ingin sekali melihat anaknya menikah setelah lulus kuliah. Dan orang tuanya pun meminta bantuan untuk mencarikan anaknya calon suami. Sampai pada poin ini, aku betul-betul tidak mengerti kenapa teman lamaku ini berpikir kalau akulah lelaki yang cocok untuk menjadi suaminya, pendamping hidup temannya yang sepertinya hubungan mereka sangat dekat layaknya sahabat.

Karena aku takut teman lamaku ini memiliki ekspektasi tinggi tentang diriku, aku segera menjawab dengan apa adanya saja. Aku katakan pada teman lamaku kalau realita hidupku belum siap ke arah sana. Aku katakan, "Mengurus hidup sendiri saja aku masih belum mampu, apalagi menghidupi anak orang?"

Responnya sesuai dengan dugaanku, "Menikah itu pembuka pintu rezeki loh." jawabnya setelah aku mengaku tentang diriku.

Aku percaya, aku sungguh amat sangat percaya dengan firman Allah yang mengatakan kalau menikah itu membuka pintu rezeki. Tapi, menikah tidaklah sesederhana itu, setidaknya menurutku. Jika aku menikah dan kemudian aku bermalas-malasan dalam menjalani hidup, apakah pintu rezeki akan terbuka? Tentu tidakkan? Analoginya sesederhana itu. Kesiapan mental dan kesiapan finansial untuk membangun keluarga yang rancangannya sudah ada dalam kepala, masih belum cukup untuk aku realisasikan dalam waktu dekat, kiranya. 

Memang terkadang salah juga memiliki pikiran yang rumit. Memikirkan banyak hal dan menerka-nerka resiko yang sebenarnya belum tentu akan terjadi. Memusingkan. Sering kali menghambat untuk melangkah. Tapi, memiliki pikiran seperti ini juga tak sepenuhnya salah. Sebab, hati-hati memang diperlukan. Apalagi mengenai pernikahan yang aku pribadi menginginkan ini terjadi hanya satu kali dalam hidupku. Maka, berhati-hati menurutku itu perlu.

Terkait pertanyaanku tentang kenapa dia terbesit aku dalam pikirannya untuk menjodohkanku dengan temannya, ia mengatakan kalau aku dan temannya orangnya satu tipe. Ini ia jadikan dalil kecocokan antara aku dan temannya. Entahlah, bagaimana dia bisa menerka seperti itu. Padahal, mengenal diriku saja ia sepertinya tak terlalu. Hanya mengenal diriku dari luar, tidak mengetahui problematikan kehidupan yang sedang aku rasakan.

Sebelum dia membahas lebih jauh tentang rencana perjodohan. Aku kembali menceritakan tentang diriku. Aku katakan padanya, "Apakah orang tuanya mau menerima diriku ini yang hidupnya belum pasti? yang belum jelas arahnya akan ke mana? hahaha." aku sertakan tawa di akhir pesan agar tak terkesan aku abai pada tawarannya. Aku katakan juga padanya kalau aku saat ini pengangguran, setelah memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku di salah satu production house pada awal tahun kemarin. Aku masih takut dia menganggap aku hidup dengan serba ada, memiliki nominal saldo yang besar pada akun bank, memiliki rumah dan kendaraan yang baik setelah lama tidak berjumpa.

Setelah aku mengatakan tentang diriku apa adanya. Lalu ia mengatakan kalau temannya ini cantik rupanya dan mengatakan padaku untuk jangan takut.

Sebetulnya, dalam menjalin sebuah hubungan, apalagi yang serius seperti pernikahan, aku memiliki paham kenyamanan yang utama. Ya meskipun untuk kesan pertama cantik itu memang perlu. Tetapi, sudah banyak aku temui wanita cantik namun aku tak begitu nyaman saat berbincang dengan mereka, toh hatiku tak jatuh pada mereka. Ya walaupun mereka juga belum tentu mau denganku, tapi poinku dari analogi ini adalah, kalau cantik tapi tidak bikin nyaman, buat apa?

Cantik toh relatif. Cantik di mataku, belum tentu cantik di matamu.

Jika aku mencintai satu wanita yang aku anggap dia cantik, tapi kau melihatnya biasa saja. Ya itu karena aku melihat wanita itu jauh lebih dalam daripada pandangmu. Sebab aku memandanginya dengan cinta dan mengetahui lebih dalam tentang dirinya. Jadi, bagiku bukan cantik yang nomor satu, melainkan kenyamanan adalah segalanya.

Lagi-lagi, bukan maksud hati ingin menolak setiap tawaran yang datang padaku. Tetapi aku memang belum pantas untuk menerima tawaran itu. 

Beberapa waktu lalu juga aku sempat ditawarkan oleh salah satu rekan yang mana beliau seorang pendiri pesantren untuk anak-anak yatim di daerah Sukabumi, beliau juga menanyakan apakah aku sudah ada calon atau belum? dan aku menjawab apa adanya. Dan beliaupun menawarkan aku untuk dijodohkan dengan adik iparnya. Ya bukan aku tak mau. Jujur, mau sekali. Aku mau sekali. Tapi ketika ternyata aku tak sesuai dengan sangkaan mereka bagaimana? 

Jujur, aku takut sekali akan mengecewakan seseorang. Dan aku entah kenapa memiliki keyakinan, kalau mereka yang menawarkan seseorang untuk menjadi pendamping, menganggap hidupku sudah layak membina rumah tangga. Menganggap agamaku baik, menganggap finansialku bagus dan menganggap akhlakku terpuji. Padahal nyatanya aku tidak seperti sangkaan mereka. Semua berbanding terbalik dari yang mereka sangkakan padaku.

Jadi, bukannya aku ingin menolak atau aku tidak ingin menikah. Tapi memang realita kehidupan yang menurut pribadiku sendiri belum layak untuk menuju jenjang sana. Toh kan Allah dalam firmanNya tidak memaksakan seorang hamba yang belum mampi agar menikah. Sama seperti haji, "Jika sudah mampu menikah, maka menikahlah. Jika belum, maka berpuasalah."

Dan lagi pula, aku tak seputus asa itu mencari seorang wanita. Toh aku masih semangat melakukan pencarian seseorang yang akan hidup menua bersamaku. Dan aku sungguh menikmati proses pencarian-pencarian ini. 

Ya, mungkin segini saja dulu untuk catatan kehidupanku. Semoga esok hari, kehidupanku, kehidupanmu dan kehidupan kita semua semakin membaik. 

Dan perlu diingat, aku tidak kesal dengan mereka yang coba mengenalkan seseorang kepadaku. Sebab boleh jadi itu salah satu jalan agar aku menemukan seseorang yang sudah Allah takdirkan. Hanya saja, saat ini aku belum siap dan masih ada banyak pencapaian-pencapaian yang belum aku realisasikan.

Sekian.

Tabik!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun