Mohon tunggu...
djarot daya yuwana
djarot daya yuwana Mohon Tunggu... -

seseorang yang ingin mengetahui segalanya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Purnama (mungkin) Tak Datang

3 November 2010   18:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:52 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

sayup-sayup di lembah raharja terdengar lantunan mantera"padhang wulan",aku menerawang ke ujung kabut.

gunung itu,yang biasa kami,resapi,sang hyang guru gede,mengajarkan,memberi pemahaman,membentuk mental dan karakter kami,setiap 15 penanggalan jawa,kami berkumpul dilembah raharja,melantunkan mantera"padhang wulan"menyambut dewa lang-lang jagad,ya,..kami yakin tuhan menciptakan dunia bukan hanya untuk manusia,

prinsip keseimbangan,yin-yang,.ada yang terlihat ada yang tidak terlihat,ada besar ada kecil,ada hitam ada putih,...

mungkin pembentukan pada diri kami mengkonstruksi pemahaman:"bukan untuk saling memusnahkan,tapi berusaha saling berdampingan,",kikirik belalang dan kicau dekukur malam ini membentuk orkestra alam yang tak mungkin kami lewatkan,

dan kau berkata:adakah guru yang lebih arif dari ini semua teman?,adakah yang lebih bisa ,menempa kita meronce badai,mencecap kabut,dan merangkul terjal?

aku menerawang ke hyang gede,lalu berkata:ibumu dan saudara-saudara kita 15 tahun yang lalu,mereka menjelma purnama,apa mereka sumber kesalahan,ataukah penebus kesalahan?tanyaku,.

kau jawab:bukankah kita yang lebih mengenal semua ini daripada merek-mereka pemuja dunia?,menjelma purnama,aku kira ibuku dan saudara-saudara kita rela,urip mung mampir ngombe,sadermo nglakoni,mereka menjemput hidup yang kasunyatan,jawabmu,..

nanti malam purnama?tanyamu.

ya,mungkin tak datang jawabku..kau hisap dalam-dalam kretek dan menghembuskannya.

kenapa?.

ada peringatan untuk kita segera meninggalakan tempat ini sebelum tengah hari,jawabku..

bagaimana denganmu?kau bertanya.

aku turun,.jawabku

hehehe,kau tertawa kecil dan menatapku tajam,kau takut??aku tetap tinggal,jawabmu..

,terdengar riuh penduduk dan peringatan dari petugas mengarahkan kami turun,apa kau tidak mau menyambut dewa lang-lang jagad?

apa kau tidak mau menyambut ibuku dan saudara-saudara kita,menjelma purnama ?tanyamu,ini sudah garis dan satu keharusan kita sebagai  laskar purnama,menyatu sebagai cahaya purnama,..

gemuruh angin semakin pekat seperti "arabika"yang biasa kita hirup dalam ritual kita menyerap cahaya purnama,abu berterbanagan,seperti halnya hasil bakaran kretek yang biasa kita hisap dalam melafalkan mantera"padhang wulan",setiap lima belas jawa,lembah raharja berpijar,..itukah kau sang laskar purnama??bukankah purnama (mungkin)tak datang malam ini??..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun