Mohon tunggu...
David Tobing
David Tobing Mohon Tunggu... -

Jurnalis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menimbang Pembubaran DPR - Suatu Tanggapan

2 Maret 2011   06:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:08 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

TM Dhani Iqbal mengajukan proposal pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Proposal pembubaran DPR ditopang argumentasi (1) argumentasi historis terkait keberadaan lembaga legislatif itu pada masa penjajahan Belanda, (2) argumentasi kontekstual yang meliputi ketakefisienan dalam penyelesaian masalah serta ketaksesuaian lembaga legislatif dengan semangat desentralisasi pascareformasi 1998. Proposal pembubaran DPR pada tingkatan nasional diikuti penguatan kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta pembentukan DPR hanya sebatas tingkatan Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya.

Terkait argumentasi historis yang menyatakan bahwa lembaga legislatif hanyalah sekadar perpanjangantangan Belanda untuk mengelola koloni yang berada di kawasan tropis khatulistiwa, agaknya tidak dapat dibenarkan sepenuhnya. Dari sudut pergerakan kemerdekaan Indonesia, dekade awal permulaan abad 20, keberadaan Volksraad tidak dapat disepelekan begitu saja. Volksraadmerupakan wahana bagi Soetomo dan Thamrin dalam menjalankan program politik kooperasi demi memerdekakan Indonesia—Indonesia dalam hal ini mengacu pada daerah-daerah yang berada dalam kekuasaan Belanda atau setidaknya menjalin relasi politik atau ekonomi dengan Belanda di mana relasi tersebut bersifat eksploitatif dan hanya menguntungkan Belanda. Dari sudut yang berbeda, pergerakan yang menggali inspirasi dari program politik non-kooperasi—sebagaimana yang diyakini Soekarno, juga Hatta—keberadaan Volksraad hanyalah akal-akalan Belanda.

Terkait argumentasi kontekstual yang menyoal ketakefisienan lembaga legislatif dalam menyelesaikan masalah serta ketaksesuaian karakter sentralistik DPR dengan semangat desentralisasi sepintas lalu memang tampak meyakinkan. Ketakefisienan lembaga legislatif dalam menyelesaikan permasalahan seakan-akan melupakan adanya institusi lain yang juga berdiri di atas kedaulatan rakyat, yaitu eksekutif dan yudikatif. Melalui cara pandang demikian, ketakefisienan lembaga legislatif tidak hanya dibaca sebagai kegagalan lembaga legislatif menjalankan peran dan fungsi—melainkan juga turut mempersoalkan kemacetan mekanisme koreksi (check and balance) antar lembaga kekuasaan yang ada. Mekanisme koreksi berfungsi menjamin adanya koreksi dalam pelaksanaan kekuasaan sekaligus memproteksi institusi kekuasaan dari kemungkinan terjadinya korupsi.

Di sisi lain, ketakefisienan lembaga legislatif memang tak hanya disebabkan oleh kemacetan mekanisme koreksi antar lembaga kekuasaan. Problem ketiadaan ideologi dari partai, partisipasi publik hingga perilaku banal para legislator pun menjadi akar ketakefisienan lembaga legislatif. Sebetulnya, atas ketakefisienan kerja legislator mendapatkan sanksi publik melalui pemilihan umum. Idealnya, publik memantau kinerja lembaga legislatif secara detail, menyangkut kelakukan legislator hingga penampilan prestasi partai, demi mendapatkan data yang cukup dalam pengambilan keputusan pada saat pemilihan umum. Dalam kondisi ideal, penurunan suara partai dan kegagalan seorang legislator kembali menjabat adalah sanksi publik atas performa partai dan legislator yang buruk selama masih menjabat. Sialnya, program politik demikian membutuhkan kualitas kesadaran tertentu—utamanya, karakter kesadaran yang tak mempan dengan sogokan uang.

Dari titik tolak yang demikian, argumentasi kontekstual atas ketakefisienan lembaga legislatif seperti lalai memperhatikan pragmatisme yang menjadi satu-satunya orientasi dalam kegiatan politik. Pragmatisme menempatkan kerja politik sama dengan industri. Akibatnya, terjadi transformasi dari kerja politik yang berupaya menghasilkan karya menjadi kerja politik yang sebatas menghasilkan komoditi sebagaimana industri, bahkan malah hanya menghasilkan sampah.

Ada pun hal menyangkut karakter sentralistik DPR dalam semangat desentralisasi tak lain adalah penyuaraan dengan model demokrasi macam apa yang sebaiknya diterapkan di Indonesia. Jauh sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945, proyeksi tentang demokrasi macam apa yang diterapkan memang cukup menggangu. Pemikir dan pejuang kemerdekaan Indonesia pada dekade awal abad 20 memang bersepakat menggagas demokrasi sebagai pendasaran kekuasaan pada kedaulatan rakyat di mana kesejahteraan rakyat merupakan orientasi pelaksanaan kedaulatan rakyat. Problemnya, ‘rakyat’ yang dimaksud mengacu pada situasi aktual di Hindia Belanda di mana ada begitu banyak keragaman budaya.[1]

Demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat memang menjanjikan sesuatu yang ideal. Problem muncul ketika apakah ‘rakyat’ Indonesia sudah sanggup menyelenggarakan pemerintahan yang efektif, yang mampu mewujudkan kesejahteraan? Situasi keterbelakangan pendidikan, perbedaan tingkat kecerdasan, perbedaan kepedulian politik, perbedaan budaya dan segudang perbedaan lainnya perlu dipahami agar gagasan demokrasi Indonesia benar-benar mendarat di atas tanah—tak sekadar mengembara di cakrawala. Menimbang kekhasan rakyat Indonesia, Hatta mengusulkan kedaulatan rakyat yang terdesentralisasi; Soepomo, mirip dengan Hatta, menghendaki adanya penguatan masyarakat-masyarakat lokal dan otonom; Semaun mengusulkan pembentukan dewan regional yang otonom, berdasarkan suku, dan dipilih oleh penduduk setempat sebagai ekspresi demokrasi Indonesia; Soekarno menekankan pada demokrasi tidak sebatas lingkup politis, melainkan juga pada lingkup ekonomi—sosio-demokrasi sebagai identitas demokrasi Indonesia; bahkan Agus Salim mengusulkan demokrasi Islami sebagai demokrasi Indonesia.[2]

Bertitiktolak dari perdebatan tentang perancangan demokrasi Indonesia, tampaknya semangat desentralisasi pascareformasi 1998 merupakan bagian esensial dari pemikiran demokrasi Indonesia—tentunya disamping alasan praktis yang sudah disampaikan Iqbal, yaitu upaya meredam kehendak daerah untuk merdeka. Ekspresi paling tajam dari kesadaran akan keberagaman Indonesia adalah federalisme. Hatta, Tan Malaka, Sukiman, Ratu Langie yakin pada gagasan federalisme sebagai manifestasi demokrasi Indonesia.

Persoalan yang muncul dari argumentasi Iqbal, apakah denyut desentralisasi harus menggusur karakter sentralistik—ditandai oleh keberadaan DPR—dalam demokrasi Indonesia? Menurut saya, jawaban atas pertanyaan ini kembali pada apa itu Indonesia. Indonesia tidak hanya dibangun oleh adanya unsur-unsur lokalitas yang kuat, melainkan juga ditopang oleh adanya dimensi supra-lokal atau yang bersifat nasional. Adanya tegangan antara lokalitas dan nasional dalam pembentukan Indonesia menjadi salah satu argumen untuk tetap mempertahankan adanya karakter sentralistik dalam demokrasi Indonesia.

Dari telaah yang demikian ringkas, saya pikir proposal pembubaran DPR harus dievaluasi lebih lanjut. Implikasi pembubaran DPR berdampak pada pembubaran ‘rakyat’ yang berarti peniadaan demokrasi. Persoalan menjadi semakin ruwet ketika peniadaan DPR pada tingkat nasional ternyata diikuti pembatasan keberadaan DPR hanya di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Kejanggalan demikian memunculkan pertanyaan serius: lantas, apa yang menyatukan Indonesia? Para pemikir Pujangga Baru—Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Armijn Pane—berupaya mati-matian menyatukan segala hal, mulai dari budaya dan nilai intelektual Barat sekaligus budaya-budaya lokal yang ada demi mendapatkan sesuatu yang disebut sebagai Indonesia. Ilustrasi dari apa yang dilakukan para pemikir Pujangga Baru mengajarkan tentang perlu adanya suatu postulat yang mampu menyatukan Indonesia.[3]

Pada titik paling puncak, bukankah kehilangan postulat tentang ‘satu Indonesia’ berarti pula menghancurkan makna dari Bhinneka Tunggal Ika? Bukankah ketiadaan ‘Ika’ dalam pengertian hipotetis, yakni sesuatu yang berada pada aras nasional, yang menjadi sumber bagi karakter sentralistik dari demokrasi Indonesia, menjadikan semboyan Bhinneka Tunggal Ika kehilangan makna?

Setidaknya, melalui telaah yang saya lakukan atas proposal TM. Dhani Iqbal, tampaknya persoalan Indonesia masih belum beranjak semili pun dari perdebatan awal tentang sistem demokrasi macam apa yang dapat diterapkan di Indonesia—sebuah perdebatan yang dimulai jauh sebelum Indonesia eksis sebagai negara. Bagi sebuah bangsa, proposal Iqbal diam-diam menyimpan dinamit untuk tetap mengingatkan proyek ke-Indonesia-an masih merupakan proyek yang belum selesai—dan mudah-mudahan bukan proyek yang absurd. Wallahuallam.

[1] Tentang hal ini, saya mengadopsi penjelasan R.E. Elson yang tertuang dalam buku The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan

[2] Bersumber dari The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan

[3] Lagi, saya berhutang pada R.E. Elson dalam bukunya yang berjudul The Idea of Indonesia: Sejarah Pemikiran dan Gagasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun