Kekeliruan berujung ketakjuban.
Perjalanan saya dimulai dengan niat awal berkunjung ke Kampung Purbayan, Kotagede. Sayangnya, pencarian lokasi utama di internet tidak mengantarkan saya ke lokasi kampung wisata yang saya harapkan─sebuah kampung kecil dengan atraksi menarik di dalamnya─melainkan ke sebuah Sekretariat Kampung Wisata Purbayan.
Letak sekretariat berjarak 80meter dari Masjid Gedhe Mataram, tepatnya di sebelah kiri Jalan Masjid Gedhe dari arah Utara. Jika sebuah plang bulat oranye bertuliskan "Kampung Wisata Purbayan" sudah terlihat, tepat di bawah penanda itulah terdapat gerbang masuk menuju sekretariat kampung.
Saat saya memasuki gerbang kampung, terihat beberapa tukang yang sedang bekerja. “Ngapunten pak, niki badhe didamel nunapa nggih?” tanya saya tentang proyek yang sedang digarap. “Didamel taman mbak,” jawab salah satu Bapak bahwa lahan tersebut akan dibuat taman. Ketika saya bertanya mengenai prosedur memasuki kampung wisata, Bapak mengarahkan saya ke sekretariat, “Mbak coba ke sekretariat, biasanya ada orang di sana.”
Sekitar tujuh langkah dari proyek taman, tepat di sebelah kanan terdapat satu rumah bercirikan arsitektur lawas dan bercantumkan plang sekretariat di bagian teras. Saya pun mencoba masuk untuk mendapatkan informasi dari penjaga di dalam. Namun, setelah beberapa kali mengetuk pintu dan tidak ada jawaban, saya memutuskan berkeliling di sekitar ruang tamu untuk menggali informasi melalui poster-poster yang tertempel pada dinding dan beberapa pajangan di atas meja. Informasi yang tersedia cukup lengkap, seperti denah kampung, poster paket wisata, piagam penghargaan, dan juga barcode situs resmi Kampung Wisata Purbayan.
Dari beberapa informasi yang tersedia, sedikitnya membuat saya berpikir bahwa sekretariat ini adalah pusat informasi bagi pengunjung sebelum menjelajah Kampung Wisata Purbayan, sehingga tak heran jika rute lokasi utama di internet diarahkan ke sekretariat.
Rasa penasaran terhadap kampung wisata ini mengantarkan saya untuk menelusuri area permukiman lebih dalam dengan harapan bisa menemukan daya tarik wisata, seperti bentuk rumah-rumah lawas yang unik dilengkapi dengan fasilitas wisata pendukung. Penelusuran diawali pada lorong bagian kanan dari pertigaan kampung di sekitar sekretariat. Yang saya temui hanyalah rumah-rumah sederhana milik warga yang belum terkelola sebagai kampung wisata.
Tidak puas dengan hasil eksplorasi di satu lorong saja, saya beranjak ke lorong lain melewati Mushola Al-Mudzakir yang rupanya memberi sedikit harapan bagi saya karena mulai terlihat perbedaan warna dan arsitektur pada bangunan warga.
Penelusuran lorong demi lorong terus berlanjut hingga mengantarkan saya pada sebuah lorong permukiman warga yang unik dan terkesan tradisional. Ketika ditelusuri dari pintu masuk, permukiman ini bernama Between Two Gates atau 'di antara dua gerbang'.
Arsitektur fasad lawas yang cantik, dilengkapi padu padanan warna rumah warga yang ciamik memberi suasana hangat begitu saya menginjakkan kaki di lorong permukiman ini. Aktivitas warga yang minim serta terjaganya kebersihan di sepanjang lorong memberi kenyamanan ketika saya menelusurinya.
Penggunaan pintu kayu tradisional di setiap rumah serta pewarnaan bangunan yang didominasi coklat-putih semakin mendukung terciptanya suasana lawas di sepanjang lorong. Lorong permukiman ini sudah dilengkapi dengan fasilitas wisata yang cukup memadahi, seperti tempat sampah berdesain kayu yang tersedia di sepanjang lorong dan wastafel yang tersedia tepat setelah gerbang masuk. Menariknya lagi, Between Two Gates sudah termasuk ke dalam bangunan warisan budaya sejak tahun 2012.
Sekilas informasi untuk menghindari kekeliruan (seperti saya), Between Two Gates merupakan salah satu daya tarik di Kampung Wisata Purbayan. Daya tarik di Kampung Wisata Purbayan meluas pada seluruh area Purbayan, sehingga atraksi wisatanya terpisah satu sama lain.
jalan. Kafe ini terbagi menjadi dua area karena menggunakan pendopo dan rumah warga yang letaknya berseberangan.
Lanjut, perjalanan saya menelusuri Between Two Gates sampai di Longkang Kotagede, sebuah kafe berkonsep lawas di lorong permukiman yang tak henti menarik perhatian saya karena semerbak aroma kopi yang tercium di sepanjangRupanya, setiap pendopo di sini dimiliki oleh setiap keluarga dan letaknya selalu berhadapan dengan rumah utama.
“Di sini hanya ada sembilan kepala mbak, pendopo ini dimiliki oleh setiap kepala rumah. Letak pendopo selalu sejajar dengan rumah utama. Pendopo menghadap ke utara, sedangkan rumah utama menghadap selatan.”
Jelas salah satu barista Longkang ketika saya bertanya mengenai tata letak permukiman di sana. Tidak selesai disitu, penjelasan barista berlanjut,
“Ada alasannya mbak. Kalau peneliti arsitektur bilang letak rumah utama menghadap selatan (Pantai Selatan) karena intensitas angin di malam hari lebih banyak. Tapi ada juga yang bilang alasannya karena rumah warga ga boleh menghadap Keraton (utara).”
Keterbukaan barista untuk menjelaskan beberapa pertanyaan terkait permukiman ini memantik saya untuk melontarkan pertanyaan berikutnya, “Mbak, ini ini kok bisa dinamain Between Two Gates, awalnya gimana ya?” Pertanyaan tersebut direspon dengan ramah,
“Yang namain sebenernya mahasiswa Arsitektur UGM yang sedang penelitian di sini mbak. Mereka melihat lorong permukiman ini diapit oleh dua gerbang maka jadilah Between Two Gates. Nanti kalau mbak jalan terus, akan ketemu sama ujung gerbang lainnya. Nah, dulu namanya bukan Between Two Gates, tapi gang rukun. Sempat dinamakan gang rukun karena memang masyarakat di sini sangat menjunjung tinggi kerukunan, bahkan sampai sekarang. Contohnya, masyarakat di sini rela membagi lahan mereka untuk akses jalan keluar masuk masayarakat sekitar. Selain itu, pendopo milik warga juga sering difungsikan sebagai tempat berkumpul atau berdiskusi.”
Setelah mendapat beberapa informasi menarik dari percakapan singkat tersebut, barista merekomendasikan saya untuk berkeliling ke dalam ruangan kafe, “Silakan mbak, masuk aja lihat-lihat.” Akhirnya saya memutuskan berkeliling pada area kafe sisi utara yang menggunakan rumah warga.
Kafe ini di dalamnya terbagi menjadi beberapa ruangan lain. Ada ruangan yang dilengkapi pajangan rak buku dan properti lawas, adapun taman outdoor yang didominasi warna hijau segar. Setiap properti dipoles dan ditempatkan dengan sangat rapi serta terawat.
Perjalanan saya berlanjut usai mengabadikan momen pada ruangan-ruangan di Longkang Kotagede. Pertemuan saya dengan ujung gerbang bagian timur menjadi akhir dari perjalanan saya menelusuri Between Two Gates. Pengalaman yang sangat berkesan untuk saya bisa menemukan sebuah permukiman cantik yang menyisakan jejak peninggalan sejarah Mataram Islam.
Walau perjalanan kali ini minim bekal informasi, penuh kekeliruan ekspektasi, dan hanya bermodal tekad yang tinggi, namun bisa mengantarkan saya ke pintu gerbang permukiman cantik, Between Two Gates, yang belum pernah saya ketahui sebelumnya. Seru sekali!
Untuk berkunjung ke Between Two Gates, lokasinya sangat mudah ditemukan di Google Maps. Sesampainya di sana, kamu dapat memarkirkan kendaraan di kantong parkir Masjid Gedhe Mataram atau di lahan parkir yang terletak di seberang gerbang masuk Between Two Gates. Tidak ada jam operasional pada lokasi ini, alias buka 24 jam. Namun, saya sangat menyarankan untuk tidak melakukan kunjungan pada malam hari karena dapat mengganggu waktu istirahat warga.
Untuk mengunjungi daya tarik lain di Kampung Wisata Purbayan, kamu dapat memperoleh informasi lengkap di Instagram @kamwispurbayan yang sudah terafiliasi dengan situs resmi dan narahubung pihak terkait.
Jadi, tertarik untuk datang ke sana? Jangan lupa ceritakan perjalananmu ketika berkunjung, ya!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI