Mohon tunggu...
Davin Rianto
Davin Rianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Ekonomi

Mahasiswa yang pragmatis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Virus Cacat Berpikir: Paradoks Masyarakat akan Hak & Kewajiban

9 Desember 2023   20:31 Diperbarui: 9 Desember 2023   21:13 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tuhan, tampakkanlah kepadaku kebenaran sebagai kebenaran dan kuatkanlah aku untuk mengikutinya serta tampakkanlah kepadaku kesalahan sebagai kesalahan dan kuatkan pula untuk menyingkirkannya" 

- Doa Nabi Muhammad, diriwayatkan oleh Imam Ahmad

Baru-baru ini ramai kasus pencemaran nama baik kepada seorang anggota BEM FMIPA UNY berinisial MF. Main hakim pun secara masif terjadi di media sosial khususnya di media X (dulu twitter) dimana MF langsung dihujat habis-habisan terkait dugaan kekerasan seksual yang dilakukan. Padahal setelah investigasi menyeluruh yang dilakukan kepolisian dan pihak kampus, terbukti bahwa dugaan tersebut merupakan skenario buatan yang dibuat oleh adik tingkat MF yang merasa sakit hati karena ditegur di salah satu acara BEM. Pelaku pun sudah resmi ditahan oleh pihak kepolisian dan MF sudah dibebaskan dari segala prasangka nya. Walau terbebas dari segala dugaan, cancel culture yang dilakukan masyarakat berimbas kepada mental MF.

Akibat tindakan main hakim yang dilakukan warganet, nama baik MF tercoreng dan harus dipulihkan atas sesuatu yang tidak dilakukannya. Masyarakat lupa mengenai salah satu prinsip terpenting dalam hukum yaitu Presumption of Innocence yang menegaskan not guilty until proven atau tidak bersalah sebelum terbukti. Kasus ini merupakan pelanggaran berat atas hak asasi manusia dan juga kewajiban masyarakat untuk menghormati seluruh proses hukum dan investigasi yang sedang berlangsung. Alih-alih taat, masyarakat langsung "bersilaturahmi" menyerang MF yang dijebak.

Skenario serupa bisa terjadi kepada siapapun. Orang semulia Yesus Kristus pun menjadi korban cancel culture pada zamannya berujung kepada... saya rasa semua tahu ujungnya. Disini, kita bisa melihat bahwa semua orang ingin dihormati dan dihargai, tapi tidak semua orang mau menghormati dan menghargai. Semua orang ingin didengar tapi tidak semua orang mau mendengar. Semua orang ingin diberikan kesempatan tapi tidak semua orang mau memberikan kesempatan untuk orang lain. Padahal, keduanya adalah hak dan kewajiban yang semua orang harus taati. Ini adalah paradoks besar akan hak dan kewajiban.

Lantas, bagaimana agar kejadian serupa tidak terjadi lagi? Apa antidote untuk virus kecacatan berpikir yang sudah mewabah di masyarakat ini?

Harmonisasi Hak dan Kewajiban

Harmonisasi hak dan kewajiban dapat didefinisikan sebagai proses menyesuaikan dan menyeimbangkan hak dan tanggung jawab individu, kelompok, dan lembaga dalam sistem hukum. Proses ini penting untuk memastikan sistem hukum yang adil dan efektif dalam melindungi hak dan tanggung jawab semua individu. 

Harmonisasi hak dan tanggung jawab sangat penting di Indonesia, negara yang beragam dengan sistem hukum yang kompleks. Konstitusi Indonesia menjamin warga negaranya berbagai hak dasar, termasuk hak untuk hidup, keamanan pribadi, kebebasan beragama, kebebasannya mengekspresikan diri, dan kebebasan berkumpul. Hak-hak ini tidak mutlak karena mereka harus seimbang dengan kewajiban individu untuk menghormati hak-hak orang lain dan untuk mematuhi hukum.

 Namun, selama bertahun-tahun, Indonesia mengalami masalah besar dalam mengharmonisasi hak dan kewajiban. Masalah warga Indonesia yang tidak mematuhi kewajiban-kewajiban mereka masih merajalela. Misalnya, main hakim sendiri adalah contoh umum pelanggaran kewajiban di Indonesia. Di Indonesia, pelaku main hakim melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP. Di sisi lain, korban main hakim sendiri tidak mendapatkan hak mereka untuk mendapatkan keadilan yang tepat sesuai dengan hukum.

Akar Masalah: Cacat Berpikir

Cacat berpikir atau logical fallacy menjadi kata kunci dari akar masalah pada fenomena main hakim sendiri dan cancel culture. Cacat berpikir menjadi benang merah dari kasus-kasus yang sudah disebutkan sebelumnya. 

Segala kasus fenomena sosial harus dilihat dengan kacamata objektif, hal ini penting untuk menilai apa yang sebenarnya terjadi. Pada kasus-kasus tersebut, yang terjadi adalah penilaian masyarakat terselimuti oleh hijab subjektivitas. Padahal, tidak selalu yang terlihat benar itu benar dan yang terlihat salah itu salah. Masyarakat kerap kali lompat pada kesimpulan tertentu yang belum tentu benar dan kehadiran media sosial mempercepat penyuaraan penghakiman subjektif ini. Disinilah cacat berpikir terjadi. Terdapat lompatan proses atau proses yang tidak dilalui yaitu verifikasi objektif atas apa yang sesungguhnya terjadi. Para pelaku hakim sendiri langsung melompat pada kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah tanpa objektivitas dan kebijakan. Efek psikologis tertentu kemudian akan mempengaruhi orang-orang lain untuk turut ikut menghakimi dengan cepat. Disinilah cacat berpikir itu menular seperti virus. Organ manusia yang paling tersakiti oleh virus ini adalah hak asasi, hak untuk didengar, hak untuk dihargai, hak untuk diberikan kesempatan. Jika virus ini terus dibiarkan, umat manusia akan sangat dirugikan.

Pendidikan adalah hal yang sangat berpengaruh terhadap cara berpikir manusia. Sistem pendidikan yang baik akan menghasilkan pola berpikir yang baik. Jika seseorang memiliki kecacatan berpikir, maka tersangka utamanya adalah pendidikan yang dialami orang tersebut. Apa yang salah dari pendidikan orang tersebut sehingga menghasilkan kecacatan berpikir?

Selama berpuluh-puluh tahun, murid-murid di Indonesia dituntut untuk fokus mengejar nilai akhir dan dipaksa untuk belajar dengan sistem yang kaku. Kita bisa melihat betapa sekolah-sekolah menuntut siswanya untuk mengejar nilai Ujian Nasional yang tinggi, mengejar nilai matematika yang tinggi, dan lain-lain. Hal ini tidak sepenuhnya salah, namun kita kerap kali melupakan hal yang sangat penting, yaitu proses belajar dan kemampuan serta minat tiap anak yang berbeda-beda. Kita tidak bisa memaksa monyet untuk berenang atau ikan untuk memanjat pohon. Semua anak memiliki minat dan kemampuannya masing-masing. Tidak semua anak suka dan ahli di fisika dan tidak semua anak suka dan ahli di sejarah. Terlalu berorientasi pada nilai akhir akan menyebabkan satu mindset yang sangat berbahaya: menghalalkan segala cara. Anak-anak bisa tidak memahami pentingnya berintegritas dan percaya pada kemampuan sendiri. Padahal, dengan percaya pada kemampuan sendiri ketika belajar penting untuk tiap individu dapat mengukur kemampuan diri sesungguhnya dengan objektif. Namun, bagaimana anak-anak di Indonesia dapat percaya dengan kemampuannya sendiri jika yang ditekankan hanya nilai, nilai, dan nilai. Pendidikan perlu memberikan ruang bagi para siswa untuk meng-explore minat dan kemampuannya sendiri. Disinilah kesalahan besar banyak sekolah di Indonesia. Mungkin tanpa kita sadari, hal ini telah menyebabkan kecacatan berpikir multi-generasi. 

Selain sekolah, institusi terpenting dalam pendidikan adalah keluarga. Keluargalah orang-orang yang paling dekat dengan seorang anak. Tak dapat dipungkiri, peran orangtua sangat penting dalam membentuk karakter seorang anak. Apa yang dilakukan orangtua, terlepas dari apakah orangtua tersebut ingin anaknya meniru kelakuannya atau tidak, pasti akan dilihat oleh sang anak dan hal itu akan menjustifikasi kelakuan anak tersebut di kemudian hari. Ekspektasi orangtua terhadap anaknya juga menjadi sangat penting. Orangtua yang memaksa anaknya untuk belajar apa yang anaknya tidak sukai dan memaksa anaknya untuk fokus mengejar nilai ujian yang tinggi juga merupakan kesalahan besar. Hal ini sama saja dengan memaksa anak untuk melupakan jati dirinya sendiri dan tidak sadar akan pentingnya proses berpikir.

Pendidikan dari kecil akan memberikan pengaruh signifikan terhadap cara berpikir dan bertindak seseorang ketika sudah dewasa. Berbagai temuan dari jurnal penelitian psikologis dan sosiologis menunjukkan bahwa pendidikan dapat mempengaruhi perkembangan sikap, karakter, perilaku sosial, emosi, dan konsep diri seseorang. 

Penelitian yang membuktikan kegagalan dalam pendidikan dapat menyebabkan kecacatan berpikir telah dilakukan oleh berbagai peneliti. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari University of Oxford, Inggris. Penelitian ini menemukan bahwa anak-anak yang putus sekolah memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kecacatan berpikir. Penelitian ini melibatkan 1.200 anak-anak berusia 10-15 tahun. Anak-anak tersebut diuji kemampuan berpikirnya, termasuk kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang putus sekolah memiliki skor yang lebih rendah pada tes kemampuan berpikir tersebut.

Penelitian lain yang juga membuktikan kegagalan dalam pendidikan dapat menyebabkan kecacatan berpikir dilakukan oleh peneliti dari University of California, Los Angeles. Penelitian ini menemukan bahwa orang dewasa yang tidak berpendidikan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kecacatan berpikir. Penelitian ini melibatkan 2.000 orang dewasa berusia 25-64 tahun. Orang-orang tersebut diuji kemampuan berpikirnya, termasuk kemampuan berpikir abstrak, berpikir logis, dan berpikir kreatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa yang tidak berpendidikan memiliki skor yang lebih rendah pada tes kemampuan berpikir tersebut.

Pengaruh Media Sosial

Media sosial menjadi sebuah variabel yang tidak terpisahkan dari kehidupan anak muda dan dunia modern saat ini. Media sosial dapat memberikan banyak manfaat bagi dunia pendidikan seperti meningkatkan aksesibilitas materi pembelajaran. Kehadiran platform belajar seperti ruangguru, brainly, dan chegg tidak lepas dari kehadiran media sosial sebagai sarana pemasarannya. Selain itu, media sosial juga dapat meningkatkan interaksi antara tenaga pendidik dan juga yang terdidik. Guru-guru bisa berkomunikasi dengan siswa lebih leluasa begitupun juga para murid. Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial juga bisa menjadi sarana main hakim sendiri atau cancel culture seperti kasus diatas. Adanya platform seperti instagram, X (twitter), dan lainnya membuat berpendapat dan menyampaikan aspirasi menjadi sangat praktis, apalagi untuk menjangkau banyak orang. Sayangnya alih-alih dipakai untuk penyebaran informasi yang bermanfaat, justru adanya media sosial membuat cyber bullying semakin marak dan menciptakan banyak kasus yang serupa dengan kasus MF.

Salah satu pedang bermata dua dalam media sosial adalah anonimitas. Seseorang seringkali terlihat berbeda di dunia maya dan lebih berani karena sejatinya identitas asli siapapun bisa disembunyikan di media sosial. Hal ini dapat membantu misalnya korban kekerasan atau pelecehan untuk speak up dan menggapai perhatian massa namun di satu sisi dapat menjadi senjata makan tuan untuk pelaku hate speech dan penyebar hoax bisa semakin moncer melaksanakan aksinya. Adanya imajinasi disosiatif dalam dunia maya menurut jurnalis Nabil Basalamah di salah satu webinar yang diselenggarakan Kementerian Kominfo membuat orang berpikir bahwa realitas di dunia nyata dan maya itu berbeda, bahwa tidak ada konsekuensi dari tindakan yang dilakukan di dunia maya. Hal inilah yang berbahaya dari anonimitas, pengguna media sosial bisa bermain "Tuhan" dengan mengesampingkan hak dan kewajiban yang harus dijalani. Inilah mengapa pendidikan tentang etika di dunia maya harus dicanangkan sedari usia belia.

Jika dilihat lagi dari kacamata pendidikan, ketika anak-anak dihadapkan dengan sistem pendidikan yang kurang kompeten, mereka akan tumbuh menjadi melanggar norma dan etika di Indonesia. Dengan tidak mempelajari hak dan kewajiban manusia di Indonesia, anak-anak tidak akan menyadari hak-hak yang mereka miliki dan kewajibannya yang harus dipenuhi.

Intinya, kesalahan terbesar pendidikan adalah penekanan berlebihan pada pengujian standar dan pembelajaran hafalan di sekolah. Gaya pendidikan seperti ini mendorong peserta didik untuk memuntahkan kembali apa yang telah diajarkan daripada berpikir kritis. Oleh karena itu, untuk membentuk logika berpikir yang benar, diperlukan pendekatan dalam pembelajaran yang dapat menjadi panduan bagi pendidik, orang tua, dan pengasuh dalam membentuk karakter anak sejak usia dini. Pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran berbasis proyek adalah beberapa pendekatan yang dapat membantu peserta didik mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang dapat diterapkan pada berbagai situasi dunia nyata. Dalam hal ini, penting bagi para pendidik untuk terus memasukkan pemikiran kritis ke dalam pembelajaran mereka dan mendorong peserta didik untuk berpikir kritis agar dapat menghindari cacat berpikir atau logical fallacies.

Kesimpulan

Paradoks antara hak dan kewajiban masyarakat Indonesia telah memperlihatkan betapa bobroknya kualitas masyarakat kita. Kita sudah melihat berbagai kasus sosial di Indonesia yang ditanggapi dengan penuh subjektivitas dan penilaian yang tidak adil. Masyarakat dengan mudah menghakimi kasus dan menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar. Ketika si tertuduh terbukti tidak bermasalah, siapa yang bertanggungjawab? Hanya nama baik si tertuduh yang hancur berkeping-keping. Hal ini disebabkan oleh virus kecacatan berpikir massal. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari faktor pendidikan masyarakat baik oleh sekolah maupun keluarga. Pendidikan yang baik akan memberikan pola berpikir yang baik, sementara pendidikan yang salah akan memberikan kecacatan berpikir. Kesalahan pendidikan menjadi tersangka utama dari menyebarnya virus kecacatan berpikir ini. Maka dari itu, perlu adanya perhatian lebih dari pemerintah untuk memperbaiki sistem pendidikan di Indonesia, dimana pendidikan akan lebih difokuskan ke pengembangan pengetahuan dan keterampilan serta minat dan bakat yang dibarengi dengan pengembangan critical thinking sejak dini. Alhasil, siswa-siswi dapat dibekali dengan norma dan etika yang sesuai dengan nilai-nilai di Indonesia, serta hak dan kewajiban di Indonesia dapat berjalan dengan selaras kedepannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun