Terkait pertanyaanku tentang kenapa dia terbesit aku dalam pikirannya untuk menjodohkanku dengan temannya, ia mengatakan kalau aku dan temannya orangnya satu tipe. Ini ia jadikan dalil kecocokan antara aku dan temannya. Entahlah, bagaimana dia bisa menerka seperti itu. Padahal, mengenal diriku saja ia sepertinya tak terlalu. Hanya mengenal diriku dari luar, tidak mengetahui problematikan kehidupan yang sedang aku rasakan.
Sebelum dia membahas lebih jauh tentang rencana perjodohan. Aku kembali menceritakan tentang diriku. Aku katakan padanya, "Apakah orang tuanya mau menerima diriku ini yang hidupnya belum pasti? yang belum jelas arahnya akan ke mana? hahaha." aku sertakan tawa di akhir pesan agar tak terkesan aku abai pada tawarannya. Aku katakan juga padanya kalau aku saat ini pengangguran, setelah memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku di salah satu production house pada awal tahun kemarin. Aku masih takut dia menganggap aku hidup dengan serba ada, memiliki nominal saldo yang besar pada akun bank, memiliki rumah dan kendaraan yang baik setelah lama tidak berjumpa.
Setelah aku mengatakan tentang diriku apa adanya. Lalu ia mengatakan kalau temannya ini cantik rupanya dan mengatakan padaku untuk jangan takut.
Sebetulnya, dalam menjalin sebuah hubungan, apalagi yang serius seperti pernikahan, aku memiliki paham kenyamanan yang utama. Ya meskipun untuk kesan pertama cantik itu memang perlu. Tetapi, sudah banyak aku temui wanita cantik namun aku tak begitu nyaman saat berbincang dengan mereka, toh hatiku tak jatuh pada mereka. Ya walaupun mereka juga belum tentu mau denganku, tapi poinku dari analogi ini adalah, kalau cantik tapi tidak bikin nyaman, buat apa?
Cantik toh relatif. Cantik di mataku, belum tentu cantik di matamu.
Jika aku mencintai satu wanita yang aku anggap dia cantik, tapi kau melihatnya biasa saja. Ya itu karena aku melihat wanita itu jauh lebih dalam daripada pandangmu. Sebab aku memandanginya dengan cinta dan mengetahui lebih dalam tentang dirinya. Jadi, bagiku bukan cantik yang nomor satu, melainkan kenyamanan adalah segalanya.
Lagi-lagi, bukan maksud hati ingin menolak setiap tawaran yang datang padaku. Tetapi aku memang belum pantas untuk menerima tawaran itu.Â
Beberapa waktu lalu juga aku sempat ditawarkan oleh salah satu rekan yang mana beliau seorang pendiri pesantren untuk anak-anak yatim di daerah Sukabumi, beliau juga menanyakan apakah aku sudah ada calon atau belum? dan aku menjawab apa adanya. Dan beliaupun menawarkan aku untuk dijodohkan dengan adik iparnya. Ya bukan aku tak mau. Jujur, mau sekali. Aku mau sekali. Tapi ketika ternyata aku tak sesuai dengan sangkaan mereka bagaimana?Â
Jujur, aku takut sekali akan mengecewakan seseorang. Dan aku entah kenapa memiliki keyakinan, kalau mereka yang menawarkan seseorang untuk menjadi pendamping, menganggap hidupku sudah layak membina rumah tangga. Menganggap agamaku baik, menganggap finansialku bagus dan menganggap akhlakku terpuji. Padahal nyatanya aku tidak seperti sangkaan mereka. Semua berbanding terbalik dari yang mereka sangkakan padaku.
Jadi, bukannya aku ingin menolak atau aku tidak ingin menikah. Tapi memang realita kehidupan yang menurut pribadiku sendiri belum layak untuk menuju jenjang sana. Toh kan Allah dalam firmanNya tidak memaksakan seorang hamba yang belum mampi agar menikah. Sama seperti haji, "Jika sudah mampu menikah, maka menikahlah. Jika belum, maka berpuasalah."
Dan lagi pula, aku tak seputus asa itu mencari seorang wanita. Toh aku masih semangat melakukan pencarian seseorang yang akan hidup menua bersamaku. Dan aku sungguh menikmati proses pencarian-pencarian ini.Â