Mohon tunggu...
DAVINA GABBY IRAWATI
DAVINA GABBY IRAWATI Mohon Tunggu... Lainnya - Airlangga University

Psychology student at Airlangga University '23

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Benarkah Media Sosial Ruang Ramah untuk Semua?

28 Mei 2024   13:06 Diperbarui: 28 Mei 2024   13:23 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: dokumen penulis

Awal abad 21 menandai kemunculan dan pertumbuhan situs jejaring sosial di seluruh dunia. Banyak individu menggunakan media sosial untuk membangun hubungan, terhubung dengan dunia luar yang belum mereka ketahui, berbagi dan mendapatkan pengetahuan dan informasi, serta mengharapkan perubahan pada kehidupan sosial agar menjadi lebih baik (Yin & Abdullah, 2024). 

Media sosial tersebar luas, terutama situs jejaring sosial (SNS) populer seperti Facebook, Twitter, dan Instagram yang memiliki lebih dari satu miliar pengguna di seluruh dunia. SNS memungkinkan pengguna untuk membangun profil elektronik untuk diri mereka sendiri, memberikan rincian tentang kehidupan dan pengalaman mereka, memposting gambar, merencanakan acara sosial, bertemu orang baru, melakukan pengamatan terhadap kehidupan orang lain, memenuhi kebutuhan rasa memiliki, dan mengekspresikan keyakinan, preferensi, dan emosi (Kelly, dkk., 2018). 

Di lain sisi, di balik banyaknya manfaat yang dibawa media sosial, ada aspek yang sering kali terabaikan oleh masyarakat yaitu semakin tertanamnya gender bias pada masyarakat. Dampak gender bias dalam bersosial media mencakup berbagai masalah yang dapat merugikan individu, terutama bagi mereka yang menjadi korban dari bias tersebut. Hal ini dapat menyebabkan perasaan rendah diri, kecemasan tubuh, dan gangguan secara fisik dan mental pada korban (Keyes & Platt, 2024). 

Hal ini digambarkan pada survei yang dilakukan pada subjek wanita dalam konteks bersosial media, dimana ditemukan 89% dari mereka pernah merasakan perasaan tidak nyaman dan merasa dirugikan karena komentar orang lain saat bersosial media (Directorate-General for Internal Policies of the Union, 2023). Oleh karena itu, dengan artikel ini, akan dibahas lebih mendalam tentang gender bias dalam sosial media terutama berkaitan dengan tantangan dan solusinya untuk mengurangi kejadian tersebut di lain hari.

Gender bias secara definisi berdasarkan Gala dkk. pada 2020 merujuk pada pandangan atau sikap yang tidak adil atau diskriminatif terhadap seseorang berdasarkan jenis kelamin atau identitas gender mereka. Hal ini dapat mencakup perilaku atau keputusan yang didasarkan pada stereotip gender, penilaian yang tidak adil, atau perlakuan yang tidak setara antara individu berdasarkan jenis kelamin mereka. Dalam konteks media sosial, gender bias dapat tercermin dalam berbagai cara, termasuk dalam konten yang diposting, interaksi antar pengguna, dan kebijakan platform itu sendiri (Yin & Abdullah, 2024).

Salah satu subjek yang sering menjadi korban dari gender bias di media sosial adalah perempuan dimana kejadian paling umum adalah mengalami pelecehan atau intimidasi online yang ditujukan pada gender mereka, seperti komentar yang merendahkan atau ancaman kekerasan seksual (Gala, dkk., 2020). 

Perempuan juga dapat menjadi target dari stereotip gender dalam konten yang diposting, seperti gambar-gambar yang menempatkan mereka dalam peran tradisional atau mewajibkan standar kecantikan yang tidak realistis. Wanita seringkali dinilai berdasarkan standar moral dan etika yang lebih ketat daripada pria (Directorate-General for Internal Policies of the Union, 2023). 

Sebuah postingan yang mungkin dianggap biasa-biasa saja jika diposting oleh pria, dapat dengan mudah dipandang sebagai "terlalu terbuka" atau "tidak pantas" jika diposting oleh seorang wanita. Stereotip ini menciptakan double standard yang tidak adil dalam penilaian terhadap perilaku online wanita. Postingan yang sebenarnya tidak memiliki unsur yang merugikan atau terlalu terbuka dapat dengan mudah diinterpretasikan secara negatif oleh orang lain. Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak aman dan tidak ramah bagi wanita untuk berpartisipasi secara bebas di media sosial (Yin & Abdullah, 2024).

Namun demikian, penting untuk diingat bahwa tidak hanya perempuan yang menjadi korban dari gender bias di media sosial. Pria juga dapat mengalami tekanan untuk memenuhi stereotip maskulinitas yang sempit dalam konten yang diposting atau dalam interaksi antar pengguna (Friedman, dkk. 2020). Oleh karena itu, penting untuk mengakui bahwa semua individu dapat menjadi korban dari gender bias di media sosial, meskipun dampaknya mungkin berbeda tergantung pada identitas gender dan faktor-faktor lainnya (Keyes & Platt, 2024).

Terdapat beberapa tantangan untuk mengurangi adanya gender bias dalam bersosial media. Salah satu hambatan terbesar adalah keterikatan kuat tradisi dan norma budaya yang telah tertanam dalam masyarakat selama bertahun-tahun (Usher, Holcomb, & Littman, 2018). 

Norma-norma ini mempengaruhi pola pikir dan perilaku individu, serta struktur sosial secara keseluruhan. Perubahan dalam norma-norma budaya memerlukan upaya yang berkelanjutan dan konsisten, serta dukungan dari berbagai pemangku kepentingan di masyarakat. 

Selain itu, mengubah gender bias juga dihadapi dengan resistensi dari mereka yang diuntungkan oleh ketidaksetaraan gender. Ada ketakutan bahwa perubahan tersebut dapat mengancam posisi atau keuntungan yang telah mereka nikmati dalam struktur sosial yang ada. 

Resistensi ini dapat menghambat upaya-upaya untuk memperkenalkan kebijakan atau program-program yang mendukung kesetaraan gender. Oleh karena itu, pendekatan yang bijaksana dan strategis diperlukan untuk membangun dukungan yang kuat untuk perubahan tersebut (Hakim, F. N., 2019).

Tidak kalah pentingnya adalah tantangan internalisasi gender bias oleh individu. Banyak orang secara tidak sadar menginternalisasi pandangan-pandangan yang tidak setara tentang gender dari lingkungan sekitar mereka. Bahkan ketika mereka sadar akan ketidaksetaraan gender, mereka mungkin masih terperangkap dalam pola pikir yang memperkuatnya. Salah satu contohnya adalah ketika memberikan komentar atau kritik yang saling berlebihan terhadap penampilan atau pilihan hidup wanita yang satu dengan lainnya (Nascimento, Cavalcanti, & Da Costa-Abreu, 2022). 

Misalnya, seorang perempuan mungkin secara tidak sadar membandingkan penampilan fisiknya dengan perempuan lain dan memberikan komentar yang merendahkan tentang berat badan atau penampilan mereka. Hal ini tidak hanya merugikan bagi yang diberi komentar, tetapi juga memperkuat standar kecantikan yang sempit dan tidak realistis dalam masyarakat (Friedman, dkk. 2020).

Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi setiap individu untuk meningkatkan kesadaran akan dampak negatif dari internalisasi gender bias di media sosial (Yin & Abdullah, 2024). Selain itu, membangun dukungan sosial yang kuat dan mendukung satu sama lain dalam mengatasi tekanan dan ekspektasi yang tidak realistis juga dapat membantu mengurangi dampak negatif dari gender bias di media sosial. Mengubah pola pikir yang sudah terinternalisasi ini memerlukan upaya yang berkelanjutan, termasuk refleksi diri yang mendalam, pendidikan yang mendalam tentang kesetaraan gender, dan pembentukan kesadaran akan dampak dari tindakan dan sikap kita. 

Dengan demikian, mengubah gender bias bukanlah tugas yang mudah, tetapi dengan kesadaran, pendidikan, dan tindakan yang tepat, perubahan yang positif dapat dicapai dalam jangka panjang. Platform media sosial juga perlu mengambil langkah-langkah untuk melindungi pengguna dari pelecehan dan penilaian yang tidak adil, termasuk melalui kebijakan yang ketat dan mekanisme pelaporan yang efektif (Directorate-General for Internal Policies of the Union, 2023).

Dengan kesadaran yang meningkat tentang dampak gender bias dan tindakan yang tepat dari semua pemangku kepentingan, maka dapat menciptakan solusi lingkungan online yang lebih inklusif dan aman bagi semua individu, tanpa memandang jenis kelamin atau identitas gender mereka sehingga tercapai kesetaraan gender dimana memiliki hak yang sama dan keseimbangan kekuasaan, status, peluang, serta keamanan atau kebebasan dari kekerasan. Sebuah media sosial yang adil dan ramah akan menjadi ruang yang lebih baik untuk berbagi pengalaman, berinteraksi, dan membangun koneksi yang bermakna di dunia digital yang semakin terkoneksi.

Davina Gabby Irawati, mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

REFERENSI

Friedman, S. E., Schmer-Galunder, S., Chen, A., Goldman, R. P., & Ausman, M. (2020). Gender Gaps Correlate with Gender Bias in Social Media Word Embeddings. In CogSci.

Gala, D., Khursheed, M. O., Lerner, H., O'Connor, B., & Iyyer, M. (2020, November). Analyzing gender bias within narrative tropes. In Proceedings of the Fourth Workshop on Natural Language Processing and Computational Social Science (pp. 212-217).

Hakim, F. N. (2019). Internalisasi Nilai Kesetaraan Gender di Era Otonomi Daerah. Media Informasi Penelitian Kesejahteraan Sosial, 43(3), 279-288.

Kelly, Y., Zilanawala, A., Booker, C., & Sacker, A. (2018). Social media use and adolescent mental health: Findings from the UK Millennium Cohort Study. EClinicalMedicine, 6, 59-68.

Keyes, K. M., & Platt, J. M. (2024). Annual Research Review: Sex, gender, and internalizing conditions among adolescents in the 21st century--trends, causes, consequences. Journal of child psychology and psychiatry, 65(4), 384-407.

Nascimento, F. R., Cavalcanti, G. D., & Da Costa-Abreu, M. (2022). Unintended bias evaluation: An analysis of hate speech detection and gender bias mitigation on social media using ensemble learning. Expert Systems with Applications, 201, 117032.

Parlamento europeo. Directorate-General for Internal Policies of the Union, Park, K., Ging, D., Murphy, S., & McGrath, C. (2023). The impact of the use of social media on women and girls. European Parliament.

Usher, N., Holcomb, J., & Littman, J. (2018). Twitter makes it worse: Political journalists, gendered echo chambers, and the amplification of gender bias. The international journal of press/politics, 23(3), 324-344.

Yin, Q., & Abdullah, K. B. B. (2024). Analysis of Gender Discourse Bias and Gender Discrimination in Social Media: A Case Study of the TikTok Platform. Journal of Intercultural Communication, 93-102.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun